75 Tahun Usia MA, YLBHI Sodorkan 7 Rekomendasi Pembaruan MA dan Pengadilan

Kamis, 20 Agustus 2020 - 06:22 WIB
Gedung Mahkamah Agung. Foto: SINDOnews/Sabir Laluhu
JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyodorkan 7 rekomendasi atas 16 belas permasalahan yang masih ada di Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya bersamaan dengan hari jadi ke-75 MA.

Advokat publik YLBHI Aditia Bagus Santoso mengatakan, pada Rabu (19/8/2020) MA telah berusia 75 tahun. Momentum hari lahir MA perlu diperingati dengan mengingat kembali visi dan misi serta semangat MA dan badan peradilan yang berada di bawah naungannya.

Konstitusi telah jelas mengatur bahwa kekuasaan kehakiman sebagai lembaga guna menegakkan hukum dan keadilan. "Dalam peringatan Hari Ulang Tahun Mahkamah Agung di tahun 2020 ini LBH-YLBHI menyampaikan catatan terkait MA dan badan peradilan di bawahnya baik kelembagaan, penegakan hukum acara maupun kualitas putusan. Dengan usia 75 Tahun Mahkamah Agung, saatnya pembaruan pengadilan secara menyeluruh," ujar Aditia di Jakarta, Rabu (19/8/2020) malam. (Baca juga: Sikap PKS Konsisten terhadap Isu Ketidakadilan Diapresiasi YLBHI)

Mantan Direktur LBH Pekanbaru ini membeberkan, ada total 16 catatan berdasarkan data yang dimiliki YLBHI bersama 16 LBH di berbagai daerah.

Pertama, putusan pengadilan minim argumentasi. YLBHI dan sejumlah LBH menemukan khususnya pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, putusan yang dibuat oleh majelis hakim belum memberikan analisa hukum yang kuat dalam pertimbangan hukumnya.



"Seringkali hanya memberikan satu atau dua paragraf sebagai pertimbangan hukum," kata Aditia.

Kedua, kurangnya perspektif HAM termasuk hak atas lingkungan, masyarakat adat, hak atas dan dalam pekerjaan, kebebasan berpendapat/berekspresi dan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan.

Ketiga, integritas dan nilai antikorupsi belum terinternalisasi. Masih ditemui kasus-kasus suap maupun korupsi lainnya. "Pungli dan suap terhadap suatu perkara masih terjadi di lingkungan pengadilan. Bahkan beberapa hakim terang-terangan meminta suap kepada para pencari keadilan baik secara langsung maupun melalui perantara," ungkapnya.

Keempat, eksekusi putusan yang tidak jelas.

Kelima, modernisasi institusi pengadilan yang setengah hati.

Keenam, hakim permisif terhadap pelanggaran hukum acara.

Ketujuh, hakim menghalang-halangi atau mendukung jaksa menghalang-halangi terdakwa untuk didampingi penasihat hukum.

Kedelapan, disparitas putusan dalam satu peristiwa yang sama dengan banyak terdakwa dalam satu pengadilan.

"Sembilan, disparitas putusan pengadilan dalam isu yang sama di lingkungan pengadilan umum," ucapnya. (Baca juga: Peristiwa 19 Agustus: Sejarah Hari Jadi Mahkamah Agung)

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari melanjutkan, catatan kesepuluh yakni hakim tidak menggunakan keterangan terdakwa di persidangan dan menggunakan pengakuan terdakwa yang diperoleh melalui penyiksaan sebagai alat bukti.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More