UU Omnibus Kesehatan dalam Debat Capres

Selasa, 19 Desember 2023 - 15:48 WIB
loading...
UU Omnibus Kesehatan dalam Debat Capres
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015). Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia
(periode 2012-2015)

MENURUT Komisi Pemilihan Umum (KPU), debat dengan tema kesehatan akan berlangsung pada sesi kelima, Minggu (4/2/2024), bersamaan dengan tema lain, seperti: peningkatan pelayanan publik, hoaks, teknologi informasi, intoleransi, pendidikan, dan ketenagakerjaan.

Penulis berharap agar pada debat pamungkas tersebut ketiga capres dapat adu argumen tentang UU Omnibus Kesehatan yang kini dikenal UU No 17/2023 tentang Kesehatan. UU yang telah menuai kontrovesi dan penolakan berbagai pihak, sampai melakukan Uji Formil di Mahkamah Konstitusi.

Mengapa Menuai Konroversi?
Seperti diketahui, sejak awal pembentukan UU No 17/2023 tentang Kesehatan ini telah menuai kontroversi. Penyebabnya karena sangat tidak transparan. Beredar beberapa versi draft RUU yang tidak jelas siapa yang membuatnya. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Kesehatan, atau stakeholder lain.

Ketua Badan Legislasi DPR sendiri mengatakan bahwa pihaknya sementara menyusun RUU yang akan menjadi undang-undang. Pernyataan ini menunjukkan bahwa draft RUU yang beredar tersebut bukan dari pihaknya. Pertanyaanya, dari mana draft beredar tersebut?

Karena itu lima organisasi profesi kesehatan Persaturan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dalam jumpa persnya sangat tegas menolak dafat RUU tersebut.

Menyusul kelima organisasi profesi kesehatan di atas, 43 lembaga yang tergabung dalam “Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan” dalam konferensi persnya di kantor YLBH Indonesia, Menteng Jakarta Pusat, 13 Juni 2023, juga menolak. Mereka menolak RUU (OBL) Kesehatan ini karena belum mengupayakan partisipasi bermakna. Alasan Koalisi Masyarakat Sipil menolak sama dengan lima organisasi profesi kesehatan, karena pembentuk UU mengabaikan partisipasi bermakna atau “meaningfull participation.”

Padahal diketahui bahwa sejak awal berdirinya kelima lima organisasi profesi kesehatan berserta kolegiumnya telah mendedikasikan diri sebagai stakeholder utama pembangunan, pelayanan, dan pendidikan kesehatan di Indonesia. Bahkan selama pandemi Covid-19 kelimanya terlibat sangat aktif membantu pemerintah dalam pengentasannya. Pemerintah kemudian menyanjungnya sebagai “garda terdepan” merangkap garda tengah, belakang, dan samping kanan-kiri sekaligus dalam penanganan Covid-19.

Persaturan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) berdiri sejak 22 Januari 1950; Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berdiri sejak 24 Oktober 1950; Ikatan Bidan Indonesia (IBI) berdiri sejak 24 Juni 1951; Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) berdiri sejak 18 Juni 1955; dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) berdiri sejak 17 Maret 1974.

IDI dan PDGI merupakan organisasi profesi kesehatan bagi dokter dan dokter gigi yang selama ini diakui secara eksplisit di dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. PPNI di dalam UU No 38/2014 tentang Keperawatan dan IBI dalam UU No 4/2019 tentang Kebidanan. Sementara IAI sementara berjuang dan sudah masuk prolegnas DPR. Artinya, hingga sebelum UU No 17/2023 tersebut disahkan di paripurna DPR dan dituangkan dalam lembaran negara, IDI, PDGI, PPNI, dan IBI sudah diakui oleh UU.

Bahkan masing-masing organisasi profesi telah mendapat pengakuan internasional sebagai representatif profesi di Indonesia. IDI tercatat sebagai national medical association (NMA) Indonesia di World Medical Association (WMA); PDGI tercatat di World Dental Federation (FDI); PPNI tercatat sebagai di International Council of Nurses; IBI tercatat di International Confederation of Midwives (ICM); IAI tercatat di The International Pharmaceutical Federation (FIP). Artinya kelima organisasi profesi kesehatan ini bukanlah organisasi kaleng-kaleng apalagi abal-abal.

Ketua Koordinasi Judicial Review (JR) lima organisasi profesi kesehatan, yang juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr Mahesa Paranadipa Maikel, M.H, mengungkapkan kepada penulis hal yang tak kalah menariknya, yakni tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Padahal DPD memiliki kewenangan yang sangat luas di bidang otonomi daerah. Kewenangannya berkaitan dengan seluruh urusan (sektor) yang telah diserahkan ke daerah. Satu hal yang harus dipahami kembali bahwa DPD adalah salah satu lembaga tinggi negara yang seharusnya dihormati oleh pengusul RUU.

Mahesa pun menyampaikan beberapa fakta tidak ikut sertanya DPD sebagai berikut: Pertama, DPD tidak ikut serta dalam pembahasan/pembicaraan Tingkat I Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan di Komisi IX DPR, termasuk dalam rapat pembukaan musyawarah, pembahasan, dan persetujuan di tikngkat paripurna.

Kedua, tidak adanya pertimbangan DPD dalam Pembicaraan Tingkat I RUU Kesehatan pada Rapat Kerja Komisi IX DPR tanggal 19 Juni 2023, sebagaimana diakui Pemerintah dalam dokumen “Pendapat Akhir Presiden terhadap Rancangan Undang-undang Tentang Kesehatan”, tertanggal 11 Juli 2023. Ketiga, tidak adanya daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU Kesehatan aquo dari DPD. Keempat, tidak hadirnya DPD pada pembicaraan Tingkat II pengesahan RUU Kesehatan.

Selain lima organisasi profesi kesehatan dan DPD, masih ada lima organisasi kesehatan lagi yang menyampaikan Nota Keberatan kepada Ketua Komisi IX DPR RI (13 April 2023). Organisasi yang menamakan diri “Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial” ini meliputi:Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI); Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK–Indonesia); Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI); Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI); Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI).

Mengapa DPD Perlu Tertibat?
DPD merupakan lembaga negaraproduk amandemen UUD 1945, yang mempunyai kedudukan penting dalam strukturkelembagaan negara, khususnya sebagai lembaga perwakilan. Hal ini dapat diperhatikan pada dua hal.

Pertama, Pembentukan DPD dimaksudkan dalam rangkamereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan struktur bicameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkanrepresentasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan denganbasis sosial yang lebih luas.

Kedua, DPD merupakan representasi wilayah (territorial representation) yang mempunyai fungsi check and balances terhadap DPR. Terciptanya check and balances diantara kedua lembaga tersebut sejatinya adalah cita negara hukum yang menjunjung tinggi pembatasan kekuasaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Jimly Asshiddiqie dalam “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” Jilid II, MKRI, 2006, mengemukakan bahwa secara teorilembaga legislatif mempunyai tiga jenis fungsi yaitu fungsi pengaturan (legislasi), fungsi pengawasan (kontrol), dan fungsi perwakilan (representasi). Dalam fungsi perwakilan, terdapat tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara demokrasi, yaitu: (1) Sistem perwakilan politik (political representation); (2) Sistem perwakilan teritorial (territorial representation atau regional representation); dan (3) Sistem perwakilan fungsional (functional representation).

Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik, sistem perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah, sedangkan sistem perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional. DPD merupakan perwujudan sistem perwakilan teritorial dan DPR sebagai perwakilan politik.

Secara lebih rinci, UUD 1945, Pasal 22D, mengatur kewenangan DPD sebagai berikut: Pertama, DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kedua, DPD: (a) ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; dan (b) memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, RUU yang berkaitan dengan pendidikan, dan RUU yang berkaitan dengan agama.

Ketiga, DPD dapat melakukan pengawasan atas: (a) pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; dan (b) menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Selanjutnya, dalam bukunya, “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,” Sinar Grafika, 2017, Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan: “Kepentingan yang harus lebih diutamakan dalam rangka perwakilan daerah (Dewan Perwakilan Daerah) adalah kepentingan daerah secara keseluruhan, terlepas dari kepentingan individu-individu rakyat yang berkepentingan seharusnya disatukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat.” Artinya, kepentingan daerah yang diperjuangkan oleh DPD sudah dengan sendirinya berkaitan dengan kepentingan seluruh daerah-daerah yang bersangkutan.”

Pendapat lain dikemukakan Aritonang, D. M. (2019) dalam Jurnal Ilmu Administrasi: “Peran dan fungsi DPD sangat penting terutama dalam kaitannya dengan perbaikan di daerah. DPD merupakan lembaga yang sangat strategis untuk menjaga agar konsep densentralisasi dan pengembangan potensi serta keunggulan daerah tetap mendapat perhatian penuh dari pemerintah pusat baik eksekutif maupun DPR. Selain itu, untuk menjaga rasa nasionalisme dan menghilangkan sentimen negatif kedaerahan.”

Karena itu, hemat penulis setidaknya ada lima hal yang menyebabkan mengapa DPD perlu terlibat dalam pembentukan UU No 17/2023 tentang Kesehatan, sebagai berikut: Pertama, karena ruang lingkup dan materi muatan dalam RUU Kesehatan yang kemudian menjadi UU No 17/2023 berkaitan dengan dengan otonomi daerah yang melekat pada pemerintah daerah, baik secara substantif maupun secara yuridis formal sesuai UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Kedua, karena UU No 17/2023 sendiri telah menjustifikasi memiliki ruang lingkup dan materi muatan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan pendidikan kepada pemerintah daerah sebagai kewenangan otonomi daerah. Ketiga, urusan kesehatan menjadi tanggun jawab pemerintah daerah sebagai otonomi daerah, diatur dalam UU No 17/2023 BAB IV “Penyelenggaraan Kesehatan”, Pasal 18 ayat (3) huruf a sampai f.

Keempat, urusan pendidikan, dan kesehatan jika ditelaah secara yuridis- normatif dan historis konsisten menjadi urusan pemerintah daerah dan wewenang otonomi daerah. Kelima, tentu karena atas perintah konstitusi, Pasal 22D UUD 1945.

Catatan Akhir
UU No 17/2023 sejak awal pembentukannya telah menuai kontroversi sebab mengabaikan prinsip “meaningfull participation” atau pelibatan bermakna, yang merupakan hak warga negara. Di dalam meaningfull participation terdapat tiga hak yang wajib ditunaikan yaitu hak untuk didengar (rights to be heared), hak untuk dipertimbangkan (rights to be considered), dan hak untuk mendapat penjelasan (rights to be explained).

Siap apun tentu sulit membayangkan bagaimana bisa organisasi profesi kesehatan yang dikenal sebagai stakeholder utama pembangunan dan pelayanan kesehatan namun tidak dilibatkan secara bermakna. Ketidakterlibatan secara bermakna ini pula hingga mendorongnya untuk melakukan Uji Formil di Mahkamah Konstitusi.

Pembentukan UU No 17/2023 pun tidak melibatkan DPD. Padahal kewenangan DPD di bidang otonomi daerah sangat luas berkaitan dengan seluruh urusan (sektor) yang telah diserahkan ke daerah. DPD adalah representasi wilayah (territorial representation)yang mempunyai fungsi check and balances terhadap DPR.

DPD merupakan salah satu lembaga legislatif tingkat nasional yang dibentuk untuk mewakili kepentingan daerah. Karena itu menjadi aneh bila pembentukan UU Kesehatan tidak melibatkan secara bermakna organisasi profesi kesehatan dan juga tidak melibatkan DPD sebagai representasi wilayah atau daerah.

Memang ada dari pembentuk UU Kesehatan tersebut yang berkata, “bila masih ada pihak yang merasa tidak puas silakan ajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK)”. Namun, bukankan pernyataan ini dapat bermakna sebuah arogansi, setelah patisipasi bermakna tidak dilakukan secara maksimal?

Karena itu, hemat penulis sangat bijak bila ketiga calon presiden berkomitmen untuk merevisi UU Kesehatan tersebut dengan pelibatan semua stakeholder secara bermakna. Semoga kelak bangsa Indonesia memiliki UU Kesehatan yang komprehensif guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, memberi perlindungan kepada masyarakat, memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan tenaga kesehatan, serta mengatur kewenangan dan tanggung jawab tenaga kesehatan. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1189 seconds (0.1#10.140)