Kapal Bekas dan Masa Depan Kerja Sama Alutsista Indonesia-Korsel
Senin, 10 Juni 2024 - 05:17 WIB
Dilihat dari tiga transaksi tersebut, tampak sekali indikasi tingginya rasa saling percaya antar-kedua pihak, termasuk dari sisi Indonesia berani menjadi pembeli pertama alutsista sekelas kapal selam dan pesawat tempur yang notabene belum battle proven.
Di sisi lain, Korsel bermurah hati memberikan ToT demi mendukung visi Indonesia membangun kemandirian alutsista. Apalagi kemudian ToT kapal LPD sukses besar, di mana PT PAL tidak hanya bisa membangun kapal perang berukuran besar tersebut, tapi juga mampu mengembangkan dan mengekspornya.
Baru kemudian muncul persoalan serius dalam transaksi kapal selam Chang Bogo dan proyek KFX/IFX. Pada kasus kapal selam Chan Bogo, Indonesia bisa dikatakan terlalu nekad membeli alutsista strategis dari negara non-pemain utama kapal selam, seperti Jerman dan Prancis. Sedangkan kendala proyek KFX-IFX terjadi karena ternyata Korsel memiliki ketergantungan pada AS pada teknologi kunci, sedangkan di sisi lain Indonesia harus diakui bukan negeri sekutu yang bisa mendapat privellege AS untuk mendapatkan teknologi canggih produk mereka maupun mengembangkan alutsista.
Di luar persoalan teknis, di era kepemimpinan Jokowi dengan menteri pertahanan dipegang Prabowo Subianto, Indonesia sesungguhnya menunjukkan intensifitas belanja alutsista. Hanya saja, orientasi yang ditunjukkan mantan Danjen Kopassus adalah membeli alutsista grade A dan dari negara pemain utama alutsista dan bisa menjadi sahabat Indonesia. Fakta ini terlihat dari akuisi pesawat tempur Rafale, kapal selam Scorpene Evolved, dan fregat kelas Thaon di Revel dari Italia.
Di sisi lain, Indonesia juga mereorientasi pembelian alutsista dari negara yang memiliki independensi dalam membangun alutsista dan bersedia memberikan ToT, dengan tujuan mengurangi resiko embargo dan menggapi kemandirian alutsista. Pilihan ini jatuh pada Turki. Belakangan, akuisisi maupun kerjasama dengan negeri Ottoman itu berlangsung sangat progresif, dengan beragam poin transaksi mulai dari kapal perang, drone tempur, sistem manajemen tempur hingga rudal.
Jika berkaca pada fakta-fakta di atas, kerja sama alutsista Indonesia-Korsel yang mengalami puncak kejayaan di era Presiden SBY, justru mengalami penurunan meski kerja sama kedua negara sudah pada level special strategic partnership. Dengan tampilnya Prabowo sebagai presiden terpilih dengan personality politic-nya yang ditunjukkan selama menjabat menteri pertahanan, masa depan kerja sama alutsista Indonesia-Korsel terancam kian suram.
baca juga: Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista
Kondisi demikian diperberat dengan agresivitas produsen utama alutsista dunia seperti Prancis dan Turki dalam mendekati Indonesia, dan kesediaan mereka memenuhi tuntutan dan kebutuhan Kemhan-TNI untuk mendapatkan state of the art alutsista dan memberikan kemudahan ToT untuk mendukung program kemandirian alutsista. Persaingan pun membuat Korsel semakin tersisih.
Kendati demikin, Indonesia-Korsel adalah dua negara bersahabat yang sudah teruji saling mendukung satu-satu sama lain selama 50 tahun hubungan berlangsung, hingga kerja sama diplomasi menapak level begitu tinggi. Terlebih kerja sama saling-menguntungkan yang dilakukan bukan hanya dalam bidang alutsista saja, tapi juga pada banyak bidang lain seperti menjadi komitmen special strategic partnership.
