Cerita Penerima Manfaat KIS, Tak Lagi Waswas Pikirkan Biaya Berobat
Senin, 14 Oktober 2024 - 14:37 WIB
Namun, karena tidak sabar lantaran batuk terus, dia minta rujukan ke Rumah Sakit Ana Bekasi. "Baru deh ketahuan kena flek. Cuman semuanya gratis, dari periksa, obat yang diminum, semuanya deh, saya kebantu banget jadinya," ujarnya.
Rifal mengaku bersyukur memiliki jaminan kesehatan gratis dari pemerintah tersebut. Kini dirinya yang telah menjadi karyawan di sebuah bengkel otomotif, juga merasa terbantu ketika hendak berobat.
"Pokoknya KIS itu membantu banget saat saya belum bekerja. Sekarang pun sudah di-upgrade jadi BPJS berbayar, tetapi program itu juga memudahkan saya kalau mau berobat, jadi enggak waswas soal biaya berobat," tegas Rifal.
Wahyu Ari Wibowo (30), seorang karyawan asal Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, mengatakan dirinya punya KIS ketika masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Wahyu mengatakan, saat itu dirinya ikut mendaftar KIS karena adanya tawaran dari pengurus RT setempat secara kolektif.
"Dulu punya KIS pas tahun 2018-an, usia 22. Tapi sekarang sudah di-upgrade jadi BPJS karena tawaran dari kantor. KIS itu membantu sekali terutama saat itu almarhum ayah saya sempat dirawat selama tiga tahun karena kanker hati," ujarnya.
Wahyu bercerita tentang ayahnya yang didiagnosa mengidap kanker hati pada tahun 2020 dan dirawat menggunakan KIS. "Ayah saya itu diperiksa di Puskesmas Kanaya, daerah Pondok Gede, saat itu diduga karena gejala maag akut. Setelah itu dirujuk ke Rumah Sakit Haji. Dirujuk ke sana karena kebetulan domisili rumah saya lebih dekat ke Jakarta Timur," jelas Wahyu.
Setelah dirawat selama dua minggu di RS Haji, ayahnya pun dirujuk ke Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, karena dibutuhkan alat medis pemeriksaan yang lebih lengkap. Sembari menunggu hasil dan dirawat di RS Fatmawati selama seminggu, ayahnya dipindahkan ke Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat, karena kondisi kanker hati yang sudah kronis.
"Jadi total dirawat selama tiga tahun untuk mendiang ayah saya. Kalau tidak pakai KIS, biayanya bisa ratusan juta rupiah. Soalnya ada kakak sepupu saya sebelumnya juga dirawat karena kanker otak, tetapi tidak sampai setahun itu bisa kena Rp200 juta. Bagaimana biaya almarhum bapak saya kan?" tutur Wahyu.
Wahyu mengatakan, dirinya pribadi menggunakan KIS saat hendak memeriksakan kondisi matanya yang rabun jauh. Dia mengaku, KIS membantunya saat menjadi mahasiswa ketika memerlukan rujukan pemeriksaan mata dan membeli kacamata.
"Dulu sempat pakai KIS buat periksa mata minus. Kemudian saya dapat diskon membeli kacamata yang sesuai harganya, saya ingat lagi itu harganya Rp800 ribu jadi dapat diskon 50%, keren bangetlah," katanya.
Rifal mengaku bersyukur memiliki jaminan kesehatan gratis dari pemerintah tersebut. Kini dirinya yang telah menjadi karyawan di sebuah bengkel otomotif, juga merasa terbantu ketika hendak berobat.
"Pokoknya KIS itu membantu banget saat saya belum bekerja. Sekarang pun sudah di-upgrade jadi BPJS berbayar, tetapi program itu juga memudahkan saya kalau mau berobat, jadi enggak waswas soal biaya berobat," tegas Rifal.
Wahyu Ari Wibowo (30), seorang karyawan asal Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, mengatakan dirinya punya KIS ketika masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Wahyu mengatakan, saat itu dirinya ikut mendaftar KIS karena adanya tawaran dari pengurus RT setempat secara kolektif.
"Dulu punya KIS pas tahun 2018-an, usia 22. Tapi sekarang sudah di-upgrade jadi BPJS karena tawaran dari kantor. KIS itu membantu sekali terutama saat itu almarhum ayah saya sempat dirawat selama tiga tahun karena kanker hati," ujarnya.
Wahyu bercerita tentang ayahnya yang didiagnosa mengidap kanker hati pada tahun 2020 dan dirawat menggunakan KIS. "Ayah saya itu diperiksa di Puskesmas Kanaya, daerah Pondok Gede, saat itu diduga karena gejala maag akut. Setelah itu dirujuk ke Rumah Sakit Haji. Dirujuk ke sana karena kebetulan domisili rumah saya lebih dekat ke Jakarta Timur," jelas Wahyu.
Setelah dirawat selama dua minggu di RS Haji, ayahnya pun dirujuk ke Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, karena dibutuhkan alat medis pemeriksaan yang lebih lengkap. Sembari menunggu hasil dan dirawat di RS Fatmawati selama seminggu, ayahnya dipindahkan ke Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat, karena kondisi kanker hati yang sudah kronis.
"Jadi total dirawat selama tiga tahun untuk mendiang ayah saya. Kalau tidak pakai KIS, biayanya bisa ratusan juta rupiah. Soalnya ada kakak sepupu saya sebelumnya juga dirawat karena kanker otak, tetapi tidak sampai setahun itu bisa kena Rp200 juta. Bagaimana biaya almarhum bapak saya kan?" tutur Wahyu.
Wahyu mengatakan, dirinya pribadi menggunakan KIS saat hendak memeriksakan kondisi matanya yang rabun jauh. Dia mengaku, KIS membantunya saat menjadi mahasiswa ketika memerlukan rujukan pemeriksaan mata dan membeli kacamata.
"Dulu sempat pakai KIS buat periksa mata minus. Kemudian saya dapat diskon membeli kacamata yang sesuai harganya, saya ingat lagi itu harganya Rp800 ribu jadi dapat diskon 50%, keren bangetlah," katanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda