Genosida, Diplomasi Multi-Jalur Krisis Gaza

Minggu, 05 November 2023 - 19:09 WIB
Andi Kurniawan, Dosen Hubungan Internasional FISIP UPN Veteran Jakarta. Foto: SINDOnews/Dok
Andi Kurniawan

Dosen Hubungan Internasional

FISIP UPN Veteran Jakarta

GENOSIDA merupakan kejahatan kemanusiaan. Dalam Encyclopedia of Violence, Peace, and Conflict (2022), genosida diartikan sebagai kekerasan masal yang menyasar kelompok tertentu berbasis identitas mereka.

Berdasarkan data Yale University terkait dengan sejarah genosida di Kamboja, sekitar 1,7 juta warga dibunuh dan tewas akibat kelaparan, kelelahan, dan kondisi kesehatan yang buruk pada rezim Khmer Merah (Gangadharan et al., 2022).



Srebenica massacre, pembantaian terhadap lebih dari 8.000 Muslim Bosniak oleh kekuatan militer Serbia Bosnia masih meninggalkan trauma mendalam dalam sejarah perkembangan Bosnia-Herzegovina (Riding, 2020).

Lebih lanjut dalam Pasal 2 Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida secara jelas diuraikan bahwa genosida merupakan perbuatan yang dilakukan untuk membunuh, melukai kelompok bangsa, etnis, dan agama.

Dari berbagai definisi ini, tindakan Israel terhadap warga Gaza dapat dikategorikan sebagai genosida, lalu bagaimana tindakan organisasi perdamaian dunia PBB?

Terfragmentasi Kepentingan

Harapan untuk tindakan tegas dan imparsial dalam mencegah konflik antara Israel dan Palestina tampak sulit dengan kondisi negara pemegang veto masing-masing memiliki kepentingan, dan cenderung mengabaikan mandat utama organisasi yaitu untuk menjaga perdamaian dunia. Veto Amerika Serikat dalam Sidang Dewan Keamanan PBB untuk menghasilkan resolusi jeda kemanusiaan dalam isu Gaza pada 18 Oktober 2023 beargumentasi bahwa Israel has a right to defend itself.

Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu organ utama dalam organisasi PBB dan sangat berpengaruh dalam menyikapi isu-isu politik dan keamanan internasional. Pernyataan veto ‘tidak’ dari salah satu anggota permanen DK PBB dapat menggagalkan upaya usulan resolusi organisasi.

Suatu mekanisme organisasi yang berpotensi untuk terus digunakan dalam rangka mengabaikan suara dan pendapat negara-negara lemah, tertindas, dan terpinggirkan. Sebab itu, reformasi struktur organisasi DK PBB harus segera dilakukan dan tidak sekedar wacana berkepanjangan. Suara negara-negara berkembang harus mendapatkan tempat yang lebih proporsional termasuk juga status sebagai anggota tetap dan hak veto.

Bukan berlebihan jika negara-negara berkembang dari Asia, Arab, dan Afrika mengharapkan lebih banyak perwakilan tetap mereka di DK PBB. Data klasifikasi negara-negara anggota PBB berdasarkan UN World Economic Prospects 2019 menunjukkan lebih dari separuh negara anggota masih dikelompokkan sebagai negara-negara ekonomi berkembang.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More