Uighur dalam Kerangka Separatisme dan Gerakan Politik

Senin, 06 November 2023 - 20:11 WIB
Dalam melihat cakupan aktivitas terorisme yang diprakarsai oleh Uighur di China dari 1990-2014, terlihat adanya dua gelombang yang berbeda. Pertama, pascaruntuhnya Uni Soviet dalam agenda mendorong otonomi wilayah Xinjiang. Aktivitas terorisme ini mencapai puncaknya pada 1997 ketika 15 serangan teroris mengakibatkan 50 warga China tewas dan 98 lainnya terluka.

Kedua, gelombang aktivitas terorisme menjelang Olimpiade Beijing 2008 yang mencapai puncaknya pada 2014 dengan total 28 insiden. Tragedi ini menewaskan 164 orang dan 426 orang terluka (LaFree et al., 2015). Data ini menunjukkan serangan teroris Uighur mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dengan penargetan warga sipil bahkan pemerintah, sehingga hal ini sangat sesuai dengan perilaku dan tren terorisme global.

Serangan mobil dan insiden bom Urumqi pada 2014 menyebabkan sedikitnya 31 orang tewas. Jumlah korban ini merupakan yang tertinggi dari serangkaian insiden kekerasan di Xinjiang yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis Uighur sejak 1990 (The Guardian, 2014).

Dengan adanya insiden ini, Pemerintah China di bawah kepemimpinan Xi Jinping kemudian mengumumkan pemberlakuan kebijakan Strike Hard Against Extremist Terrorism dan Reeducation Camp (Zahrah & Windiani, 2023). Kebijakan ini mencakup upaya penertiban situasi serta menjaga stabilitas keamanan nasional di tengah gejolak konflik yang semakin bereskalasi.

Hadirnya kebijakan Strike Hard Against Extremist Terrorism dan Reeducation Camp ini sedikit banyak telah menimbulkan polemik dan kontroversi di kalangan komunitas internasional - sebut saja sikap PBB yang cenderung kontra atas kebijakan Pemerintah China. Tuduhan praktik pelanggaran HAM yang disematkan untuk Pemerintah China atas sikap “keras”-nya kepada Muslim Uighur di Xinjiang menjadi tagline utama dalam narasi propaganda negara pesaing China yang dibangun dalam beberapa tahun belakangan ini.

Di sisi lain, bentuk dukungan kepada tindakan Pemerintahan China justru datang dari negara-negara dengan latar belakang mayoritas Muslim sekaliber Palestina, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk. Dalam lawatan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas ke Beijing pada Juni 2023 lalu, Abbas menyatakan dukungan terhadap pendekatan China di Xinjiang.

Mahmoud Abbas juga sepakat bahwa masalah di Xinjiang bukan soal permasalahan hak asasi manusia, melainkan agenda konter-terorisme, deradikalisasi, dan anti-separatisme (Kashgar, 2023).

Sejak diberlakukannya kebijakan Strike Hard Against Extremist Terrorism dan Reeducation Camp, Pemerintah China selalu konsisten dan sejalan dengan upaya-upaya untuk mereduksi tindakan kekerasan oleh kelompok separatis dan mempromosikan perdamaian serta kestabilan keamanan, baik ditingkat domestik maupun global.

Hal ini terlihat jelas melalui posisi China yang konsisten mendukung perdamaian dan keadilan bagi rakyat Palestina dalam menjaga hak-hak nasionalnya yang direnggut oleh Israel (Singh, 2023).

Di lain pihak, justru terdapat adanya narasi yang kontradiktif dengan posisi Pemerintah China yang datang dari World Uyghur Congress (WUC). WUC yang merupakan NGO yang berupaya mengadvokasi kepentingan etnis Uighur secara transnasional, justru menampilkan standing position yang ambivalen terhadap fenomena kekerasan di Palestina.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More