Upaya Diplomasi Strategis Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Kedaulatan di LCS

Jum'at, 31 Mei 2024 - 13:31 WIB
Laut China Selatan berada dalam kondisi status quo yang ada dalam wilayah perairan internasional. Tetapi China terus melakukan upaya okupasi yang efektif dengan mengirimkan Angkatan Laut dan coastguard-nya yang melewati wilayah Indonesia. Salah satu bentuk diplomasi strategis dan jangka panjang yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah upaya penamaan Laut Natuna Utara, yang mendapatkan tentangan dari China. Langkah berikutnya adalah membuat konsep strategi pertahanan di Pulau Natuna dimana pangkalan militer terluar ditempatkan disana (Yusliandi Ginting, 2023).

Pemerintah Indonesia juga sudah menjadikan Natuna masuk program prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) hingga tahun 2035. Program tersebut sudah mencakup turunan program pertahanan, ekonomi dan politik untuk pengembangan Natuna. TNI juga sudah membentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (KOGABWILHAN) dimana wilayah Barat panglimanya adalah Angkatan Laut dan berpusat di Natuna, wilayah Tengah dipimpin Angkatan Udara berpusat di Tarakan dan wilayah Timur dipimpin Angkatan Darat dan berpusat di Papua (Richo Satria Hutama, 2023).

Pemerintah juga mengembangkan Natuna dengan konsep seperti Hawaii yaitu pangkalan militer yang berbasiskan Angkatan Laut dan juga menjadi status global geopark UNESCO untuk natural border. Dari sisi diplomasi, dengan adanya pengakuan UNESCO maka ada pengakuan dunia internasional bahwa kawasan Natuna adalah milik Indonesia. Selain itu juga dilakukan upaya modernisasi militer di Natuna dalam memenuhi Minimum Essential Forces (MEF) seperti pembangunan barak-barak untuk batalyon komposit dan pembangunan pelabuhan di Selat Lampa (Badan Nasional Pengelola Perbatasan, 2019).

China biasanya selalu mengerahkan coastguardnya di perairan Natuna, jadi jika ada kapal nelayan yang diintimidasi biasanya dilakukan oleh coast guard China. Dari sisi Indonesia yang sering melakukan operasi perbatasan di kawasan Natuna awalnya adalah TNI AL yang memiliki SOP yang berbeda antara sipil dan militer. Merespon situasi tersebut, pemerintah Indonesia akhirnya memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang setara dengan coast guard di negara lain, dimana koordinasi Kepala Bakamla langsung dengan Presiden. Peran Bakamla ini kemudian disebut sebagai White Hal Diplomacy yang menekankan negosiasi jika terjadi insiden dengan coast guard negara lain di wilayah perbatasan (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2014).

Batalyon Komposit Garda Pertahanan Terdepan

Selain upaya diplomasi, pemerintah Indonesia juga membangun kekuatan batalyon komposit yang dipusatkan di Natuna. Kemudian markas Kogabwilhan, markas gugus tempur laut juga dipindahkan dari Tanjung Pinang ke Natuna. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) juga melewati Natuna dimana Indonesia memiliki 3 ALKI. Konsep ini penting untuk dipahami karena setelah Deklarasi Juanda, wilayah Indonesia menjadi negara kesatuan. Wilayah yang tadinya terpecah pulau-pulau dengan laut teritori itu menjadi satu kesatuan tetapi tetap harus menyediakan ALKI untuk kapal dagang dan militer internasional untuk bisa melintas secara bebas.

Pembangunan batalyon komposit di Natuna itu mencakup pembangunan kekuatan di Angkatan Darat, Laut dan Udara secara mandiri. Jadi berbeda model organisasi militer yang ada di Natuna dengan tempat lainnya. Misalkan kalau batalyon normal tidak dilengkapi dengan sistem pertahanan udara sedangkan batalyon komposit dilengkapi dengan sistem tersebut. Batalyon Komposit 1/Gardapati di Natuna dilengkapi dengan artileri medan, artileri pertahanan udara, pesawat beserta lintasannya, kemudian dilengkapi dengan sistem pengintaian dan skuadron yang bersifat strategis. Sehingga batalyon komposit tersebut diharapkan bisa mencakup ZEE sejauh 200 nm (Yoedhi Swastanto, 2023).

Sementara itu untuk angkatan laut yang diwakili oleh Mako Guspurla Koarmada I dan Mako Satgas Kompi Komposit Marinir Natuna dibangun fasilitas pelabuhan yang menampung minimal 3 kapal patroli fregate, karena kalau mengandalkan pelabuhan di Tanjung Pinang jaraknya terlalu jauh. Kemudian juga diperkuat dengan infrastruktur militer khusus seperti tiga KRI ukuran besar sekelas Fregat Bung Tomo Class, Korvet Diponegoro Class dan Korvet kelas Parchim TNI AL untuk melakukan patroli di perairan Natuna dan Laut China Selatan (Indomiliter, 2020).

Kemudian untuk angkatan udaranya di Natuna diwakili oleh Skuadron Udara 52, Satradar 212 dan Denhanud 477 Kopasgat. Selanjutnya ditempatkan satu skuadron pesawat temput untuk operasi patroli udara berkemampuan Maritime Strike. Jenis pesawat tempurnya merupakan kelas unggul seperti F-16 C/D Block 52ID dan Sukhoi Su-27/30 milik TNI AU. Mereka bertugas untuk mengamankan wilayah ZEE sejauh 200 nm di Natuna Utara dan Laut China Selatan. Juga disiagakan berbagai macam radar penjejak agar dapat mengetahui jika ada unsur asing yang masuk ke teritori Indonesia tanpa izin bahkan pesawat siluman pun akan terdeteksi jika mencoba melakukan pelanggaran (Kogabwilhan I, 2023).

Melalui pendekatan diplomasi yang aktif, Indonesia berusaha untuk memperkuat posisinya dalam isu Laut China Selatan, sementara kehadiran militer di Natuna menjadi pilar utama dalam menegaskan kedaulatan negara di tengah kompleksitas geopolitik kawasan. Dengan kehadiran batalyon komposit, Indonesia memberikan sinyal kuat kepada pihak-pihak eksternal yang mencoba mengklaim wilayah perairan tersebut. Selain itu, keberadaan batalyon ini juga menjadi simbol komitmen Indonesia dalam menjaga stabilitas dan keamanan di perairan Natuna, yang merupakan bagian integral tidak terpisahkan dari keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More