Jika Bukan Polri yang Menegakkan Hukum dengan Adil, kepada Siapa Masyarakat Harus Mengadu

Senin, 07 Oktober 2024 - 17:59 WIB
Tidak berhenti pada aktifnya polisi menjadi pelayan para pemodal dan alat kekuasaan yang menggerus ruang kebebasan sipil rakyat dan demokrasi Indonesia, Polri juga semakin dalam melibatkan diri pada praktik-praktik bisnis dan politik.

Di sektor bisnis, aparat kepolisian kerap kali terlibat dalam “bisnis keamanan” untuk melindungi kepentingan private seperti perkebunan kelapa sawit maupun tambang baik legal maupun ilegal.

Keterlibatannya mulai dari aktif sebagai pengaman wilayah hingga pemodal. Keterlibatan bisnis polisi juga meluas ke sektor narkoba seperti halnya ditunjukkan dalam kasus Teddy Minahasa. Sedangkan di sektor politik, aparat kepolisian terlibat dalam politik praktis Pemilu seperti halnya dengan mengkampanyekan secara aktif salah satu calon Presiden tertentu dalam Pemilu 2024 lalu. Bahkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kendati masih aktif menduduki jabatan kepolisian.

Di sisi lain, Polri yang diharapkan dapat menjadi tempat pengaduan masyarakat jika mereka mengalami kekerasan dan membutuhkan perlindungan justru sulit diharapkan. Seperti halnya praktik kekerasan, kasus penyiksaan, pembubaran serikat (union busting), maupun pelaporan kekerasan seksual yang dihadapi korban sulit mendapatkan keadilan.

Sulitnya penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena minimnya pemahaman keadilan gender aparat kepolisian. Tak jarang, banyak kepolisian yang justru masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai rujukan hukum penanganan kasus kekerasan seksual.

Kondisi tersebut menghasilkan mangkraknya pelaporan kasus dan hilangnya akses korban mendapatkan keadilan. Parahnya, kita terus mendengar aparat kepolisian menjadi pelaku kejahatan dan HAM namun kerap kali mendapatkan keistimewaan hukum bahkan kebal hukum. Tidak berjalannya pengawasan di internal maupun eksternal kepolisian membuat kepolisian mendapatkan impunitas.

Anehnya, paradoks yang muncul di pertengahan tahun 2024 ini ancaman untuk mengontrol ruang kebebasan sipil untuk kepentingan kekuasaan dan modal semakin berbahaya.

Saat ini ada upaya revisi kilat Undang-Undang Polri yang dirancang secara tertutup dan tergesa-gesa melalui pengajuan inisiatif DPR. Di dalam draf revisi tersebut, Polri akan diberikan kewenangan ekstra untuk menjadi lembaga superbody dengan pemberian hak hukum untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber (Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q)).

Pasal ini memberikan kewenangan untuk mematikan jaringan internet kepada Polri. RUU Polri juga memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki Polri sampai melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen (Pasal 16A). Polri juga diberi wewenang lebih untuk melakukan penyadapan (Pasal 14 ayat (1)) tanpa adanya dasar hukum undang-undang penyadapan.

Yang mengkhawatirkan, tidak ada mekanisme pengawasan yang diatur untuk memastikan kewenangan-kewenangan tersebut dijalankan sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia. Sebelumnya, di Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang baru saja direvisi dan disahkan, anggota Polri aktif dapat mengisi jabatan sipil di 11 kementerian dan lembaga instansi pusat.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More