Pansus Haji: Nurani, Kursi atau Money?

Selasa, 16 Juli 2024 - 20:21 WIB
loading...
Pansus Haji: Nurani,...
Pansus Angket Haji akan menggelar rapat perdana, Rabu (17/7/2024) besok, di tengah masa reses DPR. FOTO ILUSTRASI/SINDOnews/MASYHUDI
A A A
Abdul Hakim
Jurnalis Sindonews.com

BOLA Pansus Haji menggelinding kencang. "Pansus bakal bekerja cepat, bahkan akan bekerja di masa reses," demikian cetus Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Wakil Ketua DPR di Gedung Senayan, Jakarta, Selasa (16/7/2024).

Cak Imin memang bukan sembarang orang di balik isu panas seputar Pansus Haji ini. Selain labelnya sebagai ketua tim pengawas haji DPR, Cak Imin adalah penggerak utama, bahkan bisa dimafhumi inisiator atas lahirnya pansus. Sebagai aktor sentral, wajar jika Cak Imin sebegitu ngotot plus memiliki target besar. Mulai Rabu (17/7/2024), Ketua Umum PKB ini bahkan mangajak para anggota Pansus Haji yang terdiri dari delapan fraksi langsung gaspol dimulai dengan menyusun peta jalan (road map). Bagi Cak Imin, Pansus harus tetap bisa aktif meski masa reses telah mulai 12 Juli lalu dan baru rampung 15 Agustus mendatang.

Strategi Cak Imin ini pun diamini para anggota pansus seperti Wisnu Wijaya dari Fraksi PKS. Sesuai Peraturan DPR tentang Tata Tertib di Pasal 189, masa kerja pansus dibatasi 60 hari. Meski tergolong mepet, para penggerak pansus itu optimistis masa dua bulan cukup untuk bekerja.

Lantas apa target utama dibuatnya Pansus Haji hingga para anggota DPR melakukan hal tak lazim, yakni rela ngantor di saat reses? Ditilik dari cara kerjanya yang seolah kejar tayang ini, sangat mungkin dugaan penyimpangan penyelenggaran haji di bawah komando Kementerian Agama dinilai sangat gawat. Pembahasan mendesak pun menjadi jalan final, meski pemulangan seluruh jemaah haji Indonesia baru benar-benar berakhir pada 23 Juli mendatang.

Pansus atau panitia khusus sebenarnya bukan hal aneh. Merujuk regulasinya, pansus menjadi hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan eksekutif yang dianggap keliru. Sistem kontrol ini menjadi keniscayaan dalam negara demokrasi, terutama untuk mewujudkan keadilan bersama.

DPR menganggap ada sederet masalah krusial dalam penyelengaraan haji tahun ini. Di antara yang paling merugikan jemaah haji adalah soal alokasi kuota tambahan 20.000 dari Arab Saudi, sempitnya tempat tidur di Mina, layanan katering hingga kebijakan visa ziarah yang membuat banyak jemaah umrah belum kembali ke Indonesia.

Bahkan sebagian kalangan DPR mensinyalir, ada praktik korupsi di balik kebijakan Kemenag yang memberikan separuh kuota tambahan kepada jemaah haji khusus. Sebab merujuk pasal 64 UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, jatah jemaah haji khusus hanya dipatok 8%. Atas dugaan ini pun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah menggaransi siap mendampingi kerja-kerja penyelidikan pansus jika diminta.

Terkait tudingan korupsi ini, Kementerian Agama (Kemenag) telah membantah keras. "Betul ada situasi teknis yang kemudian kita simulasikan seperti itu. Jadi bukan dijual," tandas Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief, Senin (15/7/2024).

Sorotan dan bantahan ini memang terasa semakin keras belakangan ini. Namun dalam konteks demokrasi, fenomena ini adalah bagian dari proses yang harus dilalui sebagai upaya untuk menjernihkan masalah. Seterang-terangnya.

Publik sangat menunggu Pansus Haji ini berjalan dengan transparan dan optimal. Tak hanya itu, kendati memiliki hak angket atau kewenangan menyelidiki, sudah seharusnya Pansus Haji tetap mengedepankan cara-cara yang bijak. Hindari pola-pola penggiringan opini, termasuk penghakiman.

Penegasan ini beralasan. Sebab meski tugas sangat berat dan tak mungkin sempurna, sebagai penyelenggara haji yang bertanggung jawab atas 241.000 jemaah, tentu Kemenag tidak mungkin asal-asalan. Di bawah koordinasi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Kemenag terbukti banyak membuat terobosan positif sehingga transformasi layanan benar-benar terasa. Seluruh kontrak kerja berkaitan haji misalnya, sejak dini melibatkan pengawasan dari inspektorat jenderal dan pihak terkait. Ikhtiar ini dilakukan jelas untuk mencegah praktik korupsi. Bahkan dari pengawasan yang sangat ketat ini, Kemenag bisa menghemat cukup banyak anggaran hingga bermanfaat untuk peningkatan layanan, utamanya katering bagi jemaah. Ini tentu langkah berani dan nyaris tak pernah dilakukan Kemenag sepanjang penyelenggaraan haji sebelumnya.

Soal kisruh alokasi kuota tambahan ini pun, Kemenag pun tak pernah lancang. Kemenag berdalih telah beberapa kali berupaya berkomunikasi ke DPR untuk menyepakati soal pembagian. Namun, keinginan pemerintah ini bertepuk sebelah tangan. Kalangan DPR enggan diajak membahas lantaran saat itu (Januari-Februari 2024), mereka disibukkan dengan urusan pemilu. Mungkin bagi kalangan DPR, kampanye, konstituen atau dapil lebih berharga ketimbang harus ke Jakarta untuk rapat seharian yang tak jelas berbuah suara pemilih.

Pada saat yang sama, Kemenag juga berkejaran dengan waktu dan deadline yang diberikan oleh otoritas Saudi. Pada 2024 ini, Kemenag juga dibuat berpikir keras agar kebijakan baru berupa zonasi di Mina yang dibuat oleh Saudi tetap berdampak pada keselamatan jemaah. Jika dipaksa seluruh tambahan kuota ditempatkan di zona III dan IV Mina, bisa dibayangkan tingkat kepadatan sekaligus kerawanan di masa puncak haji ini. Terobosan Kemenag jelas berpijak pada aspek yang lebih mendasar dan penting, yakni pelayanan terbaik kepada jemaah agar mereka bisa nyaman dalam menjalankan ibadah sebagaimana amanat dari UU No 8 Tahun 2019. Komitmen yang dipegang adalah terciptanya layanan terbaik, bukan kepentingan kelompok apalagi uang (korupsi).

Dari sini, sebenarnya sudah terlihat di mana persoalan Pansus Haji ini bermula. Sejak awal terlihat ada keengganan DPR untuk melakukan pembahasan. Upaya komunikasi dibuat buntu. Padahal tambahan kuota adalah fenomena lumrah yang hampir terjadi tiap tahun. Pada 2022 dan 2023, DPR seolah seiya sekata dengan Kemenag untuk pengelolaan kuota ekstra ini. Pada 2002, DPR setuju kuota tambahan 10.000 tak diambil karena waktu yang mepet. Tahun 2023, DPR pun sepakat dengan masuknya kuota tambahan 8.000 jemaah dari Saudi. Bahkan pada 2022, kebijakan Saudi yang sangat mendadak terkait melonjaknya tarif layanan di Masyair (Arafah, Muzdalifah dan Mina) hingga lebih dari dua kali lipat karena mencapai 5.656,87 SAR atau sekitar Rp20 juta pun mampu direspons dengan baik oleh DPR. Tak kurang sepekan, DPR dan Kemenag duduk satu meja hingga membuahkan keputusan yang melegakan jemaah.

Pansus Angket Pengawasan Haji DPR memang telah berhasil dibuat DPR sejak pekan lalu. Namun lewat Pansus Haji inilah, sejatinya para anggota DPR justru tengah diuji. Benarkah pengawasan yang dimaksud sudah murni berangkat dari hati nurani plus berbasis data lapangan seperti dengan datang, melihat, bertanya dan meresapi benar-benar apa yang dialami jemaah? Benarkah isu kuota ini menjadi kendala utama sehingga patut untuk permasalahkan sana-sini, sementara pada saat yang sama ada layanan dari maskapai Garuda Indonesia yang carut marut bahkan tercatat terburuk dalam penyelenggaraan haji, tapi seolah tak disikapi? Benarkah pula kalangan DPR sudah adil melaksanakan tugasnya, sebab ketika undangan rapat pembahasan kuota saja malah memilih menanggalkan sementara soal Pansus Haji mereka begitu ngotot untuk digelindingkan, bahkan ketika puncak haji belum terlaksana sekalipun?

Pertanyaan sekaligus keanehan inilah yang patut dipahami Pansus Haji karena memicu tanda tanya publik. Apalagi, isu kepentingan praktis yang melingkupi seputar isu lahirnya Pansus Haji ini juga tak henti bermunculan. Seperti kurang harmonisnya hubungan pribadi antara Cak Imin dengan Menag Yaqut. Kemudian dugaan syahwat besar Cak Imin yang berniat menjadi Ketua Umum PBNU pada 2027 mendatang dengan cara memenggal kekuasaan Menag Yaqut. Bahkan muncul pula target Cak Imin yang ingin memasukkan kader pilihannya untuk mengisi kursi menteri agama di masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan mengusung pansus, meski diyakini sejak awal musykil untuk tuntas, namun setidaknya telah berhasil menggerus prestasi dan kredibelitas Menag Yaqut.

Jika sinyalemen ‘menggergaji’ menteri di ujung tugas itu benar, fenomena tersebut hampir mirip ketika Pansus Haji digulirkan di era Menag Maftuh Basyuni 2009 silam. Kala itu, Maftuh diserang dengan pembentukan Panitia Angket untuk mengevaluasi dugaan pelanggaran penyelenggaran haji 2006 (kasus kelaparan) dan 2008 (kasus transportasi dan pemondokan). Ujungnya, Maftuh tak di-reshuflle, namun tak dipakai lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di periode berikutnya.

Di luar soal isu kursi dan motif pribadi, ada pula dugaan Pansus Haji ini sekadar alat untuk menekan pihak tertentu untuk tujuan uang (money). Pengusung kelompok ini adalah mereka-mereka yang gagal terpilih lagi menjadi anggota DPR pada periode 2024-2029. Tujuan mereka sangat praktis. Sejatinya mereka tak terlalu peduli dengan isi dan misi pansus. Bagi kelompok ini, yang terpenting adalah Pansus bisa memberikan keuntungan finansial.

Sederet pertanyaan inilah yang harus direspons dengan bijak oleh Pansus Haji. Pansus adalah wadah terhormat untuk mengevaluasi secara konstruktif agar penyelenggaraan haji Indonesia ke depan semakin baik. Dengan dasar ini, Pansus Haji harus benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, kecuali hanya atas nama rakyat.

Taruhan Pansus ini sangatlah besar. Jika Pansus Haji gagal menjawab tanggung jawab besar ini, pasti menjadi bumerang alias berbalik arah. Pansus akan dicemooh. Dan, ketidakpercayaan (distrust) publik terhadap lembaga legislatif di negeri ini pun kian tebal.

Nurani, kursi, dan money semuanya memiliki daya tarik sekaligus implikasi. Keteguhan untuk bersikap dan bertindak menjadi wakil dan pelayan rakyat yang sejati ini tentu perlu dipegang kuat. Ini selaras dengan nasihat yang pernah disampaikan KH M Cholil Bisri (Wakil Ketua MPR 2002-2004), "Pemimpin tidak hanya membutuhkan orang-orang yang bersedia melayaninya, tapi juga menghajatkan orang-orang yang diajak berbicara, yakni khudama dan julasa yang porsinya seimbang. Khudama yang bermakna pelayan meladeni kebutuhan nafsu, sedang julasa yang bermakna kawan bicara ini melayani kebutuhan hati nurani".

Khudama tanpa julasa membuat pemimpin otoriter, sedang julasa tanpa khudama menjadikan pemimpin kehilangan kewibawaan. Kita tentu tak ingin para pengusung Pansus Haji malah dibuat kecele, malu dan hancur wibawanya karena hanya bermodal umbaran nafsu belaka plus tak benar-benar berangkat dari hati nurani.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1283 seconds (0.1#10.140)