Aspek Hukum Kecurangan Pemilu
Selasa, 19 Maret 2024 - 07:02 WIB
UU ITE telah menentukan bahwa pemerintah bertanggung jawab melindungi kepentingan umum dari segala gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan (Pasal 40 ayat 2). Terhadap setiap orang yang melakukan tindakan penyalahgunaan transkasi elektronik dengan sengaja yang mengakibatkan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal itu tertuang dalam Pasal 45A (1).
Jika transaksi elektronik dengan sengaja dan tanpa hak menimbulkan kebencian atau permusuhan indivdiu/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan sanksi pidana dalam UU ITE tentu tidaklah sebanding dengan ketentuan sanksi dalam UU Pemilu 2017. Terbukti dari ketentuan Pasal 551: Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Ihbupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda palng banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Sisi lain dari peristiwa kecurangan dalam suatu pesta demokrasi yang dilupakan atau diabaikan oleh baik kalangan KPU dan Bawaslu serta pakar hukum adalah bahwa Alokasi Anggaran Pemilu 2023 sampai dengan 2024 adalah sebesar Rp71,4 triliun, dan realisasi anggaran Pemilu per 31 Oktober Tahun 2023, Rp18,8 trilyun dengan rincian, untuk KPU dan Bawaslu sebesar Ro16.3 triliun, dan untuk K/L lain sebesar Rp2,6 triliun (belum termasuk untuk Tahun Anggaran 2024).
Doktrin Hukum Pidana menyatakan bahwa bentuk kesengajaan dalam suatu tindak pidana dimaknai bahwa seseorang telah mengetahui (weten) perbuatan yang dilakukan, dan juga menghendaki (willen) terjadinya akibat perbuatannya. Doktrin Hukum Pidana mengenai unsur Kesengajaan (Dolus) termasuk kualifikasi perbuatan seseorang yang dilakukan dengan niat-jahat (mens-rea) dan dalam konteks pelanggaran-kecurangan pemilu, kesengajaan dimaksud dipastikan dilakukan dengan persiapan-perencanaan yang TSM oleh pembuat.
Bertolak dari doktrin hukum pidana, maka kecurangan pemilu sepatutnya ditempatkan pada jenis kejahatan berat dan bersifat luar biasa, apalagi kecurangan tersebut sangat mempengaruhi dan menentukan pemimpin Indonesia lima tahun yang akan datang yang berarti menentukan pula masa depan bangsa dan NKRI untuk lima tahun yang akan datang bahkan selanjutnya. Satu kesimpulan yang dapat dikemukakan bahwa, kecurangan dalam pemilu bukan masalah hukum akan tetapi masalah terdalam dari aspek etika dan moral Pancasila sebagai moral bangsa Indonesia.
Jika transaksi elektronik dengan sengaja dan tanpa hak menimbulkan kebencian atau permusuhan indivdiu/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan sanksi pidana dalam UU ITE tentu tidaklah sebanding dengan ketentuan sanksi dalam UU Pemilu 2017. Terbukti dari ketentuan Pasal 551: Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Ihbupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda palng banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Sisi lain dari peristiwa kecurangan dalam suatu pesta demokrasi yang dilupakan atau diabaikan oleh baik kalangan KPU dan Bawaslu serta pakar hukum adalah bahwa Alokasi Anggaran Pemilu 2023 sampai dengan 2024 adalah sebesar Rp71,4 triliun, dan realisasi anggaran Pemilu per 31 Oktober Tahun 2023, Rp18,8 trilyun dengan rincian, untuk KPU dan Bawaslu sebesar Ro16.3 triliun, dan untuk K/L lain sebesar Rp2,6 triliun (belum termasuk untuk Tahun Anggaran 2024).
Doktrin Hukum Pidana menyatakan bahwa bentuk kesengajaan dalam suatu tindak pidana dimaknai bahwa seseorang telah mengetahui (weten) perbuatan yang dilakukan, dan juga menghendaki (willen) terjadinya akibat perbuatannya. Doktrin Hukum Pidana mengenai unsur Kesengajaan (Dolus) termasuk kualifikasi perbuatan seseorang yang dilakukan dengan niat-jahat (mens-rea) dan dalam konteks pelanggaran-kecurangan pemilu, kesengajaan dimaksud dipastikan dilakukan dengan persiapan-perencanaan yang TSM oleh pembuat.
Bertolak dari doktrin hukum pidana, maka kecurangan pemilu sepatutnya ditempatkan pada jenis kejahatan berat dan bersifat luar biasa, apalagi kecurangan tersebut sangat mempengaruhi dan menentukan pemimpin Indonesia lima tahun yang akan datang yang berarti menentukan pula masa depan bangsa dan NKRI untuk lima tahun yang akan datang bahkan selanjutnya. Satu kesimpulan yang dapat dikemukakan bahwa, kecurangan dalam pemilu bukan masalah hukum akan tetapi masalah terdalam dari aspek etika dan moral Pancasila sebagai moral bangsa Indonesia.
(zik)
tulis komentar anda