Negara, Pendengung, dan Ancaman Disinformasi
Senin, 07 Oktober 2024 - 15:26 WIB
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polrisaat itu menyatakan adanya penyusupan kelompok-kelompok teror dan anarki yang membawa kepentingan lain dalam kegiatan aksi di berbagai daerah di Indoensia. Pemberitaan tersebut kemudian diikuti dengan intimidasi dan langkah represi ketika kegitan demonstrasi tersebut berlangsung.
Bahkan, operasi pengintaian dan infiltrasi juga dilakukan. Hal ini menunjukkan bagaimana negara dapat menggunakan teknik-teknik militeristik dalam operasi intelijen untuk mengontrol masyarakat, menciptakan ketakutan, dan mengacaukan gerakan sosial yang bertujuan damai.
Operasi intelijen dalam kasus ini telah menyusup masuk pada kantong-kantong pergerakan masyarakat. Hal ini berakibat pada terjadi penangkapan massa aksi yang turun kejalan.
Selain itu, isu ini juga memberi teror padamasyarakat serta memecah isu pergerakan pada media sosial, terutama twitter yang saat itu ramai digunakan. Ketika disinformasi digunakan dalam situasi seperti ini, kebingungan yang dihasilkan tidak hanya berdampak pada kelompok yang ditargetkan, tetapi juga pada kelompok masyarakat yang lebih luas, yang mulai kehilangan kepercayaan pada proses demokrasi dan institusi publik yang ada.
Kasus yang kedua adalah kampanye masif dari negara dalam mempromosikan kebijakan Omnibus Law yang saat itu mendapat tentangan dari masyarakat (Wahidin et al., 2020). Dalam kasus ini, penggunaan strategi propaganda dengan tagar #IndonesiaButuhKerja yang membanjiri media sosial. Tagar tersebut digunakanuntuk meng-kounter opini-opini penolakan masyarakat di media sosial.
Apalagi, ada berita mengenai alokasi anggaran belanja digital yang begitu besar digunakan untuk membayar para pemberi pengaruh (influencer), pakar, dan pegiat media sosial untuk mengkampanyekan tagar tersebut. Fenomena ini menunjukan bagaimana negara memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kekuatan ekonomi dan teknologi informasi dalam membentuk opini publik.
Terakhir, yang juga merupakan salah satu kasus terparah, adalah politisisasi data Covid-19 dengan dalih mempertahankan kekuatan ekonomi selama pandemi pada tahun 2019 (Masduki, 2021). Dalam kasus ini, pemerintah melakukan penyesuaian data-data terkait Covid-19 dan menyebarluaskannya melalui berbagai platform daringuntukmendongkrak prekonomian.
Data yang dimanipulasi ini tidak hanya merusak transparansi dalam pengelolaan krisis kesehatan yang pada saat itu terjadi, namun juga memanipulasi persepsi publik tentang tingkat ancaman nyata yang mereka hadapi. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi respons masyarakat terhadap kebijakan kesehatan yang dibuat.
Pemerintah memang punya kewajiban untuk menjaga stabilitas. Namun menggunakan disinformasi justru hanya memperburuk keadaan dan merusak kepercayaan publik terhadap negara.
Ketika negara memilih jalan ini, bukan hanya legitimasi pemerintah yang dipertaruhkan, tetapi juga hubungan sosial jangka panjang yang ikut tergerus. Akibatnya, masyarakat jadi semakin sulit untuk mempercayai satu sama lain dan bingung atas informasi yang mereka terima.
Bahkan, operasi pengintaian dan infiltrasi juga dilakukan. Hal ini menunjukkan bagaimana negara dapat menggunakan teknik-teknik militeristik dalam operasi intelijen untuk mengontrol masyarakat, menciptakan ketakutan, dan mengacaukan gerakan sosial yang bertujuan damai.
Operasi intelijen dalam kasus ini telah menyusup masuk pada kantong-kantong pergerakan masyarakat. Hal ini berakibat pada terjadi penangkapan massa aksi yang turun kejalan.
Selain itu, isu ini juga memberi teror padamasyarakat serta memecah isu pergerakan pada media sosial, terutama twitter yang saat itu ramai digunakan. Ketika disinformasi digunakan dalam situasi seperti ini, kebingungan yang dihasilkan tidak hanya berdampak pada kelompok yang ditargetkan, tetapi juga pada kelompok masyarakat yang lebih luas, yang mulai kehilangan kepercayaan pada proses demokrasi dan institusi publik yang ada.
Kasus yang kedua adalah kampanye masif dari negara dalam mempromosikan kebijakan Omnibus Law yang saat itu mendapat tentangan dari masyarakat (Wahidin et al., 2020). Dalam kasus ini, penggunaan strategi propaganda dengan tagar #IndonesiaButuhKerja yang membanjiri media sosial. Tagar tersebut digunakanuntuk meng-kounter opini-opini penolakan masyarakat di media sosial.
Apalagi, ada berita mengenai alokasi anggaran belanja digital yang begitu besar digunakan untuk membayar para pemberi pengaruh (influencer), pakar, dan pegiat media sosial untuk mengkampanyekan tagar tersebut. Fenomena ini menunjukan bagaimana negara memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kekuatan ekonomi dan teknologi informasi dalam membentuk opini publik.
Terakhir, yang juga merupakan salah satu kasus terparah, adalah politisisasi data Covid-19 dengan dalih mempertahankan kekuatan ekonomi selama pandemi pada tahun 2019 (Masduki, 2021). Dalam kasus ini, pemerintah melakukan penyesuaian data-data terkait Covid-19 dan menyebarluaskannya melalui berbagai platform daringuntukmendongkrak prekonomian.
Data yang dimanipulasi ini tidak hanya merusak transparansi dalam pengelolaan krisis kesehatan yang pada saat itu terjadi, namun juga memanipulasi persepsi publik tentang tingkat ancaman nyata yang mereka hadapi. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi respons masyarakat terhadap kebijakan kesehatan yang dibuat.
Pemerintah memang punya kewajiban untuk menjaga stabilitas. Namun menggunakan disinformasi justru hanya memperburuk keadaan dan merusak kepercayaan publik terhadap negara.
Ketika negara memilih jalan ini, bukan hanya legitimasi pemerintah yang dipertaruhkan, tetapi juga hubungan sosial jangka panjang yang ikut tergerus. Akibatnya, masyarakat jadi semakin sulit untuk mempercayai satu sama lain dan bingung atas informasi yang mereka terima.
Lihat Juga :
tulis komentar anda