Waketum MUI Ingatkan Persaingan Harus Menyenangkan dan Berikan Harapan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud memandang sepak bola adalah hiburan yang paling menarik simpati masyarakat dari berbagai kelompok sosial.
Hal itu bisa dilihat dari kegembiraan publik atas kemenangan Timnas Indonesia melawan Korea Selatan dalam babak perempat final Piala Asia U-23 di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Qatar, Jumat (26/4/2024) dini hari.
Dalam pertandingan itu, Timnas Indonesia menang melalui adu penalti dengan skor akhir 11-10. Adu penalti dilaksanakan karena Timnas Indonesia dan Korea Selatan bermain imbang dengan skor 2-2 hingga akhir babak tambahan.
"Si kaya dan si miskin sama-sama melompat berteriak saat gol penalti terakhir berhasil dilesatkan menjebol gawang Korea Selatan," kata Waketum MUI KH Marsudi Syuhud dalam keterangan tertulisnya dikutip, Sabtu (27/4/2024).
Kemenangan atas Korea Selatan tak lepas dari perjuangan sungguh-sungguh anak-anak muda Indonesia di lapangan hijau. Anak-anak muda yang kini menempati jumlah populasi terbesar dalam kelompok umur penduduk yang akan menentukan masa depan Indonesia.
Kiai Marsudi menjelaskan, dalam RPJPN 2025-2045, delapan misi menuju Indonesia Emas menempatkan anak-anak muda bukan hanya sebagai objek tapi juga subjek dalam pembangunan. Dalam 20 tahun rencana pembangunan itu harus diiringi dengan kualitas bibit unggul.
"Anak-anak kita, anak-anak Indonesia yang saat ini baru lahir atau sedang berada pada usia pendidikan awal harus diusahakan kecukupan gizinya agar mampu menjadi generasi unggul, agar generasi ini menjadi role player of the game, merekalah pemain inti dalam Indonesia Emas 2045," kata pengasuh Pondok Pesantren Ekonomi Darul Uchwah ini.
Ia melihat presiden dan wakil presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mempunyai visi dan misi dalam kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas pembangunan. Sebuah program welfare state development yang menempatkan warga negara sebagai kekuatan sosial sesuai amanat UUD 1945.
Program makan siang dan susu gratis adalah social buffering, penunjang kesenjangan sosial yang sering disalah-artikan oleh para kritikus sebagai program pemborosan. Menurut Kiai Marsudi, para kritikus ini seharusnya melihat realitas kehidupan masyarakat, bahwa kesenjangan sosial ini memerlukan terobosan yang ready to serve bukan sekedar ready to act.
"Tentu saja harapan ke depan adalah adanya budaya, kebiasaan masyarakat terhadap menjaga ketersediaan gizi bagi anak-anak sekolah. Karena merekalah tumpuan, merekalah lini terdepan dalam pembangunan kualitas manusia Indonesia," katanya.
Menurutnya, kesejahteraan masyarakat harus dibangun dengan hadirnya negara dalam usaha meningkatkan kualitas hidup sosial. Hadirnya negara dalam makan siang dan susu gratis sebagai bentuk usaha melakukan lompatan kemajuan, sebuah quantum leap menciptakan generasi Indonesia Emas 2045.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah infrastruktur penunjang dalam pembelajaran. Perlu dipersiapkan infrastuktur fisik maupun sosial untuk menunjang para siswa sejak mereka berangkat hingga pulang kembali ke rumah.
Ketika bersekolah, bukan sekadar menerima ilmu, tapi pembangunan kualitas sumber daya manusia diciptakan melalui pendidikan akhlak dan pendisikan sosial yang belakangan sejak era reformasi ini mulai kurang.
Pancasila sebagai pedoman bangsa harus menjadi garis batas sosial pembentukan perilaku Generasi Emas 2045. Dalam hal ini perilaku masyarakat perlu juga mendapat perhatian khusus untuk melakukan lompatan pembangunan tersebut, perlu dibuatkan Pedoman Sosial Bermasyarakat agar indonesia tetap menjadi negara santun dengan semangat gotong royong.
"Kegembiraan masyarakat sepak bola yang jagonya menang dan pelaksanaan agenda politik yang telah berjalan dengan liku-liku problematikanya telah dilewati. Sekarang tinggal program-program yang ditawarkan masa kampanye yang kemudian harus dilaksanakan sebagai pemenuhan janji adalah sebuah kewajiban, yang diamanatkan dari hasil persaingan," katanya.
Kiai Marsudi memaparkan persaingan apa pun, baik dalam olahraga, bisnis, atau politik, hendaknya menjadi persaingan yang menyenangkan dan mempunyai harapan. Itu merupakan esensi ajaran agama Islam, sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW;
"Bergembiralah dan berharaplah dengan sesuatu yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan menimpa kalian, tetapi yang aku khawatirkan ialah terbentangnya dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, sehingga kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berkompetisi, lalu dunia membinasakan kalian sebagaimana membinasakan mereka".
"Kalah menang itulah persaingan, jangan sampai persaingan membinasakan kita, tapi jadikanlah persaingan yang menggembirakan dan tetap mempunyai harapan ke depan. Bagi yang belum berhasil katakanlah saya baru sampai di sini dan saya masih mempunyai harapan ke depan. Jangan katakan pada dirinya sendiri dan orang lain saya kalah. Inilah esensi persaingan untuk mencari yang terbaik dalam hal apa saja, ayyukum ahsanu 'amala," kata Kiai Marsudi Syuhud.