Karena itulah, Indonesia perlu menjaga agar hubungan kerja sama alutsista dengan Korsel tetap baik-baik saja, walaupun tidak seintensif sebelumnya. Pembelian Korvet Kelas Pohang bisa menjadi salah satu upaya yang dilakukan tujuan tersebut. Tentu saja ke depan situasi bisa berubah bila Korsel bisa menyaingi Prancis atau Turki dalam konteks kualitas alutsista ataupun memenuhi komitmen ToT tanpa terbelenggu kebijakan negara lain, terutama AS. (*)
Di sisi lain, Korsel bermurah hati memberikan ToT demi mendukung visi Indonesia membangun kemandirian alutsista. Apalagi kemudian ToT kapal LPD sukses besar, di mana PT PAL tidak hanya bisa membangun kapal perang berukuran besar tersebut, tapi juga mampu mengembangkan dan mengekspornya.
Baru kemudian muncul persoalan serius dalam transaksi kapal selam Chang Bogo dan proyek KFX/IFX. Pada kasus kapal selam Chan Bogo, Indonesia bisa dikatakan terlalu nekad membeli alutsista strategis dari negara non-pemain utama kapal selam, seperti Jerman dan Prancis. Sedangkan kendala proyek KFX-IFX terjadi karena ternyata Korsel memiliki ketergantungan pada AS pada teknologi kunci, sedangkan di sisi lain Indonesia harus diakui bukan negeri sekutu yang bisa mendapat privellege AS untuk mendapatkan teknologi canggih produk mereka maupun mengembangkan alutsista.
Di luar persoalan teknis, di era kepemimpinan Jokowi dengan menteri pertahanan dipegang Prabowo Subianto, Indonesia sesungguhnya menunjukkan intensifitas belanja alutsista. Hanya saja, orientasi yang ditunjukkan mantan Danjen Kopassus adalah membeli alutsista grade A dan dari negara pemain utama alutsista dan bisa menjadi sahabat Indonesia. Fakta ini terlihat dari akuisi pesawat tempur Rafale, kapal selam Scorpene Evolved, dan fregat kelas Thaon di Revel dari Italia.
Di sisi lain, Indonesia juga mereorientasi pembelian alutsista dari negara yang memiliki independensi dalam membangun alutsista dan bersedia memberikan ToT, dengan tujuan mengurangi resiko embargo dan menggapi kemandirian alutsista. Pilihan ini jatuh pada Turki. Belakangan, akuisisi maupun kerjasama dengan negeri Ottoman itu berlangsung sangat progresif, dengan beragam poin transaksi mulai dari kapal perang, drone tempur, sistem manajemen tempur hingga rudal.
Jika berkaca pada fakta-fakta di atas, kerja sama alutsista Indonesia-Korsel yang mengalami puncak kejayaan di era Presiden SBY, justru mengalami penurunan meski kerja sama kedua negara sudah pada level special strategic partnership. Dengan tampilnya Prabowo sebagai presiden terpilih dengan personality politic-nya yang ditunjukkan selama menjabat menteri pertahanan, masa depan kerja sama alutsista Indonesia-Korsel terancam kian suram.
baca juga: Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista
Kondisi demikian diperberat dengan agresivitas produsen utama alutsista dunia seperti Prancis dan Turki dalam mendekati Indonesia, dan kesediaan mereka memenuhi tuntutan dan kebutuhan Kemhan-TNI untuk mendapatkan state of the art alutsista dan memberikan kemudahan ToT untuk mendukung program kemandirian alutsista. Persaingan pun membuat Korsel semakin tersisih.
Kendati demikin, Indonesia-Korsel adalah dua negara bersahabat yang sudah teruji saling mendukung satu-satu sama lain selama 50 tahun hubungan berlangsung, hingga kerja sama diplomasi menapak level begitu tinggi. Terlebih kerja sama saling-menguntungkan yang dilakukan bukan hanya dalam bidang alutsista saja, tapi juga pada banyak bidang lain seperti menjadi komitmen special strategic partnership.
Karena itulah, Indonesia perlu menjaga agar hubungan kerja sama alutsista dengan Korsel tetap baik-baik saja, walaupun tidak seintensif sebelumnya. Pembelian Korvet Kelas Pohang bisa menjadi salah satu upaya yang dilakukan tujuan tersebut. Tentu saja ke depan situasi bisa berubah bila Korsel bisa menyaingi Prancis atau Turki dalam konteks kualitas alutsista ataupun memenuhi komitmen ToT tanpa terbelenggu kebijakan negara lain, terutama AS. (*)
Lihat Juga :
tulis komentar anda