Pansus Haji: Nurani, Kursi atau Money?
Selasa, 16 Juli 2024 - 20:21 WIB
Terkait tudingan korupsi ini, Kementerian Agama (Kemenag) telah membantah keras. "Betul ada situasi teknis yang kemudian kita simulasikan seperti itu. Jadi bukan dijual," tandas Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief, Senin (15/7/2024).
Sorotan dan bantahan ini memang terasa semakin keras belakangan ini. Namun dalam konteks demokrasi, fenomena ini adalah bagian dari proses yang harus dilalui sebagai upaya untuk menjernihkan masalah. Seterang-terangnya.
Publik sangat menunggu Pansus Haji ini berjalan dengan transparan dan optimal. Tak hanya itu, kendati memiliki hak angket atau kewenangan menyelidiki, sudah seharusnya Pansus Haji tetap mengedepankan cara-cara yang bijak. Hindari pola-pola penggiringan opini, termasuk penghakiman.
Penegasan ini beralasan. Sebab meski tugas sangat berat dan tak mungkin sempurna, sebagai penyelenggara haji yang bertanggung jawab atas 241.000 jemaah, tentu Kemenag tidak mungkin asal-asalan. Di bawah koordinasi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Kemenag terbukti banyak membuat terobosan positif sehingga transformasi layanan benar-benar terasa. Seluruh kontrak kerja berkaitan haji misalnya, sejak dini melibatkan pengawasan dari inspektorat jenderal dan pihak terkait. Ikhtiar ini dilakukan jelas untuk mencegah praktik korupsi. Bahkan dari pengawasan yang sangat ketat ini, Kemenag bisa menghemat cukup banyak anggaran hingga bermanfaat untuk peningkatan layanan, utamanya katering bagi jemaah. Ini tentu langkah berani dan nyaris tak pernah dilakukan Kemenag sepanjang penyelenggaraan haji sebelumnya.
Soal kisruh alokasi kuota tambahan ini pun, Kemenag pun tak pernah lancang. Kemenag berdalih telah beberapa kali berupaya berkomunikasi ke DPR untuk menyepakati soal pembagian. Namun, keinginan pemerintah ini bertepuk sebelah tangan. Kalangan DPR enggan diajak membahas lantaran saat itu (Januari-Februari 2024), mereka disibukkan dengan urusan pemilu. Mungkin bagi kalangan DPR, kampanye, konstituen atau dapil lebih berharga ketimbang harus ke Jakarta untuk rapat seharian yang tak jelas berbuah suara pemilih.
Pada saat yang sama, Kemenag juga berkejaran dengan waktu dan deadline yang diberikan oleh otoritas Saudi. Pada 2024 ini, Kemenag juga dibuat berpikir keras agar kebijakan baru berupa zonasi di Mina yang dibuat oleh Saudi tetap berdampak pada keselamatan jemaah. Jika dipaksa seluruh tambahan kuota ditempatkan di zona III dan IV Mina, bisa dibayangkan tingkat kepadatan sekaligus kerawanan di masa puncak haji ini. Terobosan Kemenag jelas berpijak pada aspek yang lebih mendasar dan penting, yakni pelayanan terbaik kepada jemaah agar mereka bisa nyaman dalam menjalankan ibadah sebagaimana amanat dari UU No 8 Tahun 2019. Komitmen yang dipegang adalah terciptanya layanan terbaik, bukan kepentingan kelompok apalagi uang (korupsi).
Dari sini, sebenarnya sudah terlihat di mana persoalan Pansus Haji ini bermula. Sejak awal terlihat ada keengganan DPR untuk melakukan pembahasan. Upaya komunikasi dibuat buntu. Padahal tambahan kuota adalah fenomena lumrah yang hampir terjadi tiap tahun. Pada 2022 dan 2023, DPR seolah seiya sekata dengan Kemenag untuk pengelolaan kuota ekstra ini. Pada 2002, DPR setuju kuota tambahan 10.000 tak diambil karena waktu yang mepet. Tahun 2023, DPR pun sepakat dengan masuknya kuota tambahan 8.000 jemaah dari Saudi. Bahkan pada 2022, kebijakan Saudi yang sangat mendadak terkait melonjaknya tarif layanan di Masyair (Arafah, Muzdalifah dan Mina) hingga lebih dari dua kali lipat karena mencapai 5.656,87 SAR atau sekitar Rp20 juta pun mampu direspons dengan baik oleh DPR. Tak kurang sepekan, DPR dan Kemenag duduk satu meja hingga membuahkan keputusan yang melegakan jemaah.
Pansus Angket Pengawasan Haji DPR memang telah berhasil dibuat DPR sejak pekan lalu. Namun lewat Pansus Haji inilah, sejatinya para anggota DPR justru tengah diuji. Benarkah pengawasan yang dimaksud sudah murni berangkat dari hati nurani plus berbasis data lapangan seperti dengan datang, melihat, bertanya dan meresapi benar-benar apa yang dialami jemaah? Benarkah isu kuota ini menjadi kendala utama sehingga patut untuk permasalahkan sana-sini, sementara pada saat yang sama ada layanan dari maskapai Garuda Indonesia yang carut marut bahkan tercatat terburuk dalam penyelenggaraan haji, tapi seolah tak disikapi? Benarkah pula kalangan DPR sudah adil melaksanakan tugasnya, sebab ketika undangan rapat pembahasan kuota saja malah memilih menanggalkan sementara soal Pansus Haji mereka begitu ngotot untuk digelindingkan, bahkan ketika puncak haji belum terlaksana sekalipun?
Pertanyaan sekaligus keanehan inilah yang patut dipahami Pansus Haji karena memicu tanda tanya publik. Apalagi, isu kepentingan praktis yang melingkupi seputar isu lahirnya Pansus Haji ini juga tak henti bermunculan. Seperti kurang harmonisnya hubungan pribadi antara Cak Imin dengan Menag Yaqut. Kemudian dugaan syahwat besar Cak Imin yang berniat menjadi Ketua Umum PBNU pada 2027 mendatang dengan cara memenggal kekuasaan Menag Yaqut. Bahkan muncul pula target Cak Imin yang ingin memasukkan kader pilihannya untuk mengisi kursi menteri agama di masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan mengusung pansus, meski diyakini sejak awal musykil untuk tuntas, namun setidaknya telah berhasil menggerus prestasi dan kredibelitas Menag Yaqut.
Jika sinyalemen ‘menggergaji’ menteri di ujung tugas itu benar, fenomena tersebut hampir mirip ketika Pansus Haji digulirkan di era Menag Maftuh Basyuni 2009 silam. Kala itu, Maftuh diserang dengan pembentukan Panitia Angket untuk mengevaluasi dugaan pelanggaran penyelenggaran haji 2006 (kasus kelaparan) dan 2008 (kasus transportasi dan pemondokan). Ujungnya, Maftuh tak di-reshuflle, namun tak dipakai lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di periode berikutnya.
Sorotan dan bantahan ini memang terasa semakin keras belakangan ini. Namun dalam konteks demokrasi, fenomena ini adalah bagian dari proses yang harus dilalui sebagai upaya untuk menjernihkan masalah. Seterang-terangnya.
Publik sangat menunggu Pansus Haji ini berjalan dengan transparan dan optimal. Tak hanya itu, kendati memiliki hak angket atau kewenangan menyelidiki, sudah seharusnya Pansus Haji tetap mengedepankan cara-cara yang bijak. Hindari pola-pola penggiringan opini, termasuk penghakiman.
Penegasan ini beralasan. Sebab meski tugas sangat berat dan tak mungkin sempurna, sebagai penyelenggara haji yang bertanggung jawab atas 241.000 jemaah, tentu Kemenag tidak mungkin asal-asalan. Di bawah koordinasi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Kemenag terbukti banyak membuat terobosan positif sehingga transformasi layanan benar-benar terasa. Seluruh kontrak kerja berkaitan haji misalnya, sejak dini melibatkan pengawasan dari inspektorat jenderal dan pihak terkait. Ikhtiar ini dilakukan jelas untuk mencegah praktik korupsi. Bahkan dari pengawasan yang sangat ketat ini, Kemenag bisa menghemat cukup banyak anggaran hingga bermanfaat untuk peningkatan layanan, utamanya katering bagi jemaah. Ini tentu langkah berani dan nyaris tak pernah dilakukan Kemenag sepanjang penyelenggaraan haji sebelumnya.
Soal kisruh alokasi kuota tambahan ini pun, Kemenag pun tak pernah lancang. Kemenag berdalih telah beberapa kali berupaya berkomunikasi ke DPR untuk menyepakati soal pembagian. Namun, keinginan pemerintah ini bertepuk sebelah tangan. Kalangan DPR enggan diajak membahas lantaran saat itu (Januari-Februari 2024), mereka disibukkan dengan urusan pemilu. Mungkin bagi kalangan DPR, kampanye, konstituen atau dapil lebih berharga ketimbang harus ke Jakarta untuk rapat seharian yang tak jelas berbuah suara pemilih.
