Mau Diapakan BUMN yang Lagi Sekarat

Rabu, 02 September 2020 - 07:10 WIB
Mencermati kisah BUMN yang sedang sakit itu sungguh menarik. Salah satu di antaranya PT PANN. Ilustrasi/SINDOnews
BELUM lama ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah membeberkan sebanyak 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sedang megap-megap. Untuk menyelamatkan perusahaan pelat merah yang sedang “sakit” itu, Kementerian Keuangan bersama Kementerian BUMN membentuk tim bersama guna mengurusnya dengan sejumlah opsi. Sebenarnya, Menteri BUMN, Erick Thohir sejak awal sudah bersiap mengambil tindakan terhadap perusahaan negara yang sudah sekarat namun payung hukum sebagai dasar untuk bertindak belum juga terbit.

Walau demikian, Kementerian BUMN tetap berhati-hati tidak ingin bertindak grasa-grusu dalam membereskan perusahaan yang sedang “sakit” itu. Namun di sisi lain, Erick Thohir yang pernah memiliki salah satu klub sepak bola di Eropa menginginkan persoalan ini berlangsung lama, harapannya BUMN tersebut bisa saja dilikuidasi, penyehatan hingga merger dengan yang lain, tentu sangat tergantung pada kondisi perusahaan itu sendiri. Adapun 10 BUMN yang sekarat tersebut meliputi PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, PT Dok dan Perkapalan Surabaya, PT Industri Telekomunikasi Indonesia, PT Asabri, PT Asuransi Jiwasraya, PT Iglass, PT Survai Udara Penas, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT Merpati Nusantara Airlines, serta PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN).

Mencermati kisah BUMN yang sedang sakit itu sungguh menarik. Salah satu di antaranya PT PANN. Perusahaan ini tiba-tiba menjadi sorotan bukan karena kinerjanya sudah membaik di tengah pandemi Covid-19, tetapi masuk dalam daftar BUMN yang mendapatkan penyertaan modal negara (PMN). Ibarat dapat durian runtuh, PANN yang selama ini terlilit persoalan likuiditas disuntik dana PMN sebesar Rp 3,76 triliun dari pemerintah. Suntikan dana dalam jumlah tidak kecil itu dikabarkan peruntukkannya menghapus kerugian yang selama ini ditanggung sejak zaman Orde Baru, sebagaimana diakui sendiri Direktur Utama PANN, Herry Soegiarso Soewandy.



“Kecelakaan” yang menimpa PANN dengan karyawan hanya hitungan jari saat ini terjadi pada periode 1994. Diawali program bersama pemerintah Indonesia dan Jerman (government to government/ G to G) berupa penyaluran pinjaman luar negeri dengan melibatkan PANN. Pinjaman dari Jerman bukan berupa uang tapi dalam bentuk pesawat. Sebanyak 10 pesawat Boeing 737-200 senilai USD 99 juta, kurs rupiah saat itu sebesar Rp 4.000 diperuntukkan maskapai BUMN dan dicanangkan sebagai program jetisasi pertama di Indonesia.

Sayangnya, maskapai pelat merah dalam hal ini Garuda Indonesia (GI) menolak program itu. Manajemen GI beralasan bahwa pesawat yang akan dilimpahkan sudah berusia 10 tahun. Lalu, pemerintah mengalokasikan pesawat tersebut kepada sejumlah maskapai swasta nasional. Belakangan, maskapai yang memakai pesawat tersebut tidak berusia lama alias bangkrut. Buntutnya tidak ada lagi maskapai yang membayar cicilan, sementara PANN tetap harus bayar 10 pesawat itu sehingga menguras likuiditas PANN.

Sekali lagi, nasib sial menimpa PANN yang mendapat “penugasan” dari pemerintah untuk menerima pinjman dari luar negeri. Pinjaman itu berasal dari pemerintah Spanyol dengan status G to G. Lagi-lagi pinjaman tidak berwujud uang tetapi dalam bentuk kapal ikan sebanyak 31 unit yang belum dirakit. Tahap pertama, sebanyak 14 kapal ikan berhasil dirakit. Tahap kedua, perakitan gagal total akibat krisis keuangan 1997 – 1998 melanda Indonesia, seluruh suku cadang mengalami kenaikan harga. Celakanya, 14 kapal yang sudah terakit tidak bisa dijual bahkan disewakan juga susah karena harga terlalu tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dari dua proyek penugasan itu, PANN mengalami kerugian total sebesar USD 281 juta.

Sejak itu, PANN terus membukukan kerugian bahkan pada 2006 posisi modal negatif Rp 3 triliun. Operasional PANN tinggal menyelesaikan leasing utang yang lama. Dan, pada 2012 PANN mengajukan restrukturisasi utang ke pemerintah namun tidak pernah digubris hingga kemudian mendapat suntikan PMN pada tahun ini yang mengundang kontroversi karena status PANN sebagai perusahaan sekarat.

Tentu makin menarik kalau sembilan BUMN sakit lainnya membeberkan “penyakit” apa yang membuatnya megap-megap dengan kinerja keuangan yang lemah. Pengungkapan kisah-kisah perusahaan negara yang sekarat itu tidak bermaksud mengusut siapa yang salah apalagi mencari kambing hitam. Tujuannya sangat baik untuk dijadikan cermin dalam mengelola perusahaan negara yang menjadi harapan masyarakat banyak ke depan. Sebab tidak bisa dipungkiri jauh sebelumnya pengelolaan BUMN terkadang lebih kental pertimbangan pertimbangan politik ketimbang pertimbangan bisnis. Dan, lebih jahat lagi ada oknum yang menjadikan perusahaan negara sebagai “sapi perah”. Jangan sampai terulang lagi.
(ras)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More