UMKM: Mesin Pertumbuhan, Berikutnya?
Senin, 23 September 2024 - 12:40 WIB
Hal tersebut terjadi karena mayoritas UMKM masih beroperasi di sektor-sektor tradisional dengan teknologi yang terbatas dan akses yang minim terhadap pasar global. Sebagai perbandingan, usaha besar yang hanya mencakup sekitar 1% dari total unit usaha faktanya mampu memberikan kontribusi sekitar 40% terhadap PDB Indonesia. Data tersebut mutlak menunjukkan bahwa usaha besar dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit lebih produktif daripada UMKM di Indonesia.
Perbedaan dalam nilai tambah ini sebagian besar disebabkan oleh kapasitas produksi dan inovasi teknologi yang dimiliki oleh usaha besar. Usaha besar umumnya memiliki akses yang lebih baik terhadap modal, teknologi, dan jaringan pasar, sehingga mereka mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih tinggi dan harga jual yang lebih kompetitif.
Sementara itu, banyak UMKM yang masih tergantung pada sumber daya lokal dan kurang memiliki akses ke teknologi modern, yang akhirnya menghambat peningkatan produktivitas dan daya saing. Akibatnya, meskipun UMKM dapat menciptakan banyak lapangan kerja, nilai tambah yang dihasilkan per tenaga kerja relatif lebih rendah dibandingkan usaha besar.
Problematika UMKM Indonesia
Salah satu problem utama yang dihadapi oleh UMKM di Indonesia adalah kurangnya perlindungan dan keberpihakan dari pemerintah dalam hal penyediaan bahan baku, dukungan produksi, maupun akses pasar. Selama ini bantuan pembiayaan dengan berbagai format sudah sangat membantu, tetapi bagaimana mengakses, dan menjaga (maintaining) pasar, masih dirasakan kurang.
Banyak pelaku UMKM mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku yang berkualitas dengan harga yang stabil dan terjangkau. Bahkan, tak sedikit UMKM di Indonesia yang masih menggunakan teknologi produksi yang konvensional, sehingga sulit bersaing dalam hal efisiensi dan kualitas produk.
Sementara itu, akses ke pasar yang lebih luas – baik pasar domestik maupun internasional – masih menjadi hambatan besar bagi pelaku UMKM. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 14,6% dari UMKM di Indonesia yang telah terhubung dengan platform digital pada 2023.
Padahal, di era digital saat ini, akses ke pasar daring sangat krusial untuk meningkatkan skala usaha. Pasalnya, meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung digitalisasi UMKM – seperti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) – tingkat adopsi teknologi masih kurang optimal di kalangan UMKM, terutama di daerah-daerah terpencil.
Teknologi dalam banyak hal merupakan tantangan tersendiri bagi UMKM di Indonesia. Meskipun teknologi digital dapat menjadi kunci peningkatan produktivitas dan efisiensi, implementasi teknologi sering kali tidak berjalan optimal karena kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih terbatas.
Banyak pelaku UMKM belum memiliki pengetahuan atau keterampilan yang memadai untuk memanfaatkan teknologi secara maksimal. Selain itu, akses ke pasar, baik input (bahan baku) maupun output (produk jadi), juga masih terbatas, sehingga teknologi tidak dapat memberikan dampak yang signifikan.
Perbedaan dalam nilai tambah ini sebagian besar disebabkan oleh kapasitas produksi dan inovasi teknologi yang dimiliki oleh usaha besar. Usaha besar umumnya memiliki akses yang lebih baik terhadap modal, teknologi, dan jaringan pasar, sehingga mereka mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih tinggi dan harga jual yang lebih kompetitif.
Sementara itu, banyak UMKM yang masih tergantung pada sumber daya lokal dan kurang memiliki akses ke teknologi modern, yang akhirnya menghambat peningkatan produktivitas dan daya saing. Akibatnya, meskipun UMKM dapat menciptakan banyak lapangan kerja, nilai tambah yang dihasilkan per tenaga kerja relatif lebih rendah dibandingkan usaha besar.
Problematika UMKM Indonesia
Salah satu problem utama yang dihadapi oleh UMKM di Indonesia adalah kurangnya perlindungan dan keberpihakan dari pemerintah dalam hal penyediaan bahan baku, dukungan produksi, maupun akses pasar. Selama ini bantuan pembiayaan dengan berbagai format sudah sangat membantu, tetapi bagaimana mengakses, dan menjaga (maintaining) pasar, masih dirasakan kurang.
Banyak pelaku UMKM mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku yang berkualitas dengan harga yang stabil dan terjangkau. Bahkan, tak sedikit UMKM di Indonesia yang masih menggunakan teknologi produksi yang konvensional, sehingga sulit bersaing dalam hal efisiensi dan kualitas produk.
Sementara itu, akses ke pasar yang lebih luas – baik pasar domestik maupun internasional – masih menjadi hambatan besar bagi pelaku UMKM. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 14,6% dari UMKM di Indonesia yang telah terhubung dengan platform digital pada 2023.
Padahal, di era digital saat ini, akses ke pasar daring sangat krusial untuk meningkatkan skala usaha. Pasalnya, meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung digitalisasi UMKM – seperti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) – tingkat adopsi teknologi masih kurang optimal di kalangan UMKM, terutama di daerah-daerah terpencil.
Teknologi dalam banyak hal merupakan tantangan tersendiri bagi UMKM di Indonesia. Meskipun teknologi digital dapat menjadi kunci peningkatan produktivitas dan efisiensi, implementasi teknologi sering kali tidak berjalan optimal karena kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih terbatas.
Banyak pelaku UMKM belum memiliki pengetahuan atau keterampilan yang memadai untuk memanfaatkan teknologi secara maksimal. Selain itu, akses ke pasar, baik input (bahan baku) maupun output (produk jadi), juga masih terbatas, sehingga teknologi tidak dapat memberikan dampak yang signifikan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda