Santri dan Adab Berpolitik

Jum'at, 20 Oktober 2023 - 06:25 WIB
loading...
Santri dan Adab Berpolitik
Arifi Saiman, Konsul Jenderal RI New York (2019-2022). Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Arifi Saiman
Konsul Jenderal RI New York (2019-2022)
Penulis buku Diplomasi Santri.

PERAYAAN Hari Santri Nasional (HSN) Tahun 2023 terasa sangat istimewa. Momentum spesial ini tidak lepas dari momentum HSN yang dirayakan di tengah keriuhan panggung politik nasional menjelang Pemilu 2024 yang sarat manuver dan siasat yang bermuara pada satu tujuan, yakni pemenangan pemilu.

HSN sendiri juga lahir sebagai salah satu produk kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2015. Dalam konteks ini, HSN dapat dipandang sebagai sebuah bentuk pengakuan sekaligus penghargaan sekaligus kado terindah dari pemerintah kepada kaum santri atas peranan dan jasa-jasanya bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Sampai dengan perayaannya ke-9 tahun ini, secara umum kehadiran HSN telah diterima dengan baik meskipun masih dapat dikatakan belum sepenuhnya membumi. Pengertian ‘belum sepenuhnya membumi” ini lebih terkait pada keberadaan HSN yang masih lebih bersifat sebatas peringatan seremonial semata dan belum menjadi hari libur nasional, sehingga tidak sedikit masyarakat Indonesia khususnya masyarakat bukan santri yang melewatkan begitu saja momentum HSN yang semata-mata karena ketidaktahuan mereka tentang keberadaan hari nasional ini.

Bahkan di kalangan komunitas santri sendiri, perayaan HSN sendiri juga masih berlangsung secara parsial. Dalam arti, HSN masih belum menjadi event yang diikuti oleh semua elemen kelompok ormas Islam di Tanah Air, terkecuali kalangan ormas Islam yang berada di bawah naungan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI).

Santri dan Tahun Politik
Perayaan HSN tahun ini terasa memiliki nuansa sedikit berbeda. Kaum santri sebagai pemegang saham utama HSN banyak mewarnai diskursus publik khususnya di tataran politik praktis. Semua pihak berkepentingan mencoba untuk memandang dan meng-engage kalangan santri untuk kepentingan perjuangan politik mereka.

Demam santri siklus lima tahunan ini juga tidak hanya menjadi monopoli partai politik berhaluan religius, namun juga partai politik berhaluan nasionalis pun juga turut berebut simpati dan dukungan kaum santri. Bahkan, lagu perjuangan Ya Lal Wathon yang selama ini identik sebagai lagu perjuangan santri Nahdlatul Ulama (NU) juga berkumandang di kendang basis santri non NU.

Secara logika memang wajar jika kaum santri memiliki daya tarik untuk diperebutkan sumbangsih suara politiknya. Secara kuantitas komunitas santri di Indonesia terbilang cukup besar jumlahnya.

Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2022, di Indonesia terdapat 26.975 pondok pesantren dengan 2.65 juta santri. Jumlah pondok pesantren dan santri tersebut tidak dipungkiri merupakan konstituen politik sekaligus lumbung suara potensial yang selalu diperebutkan pada setiap masa Pemilu. Dalam ranah politik nasional, kaum santri juga telah menjadi bagian penting dalam pembangunan politik nasional sejak awal kemerdekaan negara ini.

Sejarah politik santri mencatat kehadiran sejumlah partai politik yang berbasis massa santri. Dari kalangan NU sendiri, sebagai contoh, tercatat sejumlah partai politik yang lahir membawa label NU. Pada masa Orde Lama, Sejarah mencatat keberadaan partai Nahdlatul Ulama yang menduduki posisi ketiga dalam jumlah perolehan suara pada Pemilu 1955, yakni sebesar 6.955.141.

Di era Orde Baru, kepentingan politik NU secara kelembagaan partai politik terwakili melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Memasuki era Orde Reformasi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hadir mewakili kepentingan NU. Di luar pro dan kontra yang dihadapinya, PKB tercatat sebagai partai politik peserta Pemilu yang didukung kaum Nahdliyin sebagai basis kekuatan konstituen politik utamanya.

Santri dan Politik Akhlak
Partisipasi politik kaum santri bak sebuah oase di tengah panasnya hamparan gurun. Dalam arti, kehadiran santri termasuk partai politik yang berbasis dukungan santri sangat diharapkan dapat menjadi penyegar atas rasa dahaga akan kehidupan politik yang berakhlak dan bermartabat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa konstelasi politik Indonesia kerap dijumpai tindakan-tindakan tak terpuji, seperti praktik politik uang (money politics). Meskipun praktik politik uang lebih menyasar kepada masyarakat akar rumput untuk membeli suara mereka, secara etika praktik demikian tidak dapat dibenarkan baik secara hukum agama maupun hukum negara. Praktik politik uang berkontribusi terhadap terciptanya kondisi politik biaya tinggi (high cost politics).

Situasi ini tidak hanya memberatkan para kontestan politik namun juga menjadi ancaman bagi terwujudnya ketatapemerintahan yang bersih (good governance) hasil Pemilu. Situasi demikian tidak terlepas dari sifat kontestasi politik itu sendiri yang secara sadar dilakukan dengan tujuan untuk “merebut dan mempertahankan kekuasaan”.

Diksi “merebut dan mempertahankan kekuasaan” di sini dapat dimaknai sebagai suatu keadaan (state of affairs) yang berpotensi menyandera perilaku politik dalam sebuah jebakan kepentingan sesaat yang dalam implementasinya kerap mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tanpa didasari sikap berpolitik yang akhlakul karimah, maka karakteristik Machiavellianism dalam berpolitik akan semakin hadir berkuasa dengan menggunakan segala cara untuk meraihnya (a drive to use whatever necessary to gain power).

Berbeda dengan Machiavellianism yang mengusung semangat the end justifies the means, politik santri justru mengusung nilai-nilai kesantunan, keikhlasan dan kejujuran. Norma politik santri ini tentunya sangat diperlukan dalam membantu mewujudkan proses politik yang santun, jujur dan adil. Budaya debat berbasis fakta dan data menjadi bagian inherent dari budaya santri termasuk dalam ranah kehidupan sosio-politik.

Kehidupan santri sangat lekat dengan budaya Bathsul Masail, sebuah forum silaturahim untuk pembahasan dan pemecahan masalah-masalah Maudlu’iyah (tematik) dan Waqi’iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum. Budaya literasi kaum santri ini senafas dengan budaya yang ada di dunia politik praktis yang memiliki tradisi literasi sejenis.

Karekteristik politik santri yang santun, ikhlas dan jujur seyogianya menjiwai perilaku pemimpin dan politisi nasional khususnya mereka yang mengklaim sebagai insan agamis. Semangat sepi ing pamrih, rame ing gawe sebagaimana yang diteladankan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam kiprah perjuangan beliau merupakan solusi efektif untuk membawa situasi politik nasional keluar dari jeratan politik transaksional yang sangat berbiaya tinggi dan berpotensi menyengsarakan rakyat baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Situasi high cost politics akan menjadikan situasi kepolitikan nasional semakin tidak sehat dan rapuh di tengah situasi persaingan global yang makin sengit dan ketat.

Santri dan Harapan Publik
Tantangan politik serius yang saat ini dihadapai bangsa ini adalah krisis akhlak akut. Situasi politik tidak sehat ini yang mewarnai kehidupan politik nasional terindikasikan melalui perilaku hypocrisy (hipokrit) dan short memory syndrome yang kerap menghinggapi politisi akan janji-janji politiknya, serta aksi politisasi identitas khususnya yang berkedok agama untuk tujuan kepentingan sesaat.

Dalam situasi demikian, politik santri dengan keteladanan perilaku akhlakul karimah nya menjadi tumpuan harapan publik untuk hadir menjawab semua tantangan ini. Harapan ini tentunya bukan sebatas bertujuan untuk merubah wajah dan karakter kepolitikan nasional agar menjadi lebih baik dan lebih sehat.

Namun, keberhasilan merubah wajah dan karakter Indonesia pada masa sekarang juga akan berdampak pada proses perjalanan politik nasional yang bermartabat dan berwibawa menuju Indonesia Emas 2045. Di sinilah politik akhlak dengan adab berpolitik nya diperlukan untuk kepentingan masa depan negara dan bangsa yang lebih baik dan lebih hebat.

Di sini kehadiran politik akhlak memiliki arti strategis dalam menjaga dan mengawal proses politik agar tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku serta tetap mengedepankan nilai-nilai akhlakul karimah. Membangun sebuah kehidupan politik yang berakhlak dan bermartabat memang tidak mudah namun tidak berarti mustahil untuk diwujudkan.

Semuanya keinginan itu berpulang kepada dirinya kita sebagai pelaku dan penentu utamanya. Dirgahayu ke-9 HSN dan Selamat Pesta Demokrasi!
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1007 seconds (0.1#10.140)