Hal itu bisa dilihat dari kegembiraan publik atas kemenangan Timnas Indonesia melawan Korea Selatan dalam babak perempat final Piala Asia U-23 di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Qatar, Jumat (26/4/2024) dini hari.
Dalam pertandingan itu, Timnas Indonesia menang melalui adu penalti dengan skor akhir 11-10. Adu penalti dilaksanakan karena Timnas Indonesia dan Korea Selatan bermain imbang dengan skor 2-2 hingga akhir babak tambahan.
"Si kaya dan si miskin sama-sama melompat berteriak saat gol penalti terakhir berhasil dilesatkan menjebol gawang Korea Selatan," kata Waketum MUI KH Marsudi Syuhud dalam keterangan tertulisnya dikutip, Sabtu (27/4/2024).
Kemenangan atas Korea Selatan tak lepas dari perjuangan sungguh-sungguh anak-anak muda Indonesia di lapangan hijau. Anak-anak muda yang kini menempati jumlah populasi terbesar dalam kelompok umur penduduk yang akan menentukan masa depan Indonesia.
Kiai Marsudi menjelaskan, dalam RPJPN 2025-2045, delapan misi menuju Indonesia Emas menempatkan anak-anak muda bukan hanya sebagai objek tapi juga subjek dalam pembangunan. Dalam 20 tahun rencana pembangunan itu harus diiringi dengan kualitas bibit unggul.
"Anak-anak kita, anak-anak Indonesia yang saat ini baru lahir atau sedang berada pada usia pendidikan awal harus diusahakan kecukupan gizinya agar mampu menjadi generasi unggul, agar generasi ini menjadi role player of the game, merekalah pemain inti dalam Indonesia Emas 2045," kata pengasuh Pondok Pesantren Ekonomi Darul Uchwah ini.
Ia melihat presiden dan wakil presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mempunyai visi dan misi dalam kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas pembangunan. Sebuah program welfare state development yang menempatkan warga negara sebagai kekuatan sosial sesuai amanat UUD 1945.
Program makan siang dan susu gratis adalah social buffering, penunjang kesenjangan sosial yang sering disalah-artikan oleh para kritikus sebagai program pemborosan. Menurut Kiai Marsudi, para kritikus ini seharusnya melihat realitas kehidupan masyarakat, bahwa kesenjangan sosial ini memerlukan terobosan yang ready to serve bukan sekedar ready to act.
"Tentu saja harapan ke depan adalah adanya budaya, kebiasaan masyarakat terhadap menjaga ketersediaan gizi bagi anak-anak sekolah. Karena merekalah tumpuan, merekalah lini terdepan dalam pembangunan kualitas manusia Indonesia," katanya.
Menurutnya, kesejahteraan masyarakat harus dibangun dengan hadirnya negara dalam usaha meningkatkan kualitas hidup sosial. Hadirnya negara dalam makan siang dan susu gratis sebagai bentuk usaha melakukan lompatan kemajuan, sebuah quantum leap menciptakan generasi Indonesia Emas 2045.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah infrastruktur penunjang dalam pembelajaran. Perlu dipersiapkan infrastuktur fisik maupun sosial untuk menunjang para siswa sejak mereka berangkat hingga pulang kembali ke rumah.
Ketika bersekolah, bukan sekadar menerima ilmu, tapi pembangunan kualitas sumber daya manusia diciptakan melalui pendidikan akhlak dan pendisikan sosial yang belakangan sejak era reformasi ini mulai kurang.
Pancasila sebagai pedoman bangsa harus menjadi garis batas sosial pembentukan perilaku Generasi Emas 2045. Dalam hal ini perilaku masyarakat perlu juga mendapat perhatian khusus untuk melakukan lompatan pembangunan tersebut, perlu dibuatkan Pedoman Sosial Bermasyarakat agar indonesia tetap menjadi negara santun dengan semangat gotong royong.
"Kegembiraan masyarakat sepak bola yang jagonya menang dan pelaksanaan agenda politik yang telah berjalan dengan liku-liku problematikanya telah dilewati. Sekarang tinggal program-program yang ditawarkan masa kampanye yang kemudian harus dilaksanakan sebagai pemenuhan janji adalah sebuah kewajiban, yang diamanatkan dari hasil persaingan," katanya.
Kiai Marsudi memaparkan persaingan apa pun, baik dalam olahraga, bisnis, atau politik, hendaknya menjadi persaingan yang menyenangkan dan mempunyai harapan. Itu merupakan esensi ajaran agama Islam, sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW;
"Bergembiralah dan berharaplah dengan sesuatu yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan menimpa kalian, tetapi yang aku khawatirkan ialah terbentangnya dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, sehingga kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berkompetisi, lalu dunia membinasakan kalian sebagaimana membinasakan mereka".
"Kalah menang itulah persaingan, jangan sampai persaingan membinasakan kita, tapi jadikanlah persaingan yang menggembirakan dan tetap mempunyai harapan ke depan. Bagi yang belum berhasil katakanlah saya baru sampai di sini dan saya masih mempunyai harapan ke depan. Jangan katakan pada dirinya sendiri dan orang lain saya kalah. Inilah esensi persaingan untuk mencari yang terbaik dalam hal apa saja, ayyukum ahsanu 'amala," kata Kiai Marsudi Syuhud.
(maf)