Santri dan Adab Berpolitik
Jum'at, 20 Oktober 2023 - 06:25 WIB
Demam santri siklus lima tahunan ini juga tidak hanya menjadi monopoli partai politik berhaluan religius, namun juga partai politik berhaluan nasionalis pun juga turut berebut simpati dan dukungan kaum santri. Bahkan, lagu perjuangan Ya Lal Wathon yang selama ini identik sebagai lagu perjuangan santri Nahdlatul Ulama (NU) juga berkumandang di kendang basis santri non NU.
Secara logika memang wajar jika kaum santri memiliki daya tarik untuk diperebutkan sumbangsih suara politiknya. Secara kuantitas komunitas santri di Indonesia terbilang cukup besar jumlahnya.
Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2022, di Indonesia terdapat 26.975 pondok pesantren dengan 2.65 juta santri. Jumlah pondok pesantren dan santri tersebut tidak dipungkiri merupakan konstituen politik sekaligus lumbung suara potensial yang selalu diperebutkan pada setiap masa Pemilu. Dalam ranah politik nasional, kaum santri juga telah menjadi bagian penting dalam pembangunan politik nasional sejak awal kemerdekaan negara ini.
Sejarah politik santri mencatat kehadiran sejumlah partai politik yang berbasis massa santri. Dari kalangan NU sendiri, sebagai contoh, tercatat sejumlah partai politik yang lahir membawa label NU. Pada masa Orde Lama, Sejarah mencatat keberadaan partai Nahdlatul Ulama yang menduduki posisi ketiga dalam jumlah perolehan suara pada Pemilu 1955, yakni sebesar 6.955.141.
Di era Orde Baru, kepentingan politik NU secara kelembagaan partai politik terwakili melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Memasuki era Orde Reformasi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hadir mewakili kepentingan NU. Di luar pro dan kontra yang dihadapinya, PKB tercatat sebagai partai politik peserta Pemilu yang didukung kaum Nahdliyin sebagai basis kekuatan konstituen politik utamanya.
Santri dan Politik Akhlak
Partisipasi politik kaum santri bak sebuah oase di tengah panasnya hamparan gurun. Dalam arti, kehadiran santri termasuk partai politik yang berbasis dukungan santri sangat diharapkan dapat menjadi penyegar atas rasa dahaga akan kehidupan politik yang berakhlak dan bermartabat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa konstelasi politik Indonesia kerap dijumpai tindakan-tindakan tak terpuji, seperti praktik politik uang (money politics). Meskipun praktik politik uang lebih menyasar kepada masyarakat akar rumput untuk membeli suara mereka, secara etika praktik demikian tidak dapat dibenarkan baik secara hukum agama maupun hukum negara. Praktik politik uang berkontribusi terhadap terciptanya kondisi politik biaya tinggi (high cost politics).
Situasi ini tidak hanya memberatkan para kontestan politik namun juga menjadi ancaman bagi terwujudnya ketatapemerintahan yang bersih (good governance) hasil Pemilu. Situasi demikian tidak terlepas dari sifat kontestasi politik itu sendiri yang secara sadar dilakukan dengan tujuan untuk “merebut dan mempertahankan kekuasaan”.
Diksi “merebut dan mempertahankan kekuasaan” di sini dapat dimaknai sebagai suatu keadaan (state of affairs) yang berpotensi menyandera perilaku politik dalam sebuah jebakan kepentingan sesaat yang dalam implementasinya kerap mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tanpa didasari sikap berpolitik yang akhlakul karimah, maka karakteristik Machiavellianism dalam berpolitik akan semakin hadir berkuasa dengan menggunakan segala cara untuk meraihnya (a drive to use whatever necessary to gain power).
Secara logika memang wajar jika kaum santri memiliki daya tarik untuk diperebutkan sumbangsih suara politiknya. Secara kuantitas komunitas santri di Indonesia terbilang cukup besar jumlahnya.
Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2022, di Indonesia terdapat 26.975 pondok pesantren dengan 2.65 juta santri. Jumlah pondok pesantren dan santri tersebut tidak dipungkiri merupakan konstituen politik sekaligus lumbung suara potensial yang selalu diperebutkan pada setiap masa Pemilu. Dalam ranah politik nasional, kaum santri juga telah menjadi bagian penting dalam pembangunan politik nasional sejak awal kemerdekaan negara ini.
Sejarah politik santri mencatat kehadiran sejumlah partai politik yang berbasis massa santri. Dari kalangan NU sendiri, sebagai contoh, tercatat sejumlah partai politik yang lahir membawa label NU. Pada masa Orde Lama, Sejarah mencatat keberadaan partai Nahdlatul Ulama yang menduduki posisi ketiga dalam jumlah perolehan suara pada Pemilu 1955, yakni sebesar 6.955.141.
Di era Orde Baru, kepentingan politik NU secara kelembagaan partai politik terwakili melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Memasuki era Orde Reformasi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hadir mewakili kepentingan NU. Di luar pro dan kontra yang dihadapinya, PKB tercatat sebagai partai politik peserta Pemilu yang didukung kaum Nahdliyin sebagai basis kekuatan konstituen politik utamanya.
Santri dan Politik Akhlak
Partisipasi politik kaum santri bak sebuah oase di tengah panasnya hamparan gurun. Dalam arti, kehadiran santri termasuk partai politik yang berbasis dukungan santri sangat diharapkan dapat menjadi penyegar atas rasa dahaga akan kehidupan politik yang berakhlak dan bermartabat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa konstelasi politik Indonesia kerap dijumpai tindakan-tindakan tak terpuji, seperti praktik politik uang (money politics). Meskipun praktik politik uang lebih menyasar kepada masyarakat akar rumput untuk membeli suara mereka, secara etika praktik demikian tidak dapat dibenarkan baik secara hukum agama maupun hukum negara. Praktik politik uang berkontribusi terhadap terciptanya kondisi politik biaya tinggi (high cost politics).
Situasi ini tidak hanya memberatkan para kontestan politik namun juga menjadi ancaman bagi terwujudnya ketatapemerintahan yang bersih (good governance) hasil Pemilu. Situasi demikian tidak terlepas dari sifat kontestasi politik itu sendiri yang secara sadar dilakukan dengan tujuan untuk “merebut dan mempertahankan kekuasaan”.
Diksi “merebut dan mempertahankan kekuasaan” di sini dapat dimaknai sebagai suatu keadaan (state of affairs) yang berpotensi menyandera perilaku politik dalam sebuah jebakan kepentingan sesaat yang dalam implementasinya kerap mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tanpa didasari sikap berpolitik yang akhlakul karimah, maka karakteristik Machiavellianism dalam berpolitik akan semakin hadir berkuasa dengan menggunakan segala cara untuk meraihnya (a drive to use whatever necessary to gain power).
Lihat Juga :
tulis komentar anda