Penegakan Hukum Sontoloyo
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
TERINSPIRASI dari pernyataan Presiden di hadapan ketiga calon presiden bahwa kampanye politik tidak lagi menggunakan cara-cara ujaran kebencian, hoaks, melanggar kesusilaan alias politik sontoloyo, tidak berbeda juga di bidang hukum dan penegakan hukum. Mulai dari proses perancangan undang-undang, pembahasan rancangan UU di DPR RI bersama pemerintah, penetapan pengesahan Rancangan UU oleh DPR RI disaksikan pemerintah, sampai pada proses penegakan hukum mulai penyelidikan sampai persidangan di pengadilan, terjadi kesontoloyoan yang tidak kalah parahnya.
Contoh Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang menyatakan bahwa jika pimpinan BPK tersandung kasus pidana, maka pemeriksaan harus seizin presiden jelas melanggar Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.
Di dalam penegakan hukum pun kita saksikan kesontoloyoan tersebut, seperti kasus Sengkon dan Karta yang telah dijatuhi hukum dinyatakan bersalah karena melakukan pembunuhan akan tetapi setelah sekian lama mendekam dalam penjara, terbukti bukan mereka pelaku pembunuhan dan ia kemudian dibebaskan. Contoh lain, hukuman percobaan seorang Misnah karena mencuri lima buah kakao karena kelaparan, tertahannya pemeriksaan Kejaksaan agung terhadap seorang pimpinan BPK karena terlibat korupsi kasus BTS Kemenkoinfo, dan tersendat-sendatnya Kejaksaan agung mengusut aliran dana BTS ke perusahaan yang dikuasai 'orang kuat', pemerasan penyidik terhadap pesakitan untuk keuntungan finansial, kasus suap yang melibatkan oknum polisi, jaksa dan hakim merupakan contoh-contoh penegakan hukum yang sontoloyo.
Sudah tentu pernyataan Presiden bukan terhadap satu atau dua parpol saja, melainkan terhadap parpol yang memenangi Pemilu 2024 terutama pemimpin yamg diberi amanah 270 juta rakyat khususnya dalam bidang pembangunan hukum dan penegakan hukum. Semua masalah pembentukan hukum dan penegakan hukum selama 76 tahun kemerdekaan kita saksikan terjadinya kerusakan moral dalam penyelenggaraan negara baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif oleh oknum-oknum penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab.
Seperti dalam perencanaan RAPBN sejak pembahasan di Bappenas telah terjadi “sistem ijon” rencana kegiatan proyek-proyek di Kementerian/Lembaga (K/L) tertentu yang mempunyai rencana anggaran dengan nilai fantastis. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa bantuan atau backing dari oknum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan atau pimpinan di K/L tersebut.
Pola sistem ijon ini berlanjut ketika dalam pembahasan RAPBN/RAPBD bersama-sama anggota DPR/DPRD. Merujuk kondisi pembusukan RAPBN/RAPBD tersebut tidaklah keliru jika dikatakan bahwa pada setiap tahun telah dan selalu kebocoran pelaksanaaan APBN/APBD sebesar 35% dari total APBN/APBD yang telah disetuju DPR/DPRD. Implikasi sosial-ekonomi dari proses pembusukan adalah, kerugian keuangan negara yang fantastis dan kerugian perekonomian nasional yang bersifat masif dan tidak terelakkan.
Kondisi pembusukan ini tidak dapat dihentikan sekalipun pemerintah telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki wewenang yang bersifat luar biasa dengan langkah-langkah hukum yang bersifat luar biasa pula, antara lain wewenang penyadapan tanpa izin ketua Pengadilan Negeri dan atau Dewan Pengawas KPK serta wewenang koordinasi dan supervisi atas kinerja kepolisian dan kejaksaan disertai kewenangan mengambil alih kasus korupsi dari kedua instansi tersebut jika salah satu dari 12 (duabelas) syarat pengambilalihan (take-over) dipenuhi.
Hal ini disebabkan telah terjadi kekeliruan cara pandang para ahli hukum dan sosiologi bahwa, korupsi hanya dapat diberantas jika dilakukan penegakan hukum terutama pemenjaraan; semakin banyak koruptor dihukum diharap semakin jera orang lain berbuat korupsi. Kenyataannya ternyata banyak kehidupan koruptor di dalam dan selama di penjara justru telah mendapat fasilitas baik tempat kamar yang jauh berbeda dengan narapidana lainnya terutama yang berasal dari tingkat sosial ekonomi yang rendah. Fasilitas istimewa berdasarakan UU Pemasyarakatan telah “memanjakan” narapidana khususnya narapidana korupsi sehingga efek jera semakin memudar.
Berdasarkan kenyataan sebagaimana diuraikan di atas telah terbukti bahwa kekonyolan dan kesontoloyoan dalam hukum dan penegakan hukum telah terjadi dari mulai hulu ke hilir. Selama setiap tahun anggaran baru hal tersebut terus berlanjut tanpa ada yang dapat menghentikannya. Hal ini terjadi karena telah terdapat pranggapan di lingkungan birokrasi tiap K/L bahwa yang penting anggaran negara habis tersedot dan digunakan daripada menyisakan anggaran setiap akhir tahun karena telanjur dijadikan tolok ukur kinerja penyelenggaraan negara.
Dalam kondisi serba kesontoloyoan ini merebak apa yang dinamakan sistem percaloan/mafia peradilan dan sistem ijon proyek-proyek di beberapa K/L. Jika elite pimpinan politik mau merenungkan bahwa politik bukan hanya meraih kekuasaan tetapi juga mengandung beban moral dan sosial terhadap bangsa dan negaranya serta harus dipahami fungsi dan peranan hukum merupakan sarana untuk membatasi kekuasaan yang dimilikinya termasuk masa jabatan presiden dan wakil presiden, kiranya harapan terciptanya elite pimpinan/kekuasaan yang bermartabat dan dihormati akan dapat kita raih. Diharapkan pula hukum difungsikan pada tempat yang selayaknya, yakni setiap orang di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini akan merasa nyaman dan diperlakukan aman serta damai.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
TERINSPIRASI dari pernyataan Presiden di hadapan ketiga calon presiden bahwa kampanye politik tidak lagi menggunakan cara-cara ujaran kebencian, hoaks, melanggar kesusilaan alias politik sontoloyo, tidak berbeda juga di bidang hukum dan penegakan hukum. Mulai dari proses perancangan undang-undang, pembahasan rancangan UU di DPR RI bersama pemerintah, penetapan pengesahan Rancangan UU oleh DPR RI disaksikan pemerintah, sampai pada proses penegakan hukum mulai penyelidikan sampai persidangan di pengadilan, terjadi kesontoloyoan yang tidak kalah parahnya.
Contoh Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang menyatakan bahwa jika pimpinan BPK tersandung kasus pidana, maka pemeriksaan harus seizin presiden jelas melanggar Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.
Di dalam penegakan hukum pun kita saksikan kesontoloyoan tersebut, seperti kasus Sengkon dan Karta yang telah dijatuhi hukum dinyatakan bersalah karena melakukan pembunuhan akan tetapi setelah sekian lama mendekam dalam penjara, terbukti bukan mereka pelaku pembunuhan dan ia kemudian dibebaskan. Contoh lain, hukuman percobaan seorang Misnah karena mencuri lima buah kakao karena kelaparan, tertahannya pemeriksaan Kejaksaan agung terhadap seorang pimpinan BPK karena terlibat korupsi kasus BTS Kemenkoinfo, dan tersendat-sendatnya Kejaksaan agung mengusut aliran dana BTS ke perusahaan yang dikuasai 'orang kuat', pemerasan penyidik terhadap pesakitan untuk keuntungan finansial, kasus suap yang melibatkan oknum polisi, jaksa dan hakim merupakan contoh-contoh penegakan hukum yang sontoloyo.
Sudah tentu pernyataan Presiden bukan terhadap satu atau dua parpol saja, melainkan terhadap parpol yang memenangi Pemilu 2024 terutama pemimpin yamg diberi amanah 270 juta rakyat khususnya dalam bidang pembangunan hukum dan penegakan hukum. Semua masalah pembentukan hukum dan penegakan hukum selama 76 tahun kemerdekaan kita saksikan terjadinya kerusakan moral dalam penyelenggaraan negara baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif oleh oknum-oknum penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab.
Seperti dalam perencanaan RAPBN sejak pembahasan di Bappenas telah terjadi “sistem ijon” rencana kegiatan proyek-proyek di Kementerian/Lembaga (K/L) tertentu yang mempunyai rencana anggaran dengan nilai fantastis. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa bantuan atau backing dari oknum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan atau pimpinan di K/L tersebut.
Pola sistem ijon ini berlanjut ketika dalam pembahasan RAPBN/RAPBD bersama-sama anggota DPR/DPRD. Merujuk kondisi pembusukan RAPBN/RAPBD tersebut tidaklah keliru jika dikatakan bahwa pada setiap tahun telah dan selalu kebocoran pelaksanaaan APBN/APBD sebesar 35% dari total APBN/APBD yang telah disetuju DPR/DPRD. Implikasi sosial-ekonomi dari proses pembusukan adalah, kerugian keuangan negara yang fantastis dan kerugian perekonomian nasional yang bersifat masif dan tidak terelakkan.
Kondisi pembusukan ini tidak dapat dihentikan sekalipun pemerintah telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki wewenang yang bersifat luar biasa dengan langkah-langkah hukum yang bersifat luar biasa pula, antara lain wewenang penyadapan tanpa izin ketua Pengadilan Negeri dan atau Dewan Pengawas KPK serta wewenang koordinasi dan supervisi atas kinerja kepolisian dan kejaksaan disertai kewenangan mengambil alih kasus korupsi dari kedua instansi tersebut jika salah satu dari 12 (duabelas) syarat pengambilalihan (take-over) dipenuhi.
Hal ini disebabkan telah terjadi kekeliruan cara pandang para ahli hukum dan sosiologi bahwa, korupsi hanya dapat diberantas jika dilakukan penegakan hukum terutama pemenjaraan; semakin banyak koruptor dihukum diharap semakin jera orang lain berbuat korupsi. Kenyataannya ternyata banyak kehidupan koruptor di dalam dan selama di penjara justru telah mendapat fasilitas baik tempat kamar yang jauh berbeda dengan narapidana lainnya terutama yang berasal dari tingkat sosial ekonomi yang rendah. Fasilitas istimewa berdasarakan UU Pemasyarakatan telah “memanjakan” narapidana khususnya narapidana korupsi sehingga efek jera semakin memudar.
Berdasarkan kenyataan sebagaimana diuraikan di atas telah terbukti bahwa kekonyolan dan kesontoloyoan dalam hukum dan penegakan hukum telah terjadi dari mulai hulu ke hilir. Selama setiap tahun anggaran baru hal tersebut terus berlanjut tanpa ada yang dapat menghentikannya. Hal ini terjadi karena telah terdapat pranggapan di lingkungan birokrasi tiap K/L bahwa yang penting anggaran negara habis tersedot dan digunakan daripada menyisakan anggaran setiap akhir tahun karena telanjur dijadikan tolok ukur kinerja penyelenggaraan negara.
Dalam kondisi serba kesontoloyoan ini merebak apa yang dinamakan sistem percaloan/mafia peradilan dan sistem ijon proyek-proyek di beberapa K/L. Jika elite pimpinan politik mau merenungkan bahwa politik bukan hanya meraih kekuasaan tetapi juga mengandung beban moral dan sosial terhadap bangsa dan negaranya serta harus dipahami fungsi dan peranan hukum merupakan sarana untuk membatasi kekuasaan yang dimilikinya termasuk masa jabatan presiden dan wakil presiden, kiranya harapan terciptanya elite pimpinan/kekuasaan yang bermartabat dan dihormati akan dapat kita raih. Diharapkan pula hukum difungsikan pada tempat yang selayaknya, yakni setiap orang di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini akan merasa nyaman dan diperlakukan aman serta damai.
(zik)