Pemberantasan Korupsi dalam Pidato Jokowi Hanya Delusi?

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 07:17 WIB
loading...
Pemberantasan Korupsi dalam Pidato Jokowi Hanya Delusi?
Bukhori Yusuf
A A A
Bukhori Yusuf
Anggota Komisi VIII DPR RI 2019-2024

TULISAN ini merupakan sekuel lanjutan atas respon terhadap pidato kenegaraan Presiden pada Jumat lalu (14/8). Tulisan kedua ini secara khusus mencoba untuk membedah kelemahan narasi pidato Presiden, khususnya pada aspek pemberantasan korupsi. Dalam tulisan sebelumnya, kritik saya menyasar pada tata kelola dan efektivitas dari pelbagai jaring pengaman sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pagebluk sampai menguatnya fenomena dinasti politik yang mengancam demokrasi. Pada bagian terakhir ini saya mencoba mengukur seberapa jauh komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi saat diejawantahkan dalam tataran riil melalui sejumlah kebijakan yang telah diambil.

Terkait isu korupsi dan penegakan hukum, terdapat bagian krusial dalam pidato Presiden Jokowi pada kalimat berikut: “Pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi. Upaya pencegahan harus ditingkatkan melalui tata kelola yang sederhana, transparan, dan efisien. Dan hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu..” Sebaliknya, sebagai pihak yang pernah mengawasi kinerja pemerintah di bidang hukum, saya justru memandang pemerintah sedang “main-main” dengan upaya pemberantasan korupsi akhir-akhir ini. Memang kita perlu mengapresiasi keberhasilan pemerintah dalam menangkap buronan Djoko Tjandra, akan tetapi derasnya pemberitaan yang bombastis atas keberhasilan tersebut tidak boleh menghentikan nalar kritis kita untuk terus menguji keseriusan dan meminta pertanggungjawaban pemerintah yang komprehensif dalam menyikapi fenomena korupsi di republik ini.

Dalam survei yang diselenggarakan oleh LSI Denny JA menunjukan tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi merosot dari angka (81,5%) sebelum pilpres 2019 turun ke angka (75,2%) pascapilpres. Lebih lanjut, terungkap bahwa salah satu faktor merosotnya public trust terhadap Presiden adalah akibat kebijakan pemerintah yang menyetujui revisi UU KPK pada September 2019.

Nada serupa juga terendus dalam survei yang diadakan oleh Indo Barometer pada Februari 2020. Dalam skala yang lebih spesifik, hasil survei tersebut menunjukan tingkat kepercayaan publik kepada KPK yang justru merosot, yakni (81,8%). Padahal 2 tahun sebelumnya, melalui survei yang sama, tingkat kepercayaan publik kepada KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo dan koleganya berhasil menyentuh angka (83%) sehingga menempatkan lembaga antirasuah ini di tiga besar lembaga yang dipercaya publik bersama TNI dan Presiden kala itu.

Jika dicermati lebih lanjut, tren kemunduran kepercayaan publik tersebut sebenarnya tidak lepas dari sejumlah faktor yang melatarbelakangi. Pertama, pimpinan baru KPK Firli Bahuri dikenal sebagai sosok yang kontroversial sejak awal kepemimpinannya. Pasalnya, ia kerap tersandung sejumlah dugaan pelanggaran kode etik berat selama berdinas di KPK sebelum akhirnya menempati posisi di pucuk pimpinan. Sedangkan yang terbaru, ia sempat disorot akibat pelanggaran kode etik karena diduga bergaya hidup mewah dan ketidakpatuhan atas protokol kesehatan. Alhasil, sederet ulahnya tersebut kemudian berdampak pada reputasi lembaga sehingga menimbulkan kecemasan publik terhadap performa KPK di masa kini dan nanti.

Kedua, sepanjang tahun 2019 pemerintah telah melakukan sejumlah kebijakan kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari menyetujui revisi UU KPK hingga obral pemberian grasi kepada napi koruptor. Sementara itu, berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tercatat sepanjang tahun 2019 terdapat 1.019 perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan seluruh tingkatan dengan 1.125 terdakwa. Ironisnya, 842 atau (82,2%) dari seluruh terdakwa yang disidangkan, divonis ringan (1-4 tahun).

Ketiga, komitmen pemerintah dalam melindungi dan memihak kepada pegiat antikorupsi yang lemah. Contohnya adalah kasus Novel Baswedan. Kendati pelaku akhirnya berhasil ditangkap setelah lama buron, putusan hukum terhadap pelaku dinilai mencederai rasa keadilan. Tudingan sandiwara di tengah-tengah publik pun kian menguat selama proses pengusutan sampai persidangan kasus berlangsung. Pihak yang kritis sekaligus jengah dengan hasil putusan hakim pun tidak lepas dari intimidasi para buzzer. Sederet kejanggalan ini akhirnya membuat publik antipati sekaligus bertanya-tanya; sejauh mana pembelaan Presiden terhadap pemberantasan korupsi?

Kemudian yang terakhir adalah upaya pemerintah untuk mengkooptasi independensi KPK melalui peralihan status pegawai KPK menjadi ASN melalui PP Nomor 41/ 2020. Peralihan ini sebenarnya berpotensi menimbulkan banyak konsekuensi pada aspek integritas maupun performa dari personil KPK. Salah satunya adalah, secara struktur pegawai KPK akan berada di bawah pengawasan KemenPAN-RB. Artinya, jika KPK telah menjadi bagian dari lembaga eksekutif, hal itu hanya akan membuka jurang yang lebih lebar bagi penegakan hukum, khususnya kasus hukum yang menyasar di wilayah eksekutif. Sebab dalam konteks tata negara, fleksibilitas gerak dan integritas sebuah institusi penegakan hukum dalam melakukan kinerjanya, sejatinya hanya bisa dicapai secara optimal apabila lembaga tersebut tidak terikat dengan domain kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) alias berdaulat.

Selain itu, mendungnya iklim pemberantasan korupsi juga tercermin, secara kuantitatif, melalui salah satu rilis BPS yang terbaru. Pada Juni 2020, BPS telah merilis nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). Hasilnya, IPAK di Indonesia hanya mencapai 3,84 dari target RPJMN 2020 yang dipatok sebesar 4.00. Sebenarnya, angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan capaian tahun sebelumnya sebesar 3,70.

Sebagai informasi, nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi. Sebaliknya, nilai IPAK yang mendekati 0 menunjukan bahwa masyarakat kian berperilaku permisif terhadap korupsi. Meskipun demikian, temuan BPS ini tetap menunjukan bahwa pemerintah gagal dalam merealisasikan target pembangunan jangka menengahnya, khususnya dalam domain pengentasan isu korupsi sebagaimana hal ini turut berpengaruh pada persepsi dan perilaku publik.

Absolute Power Tends To Corrupt Absolutely
Sujata sebagaimana dikutip oleh Agus Machfud Fauzi dalam buku Politik Kebijakan Pemberantasan Korupsi (2018) menyatakan pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu membatasi kekuasaan melalui lembaga kontrol yang efektif. Kekuasaan yang tidak terbatas berpotensi menjadikan hukum sebagai alat untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Absolute power tends to corrupt.

Sementara itu, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) menjelaskan terdapat empat indikator kunci dari perilaku kepemimpinan otoriter. Pertama, menolak aturan demokrasi yang ada (bisa mewujud dalam kata maupun tindakan). Kedua, menolak legitimasi kubu oposisi. Ketiga, toleransi atau hasrat untuk melakukan kekerasan. Keempat, pengekangan terhadap kebebasan sipil termasuk media.

Merujuk pada kondisi faktual tata negara saat ini, kontrol terhadap kekuasaan eksekutif menjadi kian melemah. Terjadi ketidakseimbangan yang kronis dalam proses penyelenggaraan negara. DPR yang sejatinya menjadi tumpuan rakyat dalam dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang menyimpang seolah kehilangan tajinya semenjak mayoritas partai di parlemen merapat ke istana. Politik akomodatif Presiden terhadap pihak yang berseberangan semakin memperkuat konsentrasi kekuatan di satu domain kekuasaan sehingga berpotensi memberangus kekuatan penyeimbang. Konsekuensi dari terkonsentrasinya kekuatan secara timpang ini akhirnya menyebabkan mulusnya praktik penyimpangan konstitusional oleh negara (constitutional deviation).

Salah satunya adalah mulusnya pengesahan Perppu Nomor 1/2020 yang kini menjadi UU Nomor 2/2020 oleh DPR (Fraksi PKS menolak). Padahal, di dalam Perppu tersebut hak budgeting dan legislasi DPR dipangkas dan pemerintah hanya cukup mengeluarkan perpres (tidak butuh UU) untuk mengubah APBN. Di samping itu, dalam Perppu tersebut juga dijelaskan bahwa pemerintah juga memiliki hak istimewa dimana untuk setiap kebijakan pemulihan ekonomi yang diselenggarakan selama pandemi tidak bisa diperkarakan secara hukum pidana maupun perdata meskipun terjadi krisis keuangan negara. Pasalnya, hak imunitas bagi pejabat ini jelas sangat bertentangan dengan salah satu poin dari pidato Presiden di atas yang berbunyi: “..Dan hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu..”

