Jessica Oh Jessica....
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Andai saja di Indonesia ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti The Innocence Project (IP) seperti di Amerika Serikat, mungkin lembaga itu bisa menjadi tempat Jessica Wongso untuk mengadukan nasibnya. Dia yang saat ini dijatuhi vonis hukuman penjara selama 20 tahun, kabarnya tetap merasa dizalimi. Sebab dia – begitu juga kata pengacaranya--- merasa bukan pelakunya.
Kasus yang terjadi pada 2016 itu kembali menjadi pembicaraan hangat di Indonesia karena saat ini sedang ditayangkan film dokumentar tentang kasus matinya Wayan Mirna Salihin di sebuah kafe di Jakarta. Jessica didakwa memasukkan sianida ke dalam gelas milik Mirna.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh IP jika dia ada di Indonesia? Salah satu kegiatan IP ini adalah membantu mereka yang diperlakukan tidak adil oleh hukum atau mendapat putusan pengadilan yang dianggap keliru.
IP berbeda dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang selama ini kita kenal. Jika LBH lebih banyak membantu atau mendampingi orang tidak mampu dalam menjalani proes peradilan, IP membantu orang sesudah putusan dijatuhkan oleh pengadilan. Langkah IP juga berbeda. Ia tidak sekadar melakukan tindakan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). IP biasanya menempuh berbagai cara, termasyuk tes DNA, lobby, dan membongkar kembali semua dokumen kasus yang diperlukan untuk dikaji ulang.
Maka, orang seperti Jessica Wongso atau siapa saja yang merasa dizalimi atau diputus secara salah oleh peradilan, bisa meminta bantuan kepada IP. Dan umumnya gratis. Para pengadu cukup memenuhi beberapa syarat agar kasusnya bisa ditangani oleh IP. Tentu beberapa syarat yang penting antara adalah pemohonnya masih hidup, bisa memberikan data atau keterangan yang benar. Dalam kasus pembunuhan, misalnya, dia bisa meyakinkan bahwa memang bukan dia pelakunya. Tetapi, jika memang dia pelakunya dan sekadar meminta IP dapat mengurangi hukumannya, rasanya akan sulit diterima.
Kasus-kasus “serupa tapi tak sama” mungkin saja kerap terjadi di Indonesia. Misalnya saja, kita ingat kasus “Sum Kuning” yang membuat geger Indonesia pada September 1970. Seorang gadis remaja diperkosa oleh beberapa pemuda gondrong dan cepak di dalam mobil lalu dibuang di pinggir jalan. Tapi dia malah dipersalahkan dan dituduh membuat berita bohong. Kemudian ada kasus “Sengkon dan Karta” (1974) di Bekasi yang tak kalah hebohnya. Kedua pria tersebut dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap suami istri di Desa Bojongsari, Bekasi. Sengkon dan Karta ditangkap polisi. Keduanya disiksa oleh penyidik. Karena tidak tahan dengan siksaan polisi, mereka menyerah dan menandatangani Berita Aacara Pemeriksaan (BAP). Bewberapa waktu kemudian, di penjara, mjereka malah bertemu dengan perazmpok dan pembunuh aslinya yang mengaku. Keduanya (Sengkon dan Karta) akhirnya dibebaskan.
IP didirikan pada 1992 oleh Peter Neufeld dan Barry Scheck di Sekolah Hukum Cardozo. Misi mereka adalah untuk membebaskan orang yang tak bersalah tapi tetap dipenjara, dan membawa reformasi sistem hukum yang lebih bertanggung jawab. Biasanya organisasi ini melakukannya melalui tes DNA.
Salah satu prestasi lembaga ini adalah dibebaskannya Archie Williams, 59 tahun, setelah 37 tahun ia dipenjara karena kejahatan yang tidak dia lakukan. Ceritanya, ketika seorang wanita kulit putih di Baton Rouge, Louisiana, diperkosa dan ditikam pada tahun 1982, dia berulang kali mengidentifikasi Archie Williams sebagai pemerkosanya. Williams, yang saat itu berusia 22 tahun, sebenarnya sedang tidur di rumah pada saat penyerangan terjadi, dan sidik jarinya tidak ditemukan di tempat kejadian. Tetapi, sebagai anak kulit hitam yang malang, dia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk melawan negara bagian Louisiana. Jadi, Archie dihukum pada tahun 1983 dan dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa hak pembebasan bersyarat.
Pada tahun 1995, 12 tahun menjalani hukuman penjara, Archie Williams menulis surat kepada pendiri Innocence Project, Barry Scheck, untuk meminta ,bantuan hukum. Sejak saat itu hingga 2019, Scheck dan tim pengacara, termasuk Direktur Litigasi Vanessa Potkin—yang ditugaskan menangani kasus ini ketika dia bergabung dengan organisasi tersebut pada tahun 2000—mencoba segala cara untuk membuktikan bahwa Williams tidak bersalah. The Innocence Project New Orleans kemudian bergabung dengan tim hukum dalam kasus ini. Selama 20 tahun negara memblokir akses ke barang bukti yang bisa menunjukkan bahwa Archie Williams tidak bersalah.
