Perppu Reformasi Keuangan: Upaya Mendegradasi BI dan OJK

Senin, 31 Agustus 2020 - 06:13 WIB
Jika penerbitan perppu ini dipersepsi baik, tentu saja dampak distruptive yang terjadi tidak ada. Namun demikian dengan melihat gelagat “slinthat-slinthut” ini bisa diduga ada hidden agenda yang secara ekonomi politik perlu dikaji nantinya yaitu siapa yang diuntungkan dengan kebijakan ini.

Apapun yang terjadi, kalau perppu ini terbit maka akan melahirkan trauma kelembagaan. Lembaga negara independen yang dianggap tidak perform atau tidak sesuai dengan kehendak “pemerintah” (politik) sangat mudah “dikudeta” secara konstitutional dengan segala alasan yang bisa dinarasikan.

Pertarungan kelembagaan saat ini boleh digambarkan sebagai wujud perebutan kekuasaan antara politik (politisi) dengan para profesional. Seperti diketahui OJK, BI serta LPS dioperasikan dan dikuasai oleh para profesional yang tidak memiliki afiliasi politik secara langsung. Karena kualifikasi profesional, mereka itu berkuasa mengatur sumber ekonomi yang luar biasa. Secara umum lembaga tersebut diisi oleh orang-orang yang bertindak sesuai dengan nalar dan perspektif ekonomi yang rasional dan jangka panjang.

Sementara para politisi, yang untuk mendapatkan kekuasaan harus melalui perjuangan memenangkan suara hati pemilih, dalam banyak hal kalah kuasa dibandingkan para profesional dalam mengatur sumber daya ekonomi. Makanya politisi, dimana saja, ingin menguasai segala aspek. Kita bisa lihat yang terjadi di lembaga negara tertentu dimana mantan politisi telah menjadi pimpinan mayoritas. Apakah Perppu ini akan menjadi jalan masuk bagi mereka, sejarah akan membuktikannya.

Sejujurnya, penanganan krisis ekonomi akibat Covid-19 saat ini kurang efektif sebenarnya lebih banyak akibat kegagalan dalam optimalisasi Belanja Pemerintah. Anggaran tidak atau sulit terserap karena “akuntansi” mengalahkan akal sehat. Presiden menyatakan perlunya belanja negara lebih banyak. Di level teknis semua takut karena salah akuntansi, penjara akibatnya. Sistem dan prosedur akuntansi anggaran telah membuatnya menjadi “sumber kemacetan” bagi proses belanja negara. Bahkan akuntasi keuangan pemerintah bisa mengubah kebenaran esensi sebagai suatu kesalahan dan sebaliknya kesalahan yang esensial seolah menjadi benar. Bagi para Direktur Jenderal, lebih baik dimarahi Menteri atau Presiden daripada melanggar “akuntansi”.

Kondisi Sektor Keuangan

Pandemi Covid-19 telah membuat kegiatan ekonomi seolah berhenti mendadak sehingga pertumbuhan ekonomi diperkirakan tahun ini akan negatif 5,3%. Pertumbuhan negatif tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi hampir semua negara. Eropa diperkirakan tumbuh -7%, Amerika -6% dan Jepang -5.3%. Di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi negatif juga terjadi di Filipina -16,5%, Singapura -13,2%. Hanya China dan Vietnam yang akan menikmati pertumbuhan positif.

Sektor keuangan secara umum terimbas oleh krisis. Namun likuiditas perbankan secara keseluruhan masih aman. Ketersedian alat likuid dibanding simpanan non inti (NCD) masih berkisar 128%. Artinya alat likuid yang tersedia lebih besar 28% dari seluruh simpanan non inti. Namun demikian pada bank buku 1 kondisinya terus memburuk imbas pandemi ini. Sementara, dari sisi perkreditan terjadi kenaikan NPL yaitu 3,22% (gross). Ini tentu tidak boleh dibaca sesederhana itu. Seperti diketahui OJK melalui regulasiya yaitu Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 membuat sistem pelaporan risiko kredit berubah. Tujuan POJK tersebut adalah sebagai stimulus bagi perbankan yang sedang menghadapi kondisi pandemi.

Pertumbuhan kredit masih rendah dan ini wajar karena bank menahan kredit sementara debitur juga enggan pinjam karena ketidakpastian yang tinggi. Walaupun secara umum Kredit mengalami pertumbuhan positif, namun daerah dengan kasus Covid-19 besar seperti Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan pertumbuhan kredit terdampak serius sehingga negatif.

Yang sedikit mengejutkan adalah fakta laju pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) relatif stabil pada kisaran 8,53%. Sayangnya, ini juga membuka fakta dualisme ekonomi kita. Saat pandemi ini nilai tabungan kecil menurun sementara tabungan kelompok di atas Rp1 miliar meningkat sebagai imbas korona karena mereka tidak bisa belanja dan berkonsumsi secara normal sehingga tabungan meningkat.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More