Waketum MUI Ingatkan Persaingan Harus Menyenangkan dan Berikan Harapan
Sabtu, 27 April 2024 - 13:11 WIB
Program makan siang dan susu gratis adalah social buffering, penunjang kesenjangan sosial yang sering disalah-artikan oleh para kritikus sebagai program pemborosan. Menurut Kiai Marsudi, para kritikus ini seharusnya melihat realitas kehidupan masyarakat, bahwa kesenjangan sosial ini memerlukan terobosan yang ready to serve bukan sekedar ready to act.
"Tentu saja harapan ke depan adalah adanya budaya, kebiasaan masyarakat terhadap menjaga ketersediaan gizi bagi anak-anak sekolah. Karena merekalah tumpuan, merekalah lini terdepan dalam pembangunan kualitas manusia Indonesia," katanya.
Menurutnya, kesejahteraan masyarakat harus dibangun dengan hadirnya negara dalam usaha meningkatkan kualitas hidup sosial. Hadirnya negara dalam makan siang dan susu gratis sebagai bentuk usaha melakukan lompatan kemajuan, sebuah quantum leap menciptakan generasi Indonesia Emas 2045.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah infrastruktur penunjang dalam pembelajaran. Perlu dipersiapkan infrastuktur fisik maupun sosial untuk menunjang para siswa sejak mereka berangkat hingga pulang kembali ke rumah.
Ketika bersekolah, bukan sekadar menerima ilmu, tapi pembangunan kualitas sumber daya manusia diciptakan melalui pendidikan akhlak dan pendisikan sosial yang belakangan sejak era reformasi ini mulai kurang.
Pancasila sebagai pedoman bangsa harus menjadi garis batas sosial pembentukan perilaku Generasi Emas 2045. Dalam hal ini perilaku masyarakat perlu juga mendapat perhatian khusus untuk melakukan lompatan pembangunan tersebut, perlu dibuatkan Pedoman Sosial Bermasyarakat agar indonesia tetap menjadi negara santun dengan semangat gotong royong.
"Kegembiraan masyarakat sepak bola yang jagonya menang dan pelaksanaan agenda politik yang telah berjalan dengan liku-liku problematikanya telah dilewati. Sekarang tinggal program-program yang ditawarkan masa kampanye yang kemudian harus dilaksanakan sebagai pemenuhan janji adalah sebuah kewajiban, yang diamanatkan dari hasil persaingan," katanya.
Kiai Marsudi memaparkan persaingan apa pun, baik dalam olahraga, bisnis, atau politik, hendaknya menjadi persaingan yang menyenangkan dan mempunyai harapan. Itu merupakan esensi ajaran agama Islam, sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW;
"Bergembiralah dan berharaplah dengan sesuatu yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan menimpa kalian, tetapi yang aku khawatirkan ialah terbentangnya dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, sehingga kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berkompetisi, lalu dunia membinasakan kalian sebagaimana membinasakan mereka".
"Kalah menang itulah persaingan, jangan sampai persaingan membinasakan kita, tapi jadikanlah persaingan yang menggembirakan dan tetap mempunyai harapan ke depan. Bagi yang belum berhasil katakanlah saya baru sampai di sini dan saya masih mempunyai harapan ke depan. Jangan katakan pada dirinya sendiri dan orang lain saya kalah. Inilah esensi persaingan untuk mencari yang terbaik dalam hal apa saja, ayyukum ahsanu 'amala," kata Kiai Marsudi Syuhud.
"Tentu saja harapan ke depan adalah adanya budaya, kebiasaan masyarakat terhadap menjaga ketersediaan gizi bagi anak-anak sekolah. Karena merekalah tumpuan, merekalah lini terdepan dalam pembangunan kualitas manusia Indonesia," katanya.
Menurutnya, kesejahteraan masyarakat harus dibangun dengan hadirnya negara dalam usaha meningkatkan kualitas hidup sosial. Hadirnya negara dalam makan siang dan susu gratis sebagai bentuk usaha melakukan lompatan kemajuan, sebuah quantum leap menciptakan generasi Indonesia Emas 2045.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah infrastruktur penunjang dalam pembelajaran. Perlu dipersiapkan infrastuktur fisik maupun sosial untuk menunjang para siswa sejak mereka berangkat hingga pulang kembali ke rumah.
Ketika bersekolah, bukan sekadar menerima ilmu, tapi pembangunan kualitas sumber daya manusia diciptakan melalui pendidikan akhlak dan pendisikan sosial yang belakangan sejak era reformasi ini mulai kurang.
Pancasila sebagai pedoman bangsa harus menjadi garis batas sosial pembentukan perilaku Generasi Emas 2045. Dalam hal ini perilaku masyarakat perlu juga mendapat perhatian khusus untuk melakukan lompatan pembangunan tersebut, perlu dibuatkan Pedoman Sosial Bermasyarakat agar indonesia tetap menjadi negara santun dengan semangat gotong royong.
"Kegembiraan masyarakat sepak bola yang jagonya menang dan pelaksanaan agenda politik yang telah berjalan dengan liku-liku problematikanya telah dilewati. Sekarang tinggal program-program yang ditawarkan masa kampanye yang kemudian harus dilaksanakan sebagai pemenuhan janji adalah sebuah kewajiban, yang diamanatkan dari hasil persaingan," katanya.
Kiai Marsudi memaparkan persaingan apa pun, baik dalam olahraga, bisnis, atau politik, hendaknya menjadi persaingan yang menyenangkan dan mempunyai harapan. Itu merupakan esensi ajaran agama Islam, sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW;
"Bergembiralah dan berharaplah dengan sesuatu yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan menimpa kalian, tetapi yang aku khawatirkan ialah terbentangnya dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, sehingga kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berkompetisi, lalu dunia membinasakan kalian sebagaimana membinasakan mereka".
"Kalah menang itulah persaingan, jangan sampai persaingan membinasakan kita, tapi jadikanlah persaingan yang menggembirakan dan tetap mempunyai harapan ke depan. Bagi yang belum berhasil katakanlah saya baru sampai di sini dan saya masih mempunyai harapan ke depan. Jangan katakan pada dirinya sendiri dan orang lain saya kalah. Inilah esensi persaingan untuk mencari yang terbaik dalam hal apa saja, ayyukum ahsanu 'amala," kata Kiai Marsudi Syuhud.
tulis komentar anda