Kapal Bekas dan Masa Depan Kerja Sama Alutsista Indonesia-Korsel

Senin, 10 Juni 2024 - 05:17 WIB
Selain pembelanjaan alutsista, hubungan militer Indonesia-Korsel juga diwarnai pelaksanaan latihan personel militer pada fasilitas latihanPresidential Security Service(PSS) Korsel. Pertukaran kunjungandelegasi militer juga berlangsung dengan frekuensi tinggi. Kedua negara pun saling mengirim personel militernya untuk melaksanakan tugas belajar di berbagai tingkatan.

Buku Putih Pertahanan juga menegaskan Korsel sebagai mitra penting Indonesia dalam pembangunan kapabilitas pertahanan dan peningkatan profesionalisme prajurit TNI. Disebutkan Indonesia dan Korsel telah memiliki kesepakatan kerja sama di bidang pertahanan.

baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista

Kerja sama pertahanan dimaksud antara lain dialog bilateral rutin dan konsultasi tentang isu-isu strategis dan keamanan; pertukaran pengalaman dan informasi pertahanan; pertukaran personel untuk pendidikan; pelatihan profesional; kunjungan dan penelitian bersama; pertukaran data ilmiah dan teknologi, para ahli, teknisi, pelatih dan kerja sama teknis lain sesuai kepentingan pertahanan; peningkatan kerja sama kedua angkatan bersenjata; bantuan dan dukungan logistik pertahanan; dan pengadaan alutsista.

Tersisih dari Persaingan

Momentum kemesraan kerja sama Indonesia-Korsel sudah terjadi pada 2004 kala pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memborong 4 unit kapal LPD kelas Makassar buatan Daesun Shipbuilding & Engineering Co. dengan skema ToT, yakni 2 kapal dibangun Korsel dan 2 lainnya dibangun di PT PAL. Transfer knowledge yang diperoleh pun membuat PT PAL bisa membangun dan mendesain ulang kapal jenis tersebut, dan bahkan mengekspornya ke Filiphina dan Uni Emirate Arab (UEA).

Setelah kerja sama LPD yang sukses besar, kerja sama alutsista Indonesia-Korsel menunjukkan tren semakin intensif yang ditandai dengan akuisisi kapal selam Chang Bogo pada akhir 2011 dan proyek prestisius kerja sama pembangunan KFX-IFX yang sama-sama terjadi di era Presiden SBY. Untuk kapal selam, Indonesia-Korsel telah menyelesaikan batch I yang menghasilkan KRI Nagapasa-403, KRI Ardadeli-404, dan KRI Alugoro-405.

Namun belakangan muncul persoalan terkait performa kapal selam yang diproduksi Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Co Ltd tersebut, hingga TNI AL disebut tidak mengoperasikannya karena pertimbangan risiko. Atas alasan itulah, akuisisi batch II yang direncanakan membangun tiga kapal Chang Bogo tidak lagi menjadi prioritas. Padahal konon, DSME sudah memesan sejumlah spare part untuk persiapan produksi Batch II.

Begitupun proyek kerja sama KFX-IFX juga menemui banyak ganjalan. Kondisi yang terjadi belakangan diperumit dengan munculnya drama penahanan seorang insinyur Indonesia dengan tuduhan mencuri teknologi jet di Korea Aerospace Industries (KAI), produsen KF-21 Boromae.Yang bersangkutan tertangkap pada bulan Januari saat mencoba meninggalkan fasilitas KAI dengan perangkat penyimpanan USB yang berisi data tentang jet tempur tersebut.

Selain program kerja sama alutsista di atas, Indonesia-Korsel sebenarnya masih ada jual beli pengadaan enam jet tempur latih T-50i senilai total USD240 juta atau berkisar Rp3,4 triliun rupiah pada 2021. Langkah ini merupakan kelanjutan akuisisi 16 unit pesawat T-50 Golden Eagle senilai USD400 juta yang dilakukan tepat satu dekade sebelumnya.

Dilihat dari tiga transaksi tersebut, tampak sekali indikasi tingginya rasa saling percaya antar-kedua pihak, termasuk dari sisi Indonesia berani menjadi pembeli pertama alutsista sekelas kapal selam dan pesawat tempur yang notabene belum battle proven.

Di sisi lain, Korsel bermurah hati memberikan ToT demi mendukung visi Indonesia membangun kemandirian alutsista. Apalagi kemudian ToT kapal LPD sukses besar, di mana PT PAL tidak hanya bisa membangun kapal perang berukuran besar tersebut, tapi juga mampu mengembangkan dan mengekspornya.

Baru kemudian muncul persoalan serius dalam transaksi kapal selam Chang Bogo dan proyek KFX/IFX. Pada kasus kapal selam Chan Bogo, Indonesia bisa dikatakan terlalu nekad membeli alutsista strategis dari negara non-pemain utama kapal selam, seperti Jerman dan Prancis. Sedangkan kendala proyek KFX-IFX terjadi karena ternyata Korsel memiliki ketergantungan pada AS pada teknologi kunci, sedangkan di sisi lain Indonesia harus diakui bukan negeri sekutu yang bisa mendapat privellege AS untuk mendapatkan teknologi canggih produk mereka maupun mengembangkan alutsista.

Di luar persoalan teknis, di era kepemimpinan Jokowi dengan menteri pertahanan dipegang Prabowo Subianto, Indonesia sesungguhnya menunjukkan intensifitas belanja alutsista. Hanya saja, orientasi yang ditunjukkan mantan Danjen Kopassus adalah membeli alutsista grade A dan dari negara pemain utama alutsista dan bisa menjadi sahabat Indonesia. Fakta ini terlihat dari akuisi pesawat tempur Rafale, kapal selam Scorpene Evolved, dan fregat kelas Thaon di Revel dari Italia.

Di sisi lain, Indonesia juga mereorientasi pembelian alutsista dari negara yang memiliki independensi dalam membangun alutsista dan bersedia memberikan ToT, dengan tujuan mengurangi resiko embargo dan menggapi kemandirian alutsista. Pilihan ini jatuh pada Turki. Belakangan, akuisisi maupun kerjasama dengan negeri Ottoman itu berlangsung sangat progresif, dengan beragam poin transaksi mulai dari kapal perang, drone tempur, sistem manajemen tempur hingga rudal.

Jika berkaca pada fakta-fakta di atas, kerja sama alutsista Indonesia-Korsel yang mengalami puncak kejayaan di era Presiden SBY, justru mengalami penurunan meski kerja sama kedua negara sudah pada level special strategic partnership. Dengan tampilnya Prabowo sebagai presiden terpilih dengan personality politic-nya yang ditunjukkan selama menjabat menteri pertahanan, masa depan kerja sama alutsista Indonesia-Korsel terancam kian suram.

baca juga: Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista

Kondisi demikian diperberat dengan agresivitas produsen utama alutsista dunia seperti Prancis dan Turki dalam mendekati Indonesia, dan kesediaan mereka memenuhi tuntutan dan kebutuhan Kemhan-TNI untuk mendapatkan state of the art alutsista dan memberikan kemudahan ToT untuk mendukung program kemandirian alutsista. Persaingan pun membuat Korsel semakin tersisih.

Kendati demikin, Indonesia-Korsel adalah dua negara bersahabat yang sudah teruji saling mendukung satu-satu sama lain selama 50 tahun hubungan berlangsung, hingga kerja sama diplomasi menapak level begitu tinggi. Terlebih kerja sama saling-menguntungkan yang dilakukan bukan hanya dalam bidang alutsista saja, tapi juga pada banyak bidang lain seperti menjadi komitmen special strategic partnership.

Karena itulah, Indonesia perlu menjaga agar hubungan kerja sama alutsista dengan Korsel tetap baik-baik saja, walaupun tidak seintensif sebelumnya. Pembelian Korvet Kelas Pohang bisa menjadi salah satu upaya yang dilakukan tujuan tersebut. Tentu saja ke depan situasi bisa berubah bila Korsel bisa menyaingi Prancis atau Turki dalam konteks kualitas alutsista ataupun memenuhi komitmen ToT tanpa terbelenggu kebijakan negara lain, terutama AS. (*)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More