Perppu Reformasi Keuangan: Upaya Mendegradasi BI dan OJK
Senin, 31 Agustus 2020 - 06:13 WIB
Abdul Mongid
Guru Besar STIE Perbanas Surabaya
SAAT ini santer beredar rencana reformasi drastis kelembagaan otoritas keuangan di Indonesia. Di banyak pemberitaan media massa, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (perppu) yang akan diterbitkan akan membuat semua otoritas keuangan yang independen yaitu Bank Indonesia (BI), Oritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK) dalam satu komando. Alasannya karena kebijakan otoritas sektor keuangan (BI, OJK, LPS) dituduh sebagai penghambat pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Artinya, setelah terbit perppu ini, maka UU Nomor 23/1999 tentang BI, UU Nomor 21/2011 tentang OJK, dan UU Nomor 24/2004 tentang LPS tidak akan berlaku lagi. Artinya independensi dalam pengelolaan ekonomi tinggal sejarah. Pernyataan dari Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sekilas memberi sinyal bahwa pemerintah “jengkel” sama BI dan OJK atas respon kebijakan mereka di tengah krisis ekonomi akikat Covid-19. Ada ketidaksinkronan kebijakan BI-OJK dalam merespon krisis. Ada celah (gap) di kedua institusi ini. Namun, masalahnya apakah perppu ini menjadi solusi atau memicu masalah baru.
Slinthat-Slinthut
Dengan bahasa yang bermakna “multitafsir” namun sekaligus menguatkan akan keluarnya perppu itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan reformasi otoritas keuangan diperlukan untuk merespon krisis mengingat skema dan organisasi otoritas keuangan saat ini tidak dirancang untuk merespon krisis besar seperti saat ini. Intinya, tujuannya untuk menguatkan stabilitas sistem keuangan. Perppu ini salah satu langkah “extraordinary” pemerintah dalam perundang-undangan agar perekonomian tidak terjerembab dalam krisis lebih parah lagi.
Sebagai menteri teknis yang pasti menjadi motor penggerak keluarnya perppu reformasi ini, ada kesan Bu Menteri menyembunyikan isi perppu ini. Wajar saja ada perasaan “tidak enak” karena sebagai pendukung awal berdirinya OJK, tidak elok menjadi “eksekutor” keberadaan OJK. Makanya wajar jika masih malu-malu perihal perppu ini. Apalagi saat ini ada “kegeraman” terutama di BI dan OJK karena perppu yang begitu krusial terhadap eksistensi dan kelangsungan lembaga negara dilakukan “slinthat-slintut” alias tidak terbuka. Terkesan kementrian keuangan mendegradasi BI dan OJK sebagai objek dan selevel operator.
Semenjak pandemi Covid-19, Presiden Jokowi secara terbuka mengungkapkan kemarahanya sebanyak tiga kali. Bahkan ada yang sempat viral karena Sekretariat Negara menyiarkanya secara terbuka. Presiden marah karena beberapa menteri tidak memiliki sense of crisis dalam menghadapi situasi ini. Presiden kecewa dengan kinerja kementrian terkait serapan anggaran Covid-19 saat ini. Bahkan Presiden mengancam akan melakukan reshuffle kabinet alias mencopot menteri yang “mbeler” kerjanya.
Apakah perppu reformasi keuangan akan menyelesaikan masalah ekonomi nasional saat ini? Jawabanya bisa ya bisa tidak. Tampaknya potensi masalahnya akan lebih banyak. Jika perppu ini dianggap tidak kredibel karena syarat kepentingan politik (politically heavy motivated) maka dampaknya akan lebih buruk bagi ekonomi nasional. Apalagi secara umum, BI dan OJK secara governance dianggap lebih baik di mata investor internasional daripada pemerintah. Kalau ini terjadi, pemerintah perlu waspada dengan “capital flight”. Jujur saja reputasi sektor keuangan Indonesia saat ini sedang dalam posisi “nadir”.
Guru Besar STIE Perbanas Surabaya
SAAT ini santer beredar rencana reformasi drastis kelembagaan otoritas keuangan di Indonesia. Di banyak pemberitaan media massa, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (perppu) yang akan diterbitkan akan membuat semua otoritas keuangan yang independen yaitu Bank Indonesia (BI), Oritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK) dalam satu komando. Alasannya karena kebijakan otoritas sektor keuangan (BI, OJK, LPS) dituduh sebagai penghambat pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Artinya, setelah terbit perppu ini, maka UU Nomor 23/1999 tentang BI, UU Nomor 21/2011 tentang OJK, dan UU Nomor 24/2004 tentang LPS tidak akan berlaku lagi. Artinya independensi dalam pengelolaan ekonomi tinggal sejarah. Pernyataan dari Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sekilas memberi sinyal bahwa pemerintah “jengkel” sama BI dan OJK atas respon kebijakan mereka di tengah krisis ekonomi akikat Covid-19. Ada ketidaksinkronan kebijakan BI-OJK dalam merespon krisis. Ada celah (gap) di kedua institusi ini. Namun, masalahnya apakah perppu ini menjadi solusi atau memicu masalah baru.
Slinthat-Slinthut
Dengan bahasa yang bermakna “multitafsir” namun sekaligus menguatkan akan keluarnya perppu itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan reformasi otoritas keuangan diperlukan untuk merespon krisis mengingat skema dan organisasi otoritas keuangan saat ini tidak dirancang untuk merespon krisis besar seperti saat ini. Intinya, tujuannya untuk menguatkan stabilitas sistem keuangan. Perppu ini salah satu langkah “extraordinary” pemerintah dalam perundang-undangan agar perekonomian tidak terjerembab dalam krisis lebih parah lagi.
Sebagai menteri teknis yang pasti menjadi motor penggerak keluarnya perppu reformasi ini, ada kesan Bu Menteri menyembunyikan isi perppu ini. Wajar saja ada perasaan “tidak enak” karena sebagai pendukung awal berdirinya OJK, tidak elok menjadi “eksekutor” keberadaan OJK. Makanya wajar jika masih malu-malu perihal perppu ini. Apalagi saat ini ada “kegeraman” terutama di BI dan OJK karena perppu yang begitu krusial terhadap eksistensi dan kelangsungan lembaga negara dilakukan “slinthat-slintut” alias tidak terbuka. Terkesan kementrian keuangan mendegradasi BI dan OJK sebagai objek dan selevel operator.
Semenjak pandemi Covid-19, Presiden Jokowi secara terbuka mengungkapkan kemarahanya sebanyak tiga kali. Bahkan ada yang sempat viral karena Sekretariat Negara menyiarkanya secara terbuka. Presiden marah karena beberapa menteri tidak memiliki sense of crisis dalam menghadapi situasi ini. Presiden kecewa dengan kinerja kementrian terkait serapan anggaran Covid-19 saat ini. Bahkan Presiden mengancam akan melakukan reshuffle kabinet alias mencopot menteri yang “mbeler” kerjanya.
Apakah perppu reformasi keuangan akan menyelesaikan masalah ekonomi nasional saat ini? Jawabanya bisa ya bisa tidak. Tampaknya potensi masalahnya akan lebih banyak. Jika perppu ini dianggap tidak kredibel karena syarat kepentingan politik (politically heavy motivated) maka dampaknya akan lebih buruk bagi ekonomi nasional. Apalagi secara umum, BI dan OJK secara governance dianggap lebih baik di mata investor internasional daripada pemerintah. Kalau ini terjadi, pemerintah perlu waspada dengan “capital flight”. Jujur saja reputasi sektor keuangan Indonesia saat ini sedang dalam posisi “nadir”.
Lihat Juga :
tulis komentar anda