Demokrasi, Pemilu, dan Bawaslu yang Bermartabat
Selasa, 05 Maret 2024 - 19:02 WIB
Untuk menilai penyelenggaraan Pemilu 2024, nilai perantara perlu direalisasikan oleh institusi yang mampu merealisasikan nilai-nilai tersebut. Demokrasi dimulai dari serangkaian prinsip atau idealisme yang regulatif dan kemudian diikuti oleh prosedur dan tatanan institusional yang dengannya prinsip-prinsip itu direalisasikan. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis lebih lanjut aktualisasi demokrasi di Indonesia, khususnya dengan melihat penyelenggara Pemilu 2024.
Sebagai praktik, tentu saja Pemilu 2024 tidak cukup untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia. Masih ada banyak faktor lain yang berkelindan, sebagai aktor utama penyebab menurunnya kapasitas dan kapabilitas demokrasi di Indonesia, terutama sekali dalam mengembalikan martabat demokrasi kepada rakyat sebagai sang pemilik, dan institusi demokrasi sebagai “the only game in town”. Maka dari itu, diperlukan juga sebuah institusi demokrasi yang mampu menegakkan dan merealisasikan nilai-nilai perantara itu menjadi lebih actual.
Bawaslu dalam hal ini mempunyai peran signifikan dalam hal ini. Terlebih dalam perjalanan penyelenggaraan Pemilu 2024 dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu semakin menguat, karena aktor-aktor politik menggunakan berbagai instrumen non demokrasi dalam permainan politik mereka, mengisolasi institusi-institusi demokrasi lainnya dalam ruang bekerja yang hampa.
Refleksi terhadap Penyelenggaraan Pemilu 2024
Jauh hari sebelum pelaksanaan Pemilu tahun 2024 yang dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 telah ditemukan beberapa fakta sebagai berikut:
a. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengguncang dunia politik Indonesia terkait Pasal 169 huruf q UU Nomor Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yang semula minimal 40 tahun, berubah menjadi dapat di bawah 40 tahun, asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Hal ini membuat peluang bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan anak Presiden Joko Widodo untuk berkompetisi di Pilpres 2024 yang kemudian menjadi pasangan Capres Prabowo Subianto.
b. Pencalonan caleg koruptor. Dimana mantan narapidana kasus korupsi yang telah menjalani hukuman, kini diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota legislatif DPR, DPD, maupun DPRD pada Pemilu 2024. Hal ini merupakan dampak dari revisi Undang-Undang Pemilihan Umum yang tidak disebutkan secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.
c. Permasalahan netralitas aparatur negara sangat berhubungan dengan politik uang untuk pemenangan peserta pemilu tertentu. Sebagai contoh: sebanyak 12 kepala desa di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur menyatakan dukungan kepada salah satu peserta pemilu (Keterangan Pers Komnas HAM tanggal 21 Februari 2024);
d. Persoalan klasik terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) baik tidak terdaftar maupun belum memperhatikan hak kelompok marjinal-rentan (Keterangan Pers Komnas HAM tanggal 21 Februari 2024);
e. Politisasi bansos dinilai kian masif jelang Pilpres 2024;
Sebagai praktik, tentu saja Pemilu 2024 tidak cukup untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia. Masih ada banyak faktor lain yang berkelindan, sebagai aktor utama penyebab menurunnya kapasitas dan kapabilitas demokrasi di Indonesia, terutama sekali dalam mengembalikan martabat demokrasi kepada rakyat sebagai sang pemilik, dan institusi demokrasi sebagai “the only game in town”. Maka dari itu, diperlukan juga sebuah institusi demokrasi yang mampu menegakkan dan merealisasikan nilai-nilai perantara itu menjadi lebih actual.
Bawaslu dalam hal ini mempunyai peran signifikan dalam hal ini. Terlebih dalam perjalanan penyelenggaraan Pemilu 2024 dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu semakin menguat, karena aktor-aktor politik menggunakan berbagai instrumen non demokrasi dalam permainan politik mereka, mengisolasi institusi-institusi demokrasi lainnya dalam ruang bekerja yang hampa.
Refleksi terhadap Penyelenggaraan Pemilu 2024
Jauh hari sebelum pelaksanaan Pemilu tahun 2024 yang dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 telah ditemukan beberapa fakta sebagai berikut:
a. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengguncang dunia politik Indonesia terkait Pasal 169 huruf q UU Nomor Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yang semula minimal 40 tahun, berubah menjadi dapat di bawah 40 tahun, asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Hal ini membuat peluang bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan anak Presiden Joko Widodo untuk berkompetisi di Pilpres 2024 yang kemudian menjadi pasangan Capres Prabowo Subianto.
b. Pencalonan caleg koruptor. Dimana mantan narapidana kasus korupsi yang telah menjalani hukuman, kini diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota legislatif DPR, DPD, maupun DPRD pada Pemilu 2024. Hal ini merupakan dampak dari revisi Undang-Undang Pemilihan Umum yang tidak disebutkan secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.
c. Permasalahan netralitas aparatur negara sangat berhubungan dengan politik uang untuk pemenangan peserta pemilu tertentu. Sebagai contoh: sebanyak 12 kepala desa di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur menyatakan dukungan kepada salah satu peserta pemilu (Keterangan Pers Komnas HAM tanggal 21 Februari 2024);
d. Persoalan klasik terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) baik tidak terdaftar maupun belum memperhatikan hak kelompok marjinal-rentan (Keterangan Pers Komnas HAM tanggal 21 Februari 2024);
e. Politisasi bansos dinilai kian masif jelang Pilpres 2024;
tulis komentar anda