Mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui Penegakan Hukum
Selasa, 21 November 2023 - 14:22 WIB
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
DI dalam pemberitaan pers dan medsos terdapat pernyataan Capres Ganjar Pranowo dan diiyakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bahwa penegakan hukum di era Joko Widodo (Jokowi) menurun. Hal ini terutama terkait peristiwa yang terjadi di Mahkamah Konstitususi Republik Indonesia Indonesia baru-baru ini.
Pernyataan tersebut mengandung kebenaran karena pengamatan selama menjelang akhir masa tugas Jokowi sebagai presiden, banyak peristiwa seperti Pulau Rempang yang menunjukkan tangan kekuasaan turut terlibat. Selain itu, korupsi semakin subur dan merajalela sehingga pendapat Lord Acton menjadi kenyataan: power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.
Pernyataan Lord Acton harus dimaknai bahwa korupsi tanpa kekuasaan di baliknya tidak akan terjadi atau di situ ada kekuasaan maka di situlah korupsi dimulai. Intinya kita harus berhati-hati dan mewaspadai kekuasaan, termasuk terhadap "pemiliknya". Keinginan Jokowi menjelang memasuki masa jabatan presiden untuk kedua kalinya dikemukakan dalam bentuk tanda tanya, "apakah masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode?" mencerminkan sinyal awal apa yang dikemukakan Lord Acton tersebut dan kemudian menjadi lebih nyata dengan upayanya mengusung Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres Prabowo Subianto melalui sidang MK mengenai uji materi batas usia capres/cawapres yang tercantum dalam Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sidang dipimpin oleh Anwar Usman, sebagai Ketua Sidang yang memeriksa dan memutus permohonan uji materi atas batas usia capres/cawapres tersebut. Diketahui, Anwar Usman adalah paman dari Gibran.
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, hubungan keluarga atau kekerabatan dalam jabatan publik atau yang sedang berjalan termasuk perbuatan nepotisme yang dilarang dan diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Merujuk pada peristiwa tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sekali lagi kebenaran atas pernyataan Lord Acton dan juga jargon tentang the law is a tool of the powerful against the powerless. Istilah merakyat dikenal, hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah kurang lebih sama maknanya dengan kedua pernyataan di atas.
Perkiraan apakah dengan demikian akan semakin sulit kita meraih cita-cita dan harapan Indonesia Emas melalui penegakan hukum? Menjawab pertanyaan yang amat musykil ini, kenangan indah semasa kuliah hukum teringat kembali ketika guru besar hukum kita selalu menggebu-gebu meyakinkan mahasiswanya akan idealisme hukum dan tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan; sekalipun (mungkin) mereka mengetahui bahwa realita hukum tidaklah demikian adanya. Jargon yang membanggakan kita para mahasiswa dan ahli hukum, bahwa, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh, dan diperkuat meyakinkan kita semua bahwa putusan sidang pengadilan di Indonesia sejak tingkat pertama atau Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung digunakan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun dalam realita hukum tidak demikian keadaannya; terbalik 180 derajat; kepala di bawah dan kaki di atas.
Namun demikian, tidak ada kata menyesal jadi orang Indonesia dan secara sarkastik diterjemahkan Butet Kartaradjasa (Kompas, 3 November 2023), "Jangan Kapok Menjadi Indonesia”. Jika seorang budayawan-saya anggap mewakili budayawan Indonesia; sudah menyatakan demikian, dipastikan bahwa peristiwa korupsi dan rakus kekuasaan telah menjadi/merupakan symptom “budaya Indonesia”. Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan yang bertujuan mencegah dan memberantas/menghukum pelaku korupsi sejak era Reformasi 1998 pemerintah telah sungguh-sungguh berniat melaksanakannya. Akan tetapi kemudian yang terjadi aparatur hukum telah lalai mengawasi pelaksanaan dari undang-undang antikorupsi dan semakin lama hal tersebut terjadi di hadapan kita, sehingga aparatur hukum telah membiarkan korupsi terjadi dan merajalela atau dalam bahasa hukum pidana, telah terjadi delik omisi.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
DI dalam pemberitaan pers dan medsos terdapat pernyataan Capres Ganjar Pranowo dan diiyakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bahwa penegakan hukum di era Joko Widodo (Jokowi) menurun. Hal ini terutama terkait peristiwa yang terjadi di Mahkamah Konstitususi Republik Indonesia Indonesia baru-baru ini.
Pernyataan tersebut mengandung kebenaran karena pengamatan selama menjelang akhir masa tugas Jokowi sebagai presiden, banyak peristiwa seperti Pulau Rempang yang menunjukkan tangan kekuasaan turut terlibat. Selain itu, korupsi semakin subur dan merajalela sehingga pendapat Lord Acton menjadi kenyataan: power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.
Pernyataan Lord Acton harus dimaknai bahwa korupsi tanpa kekuasaan di baliknya tidak akan terjadi atau di situ ada kekuasaan maka di situlah korupsi dimulai. Intinya kita harus berhati-hati dan mewaspadai kekuasaan, termasuk terhadap "pemiliknya". Keinginan Jokowi menjelang memasuki masa jabatan presiden untuk kedua kalinya dikemukakan dalam bentuk tanda tanya, "apakah masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode?" mencerminkan sinyal awal apa yang dikemukakan Lord Acton tersebut dan kemudian menjadi lebih nyata dengan upayanya mengusung Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres Prabowo Subianto melalui sidang MK mengenai uji materi batas usia capres/cawapres yang tercantum dalam Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sidang dipimpin oleh Anwar Usman, sebagai Ketua Sidang yang memeriksa dan memutus permohonan uji materi atas batas usia capres/cawapres tersebut. Diketahui, Anwar Usman adalah paman dari Gibran.
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, hubungan keluarga atau kekerabatan dalam jabatan publik atau yang sedang berjalan termasuk perbuatan nepotisme yang dilarang dan diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Merujuk pada peristiwa tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sekali lagi kebenaran atas pernyataan Lord Acton dan juga jargon tentang the law is a tool of the powerful against the powerless. Istilah merakyat dikenal, hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah kurang lebih sama maknanya dengan kedua pernyataan di atas.
Perkiraan apakah dengan demikian akan semakin sulit kita meraih cita-cita dan harapan Indonesia Emas melalui penegakan hukum? Menjawab pertanyaan yang amat musykil ini, kenangan indah semasa kuliah hukum teringat kembali ketika guru besar hukum kita selalu menggebu-gebu meyakinkan mahasiswanya akan idealisme hukum dan tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan; sekalipun (mungkin) mereka mengetahui bahwa realita hukum tidaklah demikian adanya. Jargon yang membanggakan kita para mahasiswa dan ahli hukum, bahwa, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh, dan diperkuat meyakinkan kita semua bahwa putusan sidang pengadilan di Indonesia sejak tingkat pertama atau Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung digunakan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun dalam realita hukum tidak demikian keadaannya; terbalik 180 derajat; kepala di bawah dan kaki di atas.
Baca Juga
Namun demikian, tidak ada kata menyesal jadi orang Indonesia dan secara sarkastik diterjemahkan Butet Kartaradjasa (Kompas, 3 November 2023), "Jangan Kapok Menjadi Indonesia”. Jika seorang budayawan-saya anggap mewakili budayawan Indonesia; sudah menyatakan demikian, dipastikan bahwa peristiwa korupsi dan rakus kekuasaan telah menjadi/merupakan symptom “budaya Indonesia”. Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan yang bertujuan mencegah dan memberantas/menghukum pelaku korupsi sejak era Reformasi 1998 pemerintah telah sungguh-sungguh berniat melaksanakannya. Akan tetapi kemudian yang terjadi aparatur hukum telah lalai mengawasi pelaksanaan dari undang-undang antikorupsi dan semakin lama hal tersebut terjadi di hadapan kita, sehingga aparatur hukum telah membiarkan korupsi terjadi dan merajalela atau dalam bahasa hukum pidana, telah terjadi delik omisi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda