Jessica Oh Jessica....
Rabu, 11 Oktober 2023 - 12:44 WIB
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Andai saja di Indonesia ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti The Innocence Project (IP) seperti di Amerika Serikat, mungkin lembaga itu bisa menjadi tempat Jessica Wongso untuk mengadukan nasibnya. Dia yang saat ini dijatuhi vonis hukuman penjara selama 20 tahun, kabarnya tetap merasa dizalimi. Sebab dia – begitu juga kata pengacaranya--- merasa bukan pelakunya.
Kasus yang terjadi pada 2016 itu kembali menjadi pembicaraan hangat di Indonesia karena saat ini sedang ditayangkan film dokumentar tentang kasus matinya Wayan Mirna Salihin di sebuah kafe di Jakarta. Jessica didakwa memasukkan sianida ke dalam gelas milik Mirna.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh IP jika dia ada di Indonesia? Salah satu kegiatan IP ini adalah membantu mereka yang diperlakukan tidak adil oleh hukum atau mendapat putusan pengadilan yang dianggap keliru.
IP berbeda dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang selama ini kita kenal. Jika LBH lebih banyak membantu atau mendampingi orang tidak mampu dalam menjalani proes peradilan, IP membantu orang sesudah putusan dijatuhkan oleh pengadilan. Langkah IP juga berbeda. Ia tidak sekadar melakukan tindakan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). IP biasanya menempuh berbagai cara, termasyuk tes DNA, lobby, dan membongkar kembali semua dokumen kasus yang diperlukan untuk dikaji ulang.
Maka, orang seperti Jessica Wongso atau siapa saja yang merasa dizalimi atau diputus secara salah oleh peradilan, bisa meminta bantuan kepada IP. Dan umumnya gratis. Para pengadu cukup memenuhi beberapa syarat agar kasusnya bisa ditangani oleh IP. Tentu beberapa syarat yang penting antara adalah pemohonnya masih hidup, bisa memberikan data atau keterangan yang benar. Dalam kasus pembunuhan, misalnya, dia bisa meyakinkan bahwa memang bukan dia pelakunya. Tetapi, jika memang dia pelakunya dan sekadar meminta IP dapat mengurangi hukumannya, rasanya akan sulit diterima.
Kasus-kasus “serupa tapi tak sama” mungkin saja kerap terjadi di Indonesia. Misalnya saja, kita ingat kasus “Sum Kuning” yang membuat geger Indonesia pada September 1970. Seorang gadis remaja diperkosa oleh beberapa pemuda gondrong dan cepak di dalam mobil lalu dibuang di pinggir jalan. Tapi dia malah dipersalahkan dan dituduh membuat berita bohong. Kemudian ada kasus “Sengkon dan Karta” (1974) di Bekasi yang tak kalah hebohnya. Kedua pria tersebut dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap suami istri di Desa Bojongsari, Bekasi. Sengkon dan Karta ditangkap polisi. Keduanya disiksa oleh penyidik. Karena tidak tahan dengan siksaan polisi, mereka menyerah dan menandatangani Berita Aacara Pemeriksaan (BAP). Bewberapa waktu kemudian, di penjara, mjereka malah bertemu dengan perazmpok dan pembunuh aslinya yang mengaku. Keduanya (Sengkon dan Karta) akhirnya dibebaskan.
IP didirikan pada 1992 oleh Peter Neufeld dan Barry Scheck di Sekolah Hukum Cardozo. Misi mereka adalah untuk membebaskan orang yang tak bersalah tapi tetap dipenjara, dan membawa reformasi sistem hukum yang lebih bertanggung jawab. Biasanya organisasi ini melakukannya melalui tes DNA.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Andai saja di Indonesia ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti The Innocence Project (IP) seperti di Amerika Serikat, mungkin lembaga itu bisa menjadi tempat Jessica Wongso untuk mengadukan nasibnya. Dia yang saat ini dijatuhi vonis hukuman penjara selama 20 tahun, kabarnya tetap merasa dizalimi. Sebab dia – begitu juga kata pengacaranya--- merasa bukan pelakunya.
Kasus yang terjadi pada 2016 itu kembali menjadi pembicaraan hangat di Indonesia karena saat ini sedang ditayangkan film dokumentar tentang kasus matinya Wayan Mirna Salihin di sebuah kafe di Jakarta. Jessica didakwa memasukkan sianida ke dalam gelas milik Mirna.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh IP jika dia ada di Indonesia? Salah satu kegiatan IP ini adalah membantu mereka yang diperlakukan tidak adil oleh hukum atau mendapat putusan pengadilan yang dianggap keliru.
IP berbeda dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang selama ini kita kenal. Jika LBH lebih banyak membantu atau mendampingi orang tidak mampu dalam menjalani proes peradilan, IP membantu orang sesudah putusan dijatuhkan oleh pengadilan. Langkah IP juga berbeda. Ia tidak sekadar melakukan tindakan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). IP biasanya menempuh berbagai cara, termasyuk tes DNA, lobby, dan membongkar kembali semua dokumen kasus yang diperlukan untuk dikaji ulang.
Maka, orang seperti Jessica Wongso atau siapa saja yang merasa dizalimi atau diputus secara salah oleh peradilan, bisa meminta bantuan kepada IP. Dan umumnya gratis. Para pengadu cukup memenuhi beberapa syarat agar kasusnya bisa ditangani oleh IP. Tentu beberapa syarat yang penting antara adalah pemohonnya masih hidup, bisa memberikan data atau keterangan yang benar. Dalam kasus pembunuhan, misalnya, dia bisa meyakinkan bahwa memang bukan dia pelakunya. Tetapi, jika memang dia pelakunya dan sekadar meminta IP dapat mengurangi hukumannya, rasanya akan sulit diterima.
Kasus-kasus “serupa tapi tak sama” mungkin saja kerap terjadi di Indonesia. Misalnya saja, kita ingat kasus “Sum Kuning” yang membuat geger Indonesia pada September 1970. Seorang gadis remaja diperkosa oleh beberapa pemuda gondrong dan cepak di dalam mobil lalu dibuang di pinggir jalan. Tapi dia malah dipersalahkan dan dituduh membuat berita bohong. Kemudian ada kasus “Sengkon dan Karta” (1974) di Bekasi yang tak kalah hebohnya. Kedua pria tersebut dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap suami istri di Desa Bojongsari, Bekasi. Sengkon dan Karta ditangkap polisi. Keduanya disiksa oleh penyidik. Karena tidak tahan dengan siksaan polisi, mereka menyerah dan menandatangani Berita Aacara Pemeriksaan (BAP). Bewberapa waktu kemudian, di penjara, mjereka malah bertemu dengan perazmpok dan pembunuh aslinya yang mengaku. Keduanya (Sengkon dan Karta) akhirnya dibebaskan.
IP didirikan pada 1992 oleh Peter Neufeld dan Barry Scheck di Sekolah Hukum Cardozo. Misi mereka adalah untuk membebaskan orang yang tak bersalah tapi tetap dipenjara, dan membawa reformasi sistem hukum yang lebih bertanggung jawab. Biasanya organisasi ini melakukannya melalui tes DNA.
tulis komentar anda