UU Omnibus Kesehatan dalam Debat Capres
Selasa, 19 Desember 2023 - 15:48 WIB
Menyusul kelima organisasi profesi kesehatan di atas, 43 lembaga yang tergabung dalam “Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan” dalam konferensi persnya di kantor YLBH Indonesia, Menteng Jakarta Pusat, 13 Juni 2023, juga menolak. Mereka menolak RUU (OBL) Kesehatan ini karena belum mengupayakan partisipasi bermakna. Alasan Koalisi Masyarakat Sipil menolak sama dengan lima organisasi profesi kesehatan, karena pembentuk UU mengabaikan partisipasi bermakna atau “meaningfull participation.”
Padahal diketahui bahwa sejak awal berdirinya kelima lima organisasi profesi kesehatan berserta kolegiumnya telah mendedikasikan diri sebagai stakeholder utama pembangunan, pelayanan, dan pendidikan kesehatan di Indonesia. Bahkan selama pandemi Covid-19 kelimanya terlibat sangat aktif membantu pemerintah dalam pengentasannya. Pemerintah kemudian menyanjungnya sebagai “garda terdepan” merangkap garda tengah, belakang, dan samping kanan-kiri sekaligus dalam penanganan Covid-19.
Persaturan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) berdiri sejak 22 Januari 1950; Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berdiri sejak 24 Oktober 1950; Ikatan Bidan Indonesia (IBI) berdiri sejak 24 Juni 1951; Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) berdiri sejak 18 Juni 1955; dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) berdiri sejak 17 Maret 1974.
IDI dan PDGI merupakan organisasi profesi kesehatan bagi dokter dan dokter gigi yang selama ini diakui secara eksplisit di dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. PPNI di dalam UU No 38/2014 tentang Keperawatan dan IBI dalam UU No 4/2019 tentang Kebidanan. Sementara IAI sementara berjuang dan sudah masuk prolegnas DPR. Artinya, hingga sebelum UU No 17/2023 tersebut disahkan di paripurna DPR dan dituangkan dalam lembaran negara, IDI, PDGI, PPNI, dan IBI sudah diakui oleh UU.
Bahkan masing-masing organisasi profesi telah mendapat pengakuan internasional sebagai representatif profesi di Indonesia. IDI tercatat sebagai national medical association (NMA) Indonesia di World Medical Association (WMA); PDGI tercatat di World Dental Federation (FDI); PPNI tercatat sebagai di International Council of Nurses; IBI tercatat di International Confederation of Midwives (ICM); IAI tercatat di The International Pharmaceutical Federation (FIP). Artinya kelima organisasi profesi kesehatan ini bukanlah organisasi kaleng-kaleng apalagi abal-abal.
Ketua Koordinasi Judicial Review (JR) lima organisasi profesi kesehatan, yang juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr Mahesa Paranadipa Maikel, M.H, mengungkapkan kepada penulis hal yang tak kalah menariknya, yakni tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Padahal DPD memiliki kewenangan yang sangat luas di bidang otonomi daerah. Kewenangannya berkaitan dengan seluruh urusan (sektor) yang telah diserahkan ke daerah. Satu hal yang harus dipahami kembali bahwa DPD adalah salah satu lembaga tinggi negara yang seharusnya dihormati oleh pengusul RUU.
Mahesa pun menyampaikan beberapa fakta tidak ikut sertanya DPD sebagai berikut: Pertama, DPD tidak ikut serta dalam pembahasan/pembicaraan Tingkat I Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan di Komisi IX DPR, termasuk dalam rapat pembukaan musyawarah, pembahasan, dan persetujuan di tikngkat paripurna.
Kedua, tidak adanya pertimbangan DPD dalam Pembicaraan Tingkat I RUU Kesehatan pada Rapat Kerja Komisi IX DPR tanggal 19 Juni 2023, sebagaimana diakui Pemerintah dalam dokumen “Pendapat Akhir Presiden terhadap Rancangan Undang-undang Tentang Kesehatan”, tertanggal 11 Juli 2023. Ketiga, tidak adanya daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU Kesehatan aquo dari DPD. Keempat, tidak hadirnya DPD pada pembicaraan Tingkat II pengesahan RUU Kesehatan.
Selain lima organisasi profesi kesehatan dan DPD, masih ada lima organisasi kesehatan lagi yang menyampaikan Nota Keberatan kepada Ketua Komisi IX DPR RI (13 April 2023). Organisasi yang menamakan diri “Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial” ini meliputi:Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI); Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK–Indonesia); Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI); Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI); Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI).
Padahal diketahui bahwa sejak awal berdirinya kelima lima organisasi profesi kesehatan berserta kolegiumnya telah mendedikasikan diri sebagai stakeholder utama pembangunan, pelayanan, dan pendidikan kesehatan di Indonesia. Bahkan selama pandemi Covid-19 kelimanya terlibat sangat aktif membantu pemerintah dalam pengentasannya. Pemerintah kemudian menyanjungnya sebagai “garda terdepan” merangkap garda tengah, belakang, dan samping kanan-kiri sekaligus dalam penanganan Covid-19.
Persaturan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) berdiri sejak 22 Januari 1950; Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berdiri sejak 24 Oktober 1950; Ikatan Bidan Indonesia (IBI) berdiri sejak 24 Juni 1951; Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) berdiri sejak 18 Juni 1955; dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) berdiri sejak 17 Maret 1974.
IDI dan PDGI merupakan organisasi profesi kesehatan bagi dokter dan dokter gigi yang selama ini diakui secara eksplisit di dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. PPNI di dalam UU No 38/2014 tentang Keperawatan dan IBI dalam UU No 4/2019 tentang Kebidanan. Sementara IAI sementara berjuang dan sudah masuk prolegnas DPR. Artinya, hingga sebelum UU No 17/2023 tersebut disahkan di paripurna DPR dan dituangkan dalam lembaran negara, IDI, PDGI, PPNI, dan IBI sudah diakui oleh UU.
Bahkan masing-masing organisasi profesi telah mendapat pengakuan internasional sebagai representatif profesi di Indonesia. IDI tercatat sebagai national medical association (NMA) Indonesia di World Medical Association (WMA); PDGI tercatat di World Dental Federation (FDI); PPNI tercatat sebagai di International Council of Nurses; IBI tercatat di International Confederation of Midwives (ICM); IAI tercatat di The International Pharmaceutical Federation (FIP). Artinya kelima organisasi profesi kesehatan ini bukanlah organisasi kaleng-kaleng apalagi abal-abal.
Ketua Koordinasi Judicial Review (JR) lima organisasi profesi kesehatan, yang juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr Mahesa Paranadipa Maikel, M.H, mengungkapkan kepada penulis hal yang tak kalah menariknya, yakni tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Padahal DPD memiliki kewenangan yang sangat luas di bidang otonomi daerah. Kewenangannya berkaitan dengan seluruh urusan (sektor) yang telah diserahkan ke daerah. Satu hal yang harus dipahami kembali bahwa DPD adalah salah satu lembaga tinggi negara yang seharusnya dihormati oleh pengusul RUU.
Mahesa pun menyampaikan beberapa fakta tidak ikut sertanya DPD sebagai berikut: Pertama, DPD tidak ikut serta dalam pembahasan/pembicaraan Tingkat I Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan di Komisi IX DPR, termasuk dalam rapat pembukaan musyawarah, pembahasan, dan persetujuan di tikngkat paripurna.
Kedua, tidak adanya pertimbangan DPD dalam Pembicaraan Tingkat I RUU Kesehatan pada Rapat Kerja Komisi IX DPR tanggal 19 Juni 2023, sebagaimana diakui Pemerintah dalam dokumen “Pendapat Akhir Presiden terhadap Rancangan Undang-undang Tentang Kesehatan”, tertanggal 11 Juli 2023. Ketiga, tidak adanya daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU Kesehatan aquo dari DPD. Keempat, tidak hadirnya DPD pada pembicaraan Tingkat II pengesahan RUU Kesehatan.
Selain lima organisasi profesi kesehatan dan DPD, masih ada lima organisasi kesehatan lagi yang menyampaikan Nota Keberatan kepada Ketua Komisi IX DPR RI (13 April 2023). Organisasi yang menamakan diri “Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial” ini meliputi:Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI); Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK–Indonesia); Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI); Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI); Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI).
tulis komentar anda