Pada saat yang sama, Kemenag juga berkejaran dengan waktu dan deadline yang diberikan oleh otoritas Saudi. Pada 2024 ini, Kemenag juga dibuat berpikir keras agar kebijakan baru berupa zonasi di Mina yang dibuat oleh Saudi tetap berdampak pada keselamatan jemaah. Jika dipaksa seluruh tambahan kuota ditempatkan di zona III dan IV Mina, bisa dibayangkan tingkat kepadatan sekaligus kerawanan di masa puncak haji ini. Terobosan Kemenag jelas berpijak pada aspek yang lebih mendasar dan penting, yakni pelayanan terbaik kepada jemaah agar mereka bisa nyaman dalam menjalankan ibadah sebagaimana amanat dari UU No 8 Tahun 2019. Komitmen yang dipegang adalah terciptanya layanan terbaik, bukan kepentingan kelompok apalagi uang (korupsi).
Dari sini, sebenarnya sudah terlihat di mana persoalan Pansus Haji ini bermula. Sejak awal terlihat ada keengganan DPR untuk melakukan pembahasan. Upaya komunikasi dibuat buntu. Padahal tambahan kuota adalah fenomena lumrah yang hampir terjadi tiap tahun. Pada 2022 dan 2023, DPR seolah seiya sekata dengan Kemenag untuk pengelolaan kuota ekstra ini. Pada 2002, DPR setuju kuota tambahan 10.000 tak diambil karena waktu yang mepet. Tahun 2023, DPR pun sepakat dengan masuknya kuota tambahan 8.000 jemaah dari Saudi. Bahkan pada 2022, kebijakan Saudi yang sangat mendadak terkait melonjaknya tarif layanan di Masyair (Arafah, Muzdalifah dan Mina) hingga lebih dari dua kali lipat karena mencapai 5.656,87 SAR atau sekitar Rp20 juta pun mampu direspons dengan baik oleh DPR. Tak kurang sepekan, DPR dan Kemenag duduk satu meja hingga membuahkan keputusan yang melegakan jemaah.
Pansus Angket Pengawasan Haji DPR memang telah berhasil dibuat DPR sejak pekan lalu. Namun lewat Pansus Haji inilah, sejatinya para anggota DPR justru tengah diuji. Benarkah pengawasan yang dimaksud sudah murni berangkat dari hati nurani plus berbasis data lapangan seperti dengan datang, melihat, bertanya dan meresapi benar-benar apa yang dialami jemaah? Benarkah isu kuota ini menjadi kendala utama sehingga patut untuk permasalahkan sana-sini, sementara pada saat yang sama ada layanan dari maskapai Garuda Indonesia yang carut marut bahkan tercatat terburuk dalam penyelenggaraan haji, tapi seolah tak disikapi? Benarkah pula kalangan DPR sudah adil melaksanakan tugasnya, sebab ketika undangan rapat pembahasan kuota saja malah memilih menanggalkan sementara soal Pansus Haji mereka begitu ngotot untuk digelindingkan, bahkan ketika puncak haji belum terlaksana sekalipun?
Pertanyaan sekaligus keanehan inilah yang patut dipahami Pansus Haji karena memicu tanda tanya publik. Apalagi, isu kepentingan praktis yang melingkupi seputar isu lahirnya Pansus Haji ini juga tak henti bermunculan. Seperti kurang harmonisnya hubungan pribadi antara Cak Imin dengan Menag Yaqut. Kemudian dugaan syahwat besar Cak Imin yang berniat menjadi Ketua Umum PBNU pada 2027 mendatang dengan cara memenggal kekuasaan Menag Yaqut. Bahkan muncul pula target Cak Imin yang ingin memasukkan kader pilihannya untuk mengisi kursi menteri agama di masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan mengusung pansus, meski diyakini sejak awal musykil untuk tuntas, namun setidaknya telah berhasil menggerus prestasi dan kredibelitas Menag Yaqut.
Jika sinyalemen ‘menggergaji’ menteri di ujung tugas itu benar, fenomena tersebut hampir mirip ketika Pansus Haji digulirkan di era Menag Maftuh Basyuni 2009 silam. Kala itu, Maftuh diserang dengan pembentukan Panitia Angket untuk mengevaluasi dugaan pelanggaran penyelenggaran haji 2006 (kasus kelaparan) dan 2008 (kasus transportasi dan pemondokan). Ujungnya, Maftuh tak di-reshuflle, namun tak dipakai lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di periode berikutnya.
tulis komentar anda