Selain itu, kekuatan kontrol sosial dari masyarakat melalui parlemen digital/ jalanan tidak luput dibungkam melalui delik ITE, tudingan makar, sampai serangan dari buzzer bayaran. Kebebasan sipil untuk mengkritik kekuasaan yang eksesif kian dikekang melalui sejumlah insiden seperti peretasan akun aktivis, pelarangan dan razia buku, pembubaran dan intimidasi terhadap diskusi, media, maupun kelompok kritis. Alhasil, sejumlah preseden tersebut semakin menguatkan indikasi bahwa negara tengah berjalan ke arah yang berbahaya dan berpotensi mengulang kesalahan sejarah.

Indonesia tidak boleh kembali terjebak dalam rezim pseudo-democracy (demokrasi semu) sebagaimana pernah terjadi di masa orde lama dan orde baru. Kegagalan kedua rezim mengonsolidasikan demokrasi dari watak prosedural menuju substansial akhirnya menjadikan keduanya mengambil jalan pintas ke pilihan otoriter. Maka, sebelum mengulang kesalahan yang sama, Presiden Jokowi masih memiliki kesempatan untuk menutup masa kepemimpinannya dengan husnul khotimah.

Model pemerintahan demokratis sesungguhnya diciptakan untuk menentang terbentuknya praktik kekuasan yang berpotensi korup. Kehadiran kelompok oposisi yang terbentuk secara alamiah di tengah masyarakat perlu dihormati. Eksistensi mereka mengindikasikan bahwa masyarakat masih peduli dengan tradisi “saling menegur dan menasihati” di alam demokrasi. Segala kritik dan masukan perlu diterima dengan jiwa besar dalam rangka evaluasi dan perbaikan kinerja di masa mendatang, bukan menghantam mereka dengan membuat tandingan apalagi coba disingkirkan.

Sementara itu, Presiden juga perlu memperoleh informasi secara utuh dari masyarakat terkait keluhan dan kritik yang mereka layangkan. Aksi blusukan Presiden yang sudah sekian lama tidak terdengar, perlu kembali diaktifkan dalam rangka menjaga orisinalitas informasi dan kegelisahan masyarakat.

Mengambil Momentum
Peristiwa terbakarnya Gedung Kejagung menimbulkan bola liar terhadap publik di tengah upaya pemerintah mengusut kasus rasuah yang justru membelit oknum di lembaga penegakan hukum. Banyak yang berspekulasi liar tentang adanya upaya operasi terselubung di balik peristiwa kebakaran ini. Sehingga, kemerostan publik terhadap pemerintah kembali terancam turun.

Kendati demikian, di tengah derasnya kecurigaan publik atas insiden tersebut, Presiden perlu melihat ini sebagai momentum. Presiden harus mengambil kesempatan ini untuk meneguhkan kembali komitmennya kepada publik maupun para pembantunya bahwa negara tidak main-main pada upaya penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Pemerintah akan mengusut tuntas segala kasus yang sudah dan tengah diproses dan tidak akan berhenti hanya karena adanya insiden ini.

Selain itu, institusi penegak hukum haram terkooptasi apalagi sampai dikorbankan oleh domain kekuasaan dalam rangka menjaga independensi serta integritas penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Institusi penegakan hukum tidak boleh dilemahkan melalui intrik politik, operasi terselubung, apalagi siasat konstitusi. Melalui kepemimpinan yang jujur, transparan, dan tegas Presiden memiliki peluang besar untuk memelihara bahkan meningkatkan simpati publik terhadap pemerintah di tengah kekecewaan mereka atas kinerja selama pandemi. Belum terlambat untuk mengambil celah di tikungan akhir.

Sebagai penutup, Presiden adalah contoh bagi rakyatnya. Segala komitmen yang ia sampaikan tidak boleh berhenti sebatas pada retorika, tetapi bermuara pada sikap keteladanan melalui perilaku serta kebijakan yang sejalan dengan apa yang diucapkan. Agenda penegakan hukum memihak pada nurani dan konstitusi harus terus dikobarkan sehingga pada akhirnya kita mampu merealisasikan cita-cita bangsa tertinggi, yakni: “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..”
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0678 seconds (0.1#10.140)