Pemberantasan Korupsi dalam Pidato Jokowi Hanya Delusi?

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 07:17 WIB
Kemudian yang terakhir adalah upaya pemerintah untuk mengkooptasi independensi KPK melalui peralihan status pegawai KPK menjadi ASN melalui PP Nomor 41/ 2020. Peralihan ini sebenarnya berpotensi menimbulkan banyak konsekuensi pada aspek integritas maupun performa dari personil KPK. Salah satunya adalah, secara struktur pegawai KPK akan berada di bawah pengawasan KemenPAN-RB. Artinya, jika KPK telah menjadi bagian dari lembaga eksekutif, hal itu hanya akan membuka jurang yang lebih lebar bagi penegakan hukum, khususnya kasus hukum yang menyasar di wilayah eksekutif. Sebab dalam konteks tata negara, fleksibilitas gerak dan integritas sebuah institusi penegakan hukum dalam melakukan kinerjanya, sejatinya hanya bisa dicapai secara optimal apabila lembaga tersebut tidak terikat dengan domain kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) alias berdaulat.

Selain itu, mendungnya iklim pemberantasan korupsi juga tercermin, secara kuantitatif, melalui salah satu rilis BPS yang terbaru. Pada Juni 2020, BPS telah merilis nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). Hasilnya, IPAK di Indonesia hanya mencapai 3,84 dari target RPJMN 2020 yang dipatok sebesar 4.00. Sebenarnya, angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan capaian tahun sebelumnya sebesar 3,70.

Sebagai informasi, nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi. Sebaliknya, nilai IPAK yang mendekati 0 menunjukan bahwa masyarakat kian berperilaku permisif terhadap korupsi. Meskipun demikian, temuan BPS ini tetap menunjukan bahwa pemerintah gagal dalam merealisasikan target pembangunan jangka menengahnya, khususnya dalam domain pengentasan isu korupsi sebagaimana hal ini turut berpengaruh pada persepsi dan perilaku publik.

Absolute Power Tends To Corrupt Absolutely

Sujata sebagaimana dikutip oleh Agus Machfud Fauzi dalam buku Politik Kebijakan Pemberantasan Korupsi (2018) menyatakan pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu membatasi kekuasaan melalui lembaga kontrol yang efektif. Kekuasaan yang tidak terbatas berpotensi menjadikan hukum sebagai alat untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Absolute power tends to corrupt.

Sementara itu, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) menjelaskan terdapat empat indikator kunci dari perilaku kepemimpinan otoriter. Pertama, menolak aturan demokrasi yang ada (bisa mewujud dalam kata maupun tindakan). Kedua, menolak legitimasi kubu oposisi. Ketiga, toleransi atau hasrat untuk melakukan kekerasan. Keempat, pengekangan terhadap kebebasan sipil termasuk media.

Merujuk pada kondisi faktual tata negara saat ini, kontrol terhadap kekuasaan eksekutif menjadi kian melemah. Terjadi ketidakseimbangan yang kronis dalam proses penyelenggaraan negara. DPR yang sejatinya menjadi tumpuan rakyat dalam dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang menyimpang seolah kehilangan tajinya semenjak mayoritas partai di parlemen merapat ke istana. Politik akomodatif Presiden terhadap pihak yang berseberangan semakin memperkuat konsentrasi kekuatan di satu domain kekuasaan sehingga berpotensi memberangus kekuatan penyeimbang. Konsekuensi dari terkonsentrasinya kekuatan secara timpang ini akhirnya menyebabkan mulusnya praktik penyimpangan konstitusional oleh negara (constitutional deviation).

Salah satunya adalah mulusnya pengesahan Perppu Nomor 1/2020 yang kini menjadi UU Nomor 2/2020 oleh DPR (Fraksi PKS menolak). Padahal, di dalam Perppu tersebut hak budgeting dan legislasi DPR dipangkas dan pemerintah hanya cukup mengeluarkan perpres (tidak butuh UU) untuk mengubah APBN. Di samping itu, dalam Perppu tersebut juga dijelaskan bahwa pemerintah juga memiliki hak istimewa dimana untuk setiap kebijakan pemulihan ekonomi yang diselenggarakan selama pandemi tidak bisa diperkarakan secara hukum pidana maupun perdata meskipun terjadi krisis keuangan negara. Pasalnya, hak imunitas bagi pejabat ini jelas sangat bertentangan dengan salah satu poin dari pidato Presiden di atas yang berbunyi: “..Dan hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu..”

Selain itu, kekuatan kontrol sosial dari masyarakat melalui parlemen digital/ jalanan tidak luput dibungkam melalui delik ITE, tudingan makar, sampai serangan dari buzzer bayaran. Kebebasan sipil untuk mengkritik kekuasaan yang eksesif kian dikekang melalui sejumlah insiden seperti peretasan akun aktivis, pelarangan dan razia buku, pembubaran dan intimidasi terhadap diskusi, media, maupun kelompok kritis. Alhasil, sejumlah preseden tersebut semakin menguatkan indikasi bahwa negara tengah berjalan ke arah yang berbahaya dan berpotensi mengulang kesalahan sejarah.

Indonesia tidak boleh kembali terjebak dalam rezim pseudo-democracy (demokrasi semu) sebagaimana pernah terjadi di masa orde lama dan orde baru. Kegagalan kedua rezim mengonsolidasikan demokrasi dari watak prosedural menuju substansial akhirnya menjadikan keduanya mengambil jalan pintas ke pilihan otoriter. Maka, sebelum mengulang kesalahan yang sama, Presiden Jokowi masih memiliki kesempatan untuk menutup masa kepemimpinannya dengan husnul khotimah.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More