Akhirnya, pada 21 Maret 2019, Komisaris Kinasiyumki Kimble dari Pengadilan Distrik Louisiana membuat keputusan setelah bukti sidik jari baru, yang mengecualikan Williams, dicocokkan melalui database sidik jari nasional milik Stephen Forbes, seorang pria yang juga telah melakukan serangkaian serangan seksual. Singkatnya, Archie Williams kemudian dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Negara Bagian Louisiana setelah menjalani 36 tahun.
Anda bisa menyaksikan sendiri kisah Archie Williams ini dalam kompetisi American Got Talent. Rupanya, selama di penjara Archie belajar menyanyi dan bermain tinju.
Jika pembentukan LSM seperti The Innocence Project di atas adalah usulan pertama, maka usulam kedua saya adalah di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dibentuk lembaga adhoc – yang bisa saja menjadi permanen— untuk melihat kembali berbagai kasus yang “mencurigakan” untuk dievaluasi dari awal. Tim Independen ini bisa membuka kembali semua berkas dari awal, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah jika ditemukan hal-hal yang dianggap keliru atau tidak adil. Tujuan akhir dari proses ini adalah agar setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan perbuatannya. Keadilan yang subtantif. Jika ada putusan yang keliru atau rekayasa, maka putusan harus dikoreksi, direhabilitasi, atau korban dibebaskan.
Di Amerika Serikat, hal ini dilakukan dengan membentuk Conviction Review Units (CRU) di sebuah negara bagian yang mengevaluasi putusan-putusan di wilayahnya. Di Philadelphia, misalnya, ada CRU yang dapat memeriksa kembali putusan-putusan peradilan yang dianggap salah oleh pencari keadilan. Dengan syarat-syarat tertentu, misalnya, pemohon harus masih hidup dan ada bukti otentik, orang yang merasa menjadi korban bisa melaporkan kepada CRU untuk membuka serta meneliti kembali kasusnya.
Lalau apa bedanya kedua usulan saya itu dengan mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang sudah ada sekarang? Ada beberapa perbedaannya. PK dibatasi waktu atau jumlahnya dan “korban” harus aktif, yang antara lain terpaksa menyewa pengacara dengan biaya mahal. Pemeriksa PK juga bisa jadi orang “itu-itu saja” yang bisa diragukan integritasnya. Sedangkan dua lembaga yang saya swebut di atas, “korban” cukup melapor dengan menyertakan kronologis disertai bukti baru (jika ada), dan selanjutnya kedua lembaga itu yang aktif dan gratis.
Hukum seharusnya memang bukanlah sesuatu yang abstrak. Hukum adalah sesuatu yang Anda dan saya ciptakan dan wujudkan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dan keadilan tidak datang dari langit. Keadilan terjadi ketika orang baik membuat hal itu terjadi. Hukum adalah keputusan. Hanya orang baik yang bisa membuat keputusan yang baik.
Tetapi, dalam hal putusan terhadap Jessica, perlu juga diketahui bahwa putusan itu kabarnya sudah diuji mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai Peninjauan Kembali (PK). Dan konon dalam empat sampai lima kali “pengujian” itu, tidak ada satu pun hakim yang menyatakan dissenting opinion alias pendapat yang berbeda. Semua hakim dalam setiap level meyakini bahwa Jessica adalah pelakunya. Sementara Jessica kabarnya tetap pada pendirian bahwa bukan dia pelakuknya. Itu sebabnya dia tidak mau meminta grasi kepada presiden, yang salah syaratnya adalah bahwa dia harus mengaku bersalah.
Demikian juga dengan kata pengacaranya, beberapa saksi ahli dari pihak Jessica, serta sebagian masyarakat kita. Mereka masih merasa ada yang “janggal” dalam keputusan terrhadap Jessica itu.
Apakah putusan itu benar-benar error in persona (salah orang) atau hanya ada beberapa prosedur yang kurang sempurna saja? Lalu, jika benar-benar bukan Jessica pelakunya, siapa dong? Hantu? Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa berharap bagaimana kasus ini bisa dibuat terang benderang sehingga tidak ada keraguan tengtang siapa sebenarnya pelakunya.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Andai saja di Indonesia ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti The Innocence Project (IP) seperti di Amerika Serikat, mungkin lembaga itu bisa menjadi tempat Jessica Wongso untuk mengadukan nasibnya. Dia yang saat ini dijatuhi vonis hukuman penjara selama 20 tahun, kabarnya tetap merasa dizalimi. Sebab dia – begitu juga kata pengacaranya--- merasa bukan pelakunya.
Kasus yang terjadi pada 2016 itu kembali menjadi pembicaraan hangat di Indonesia karena saat ini sedang ditayangkan film dokumentar tentang kasus matinya Wayan Mirna Salihin di sebuah kafe di Jakarta. Jessica didakwa memasukkan sianida ke dalam gelas milik Mirna.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh IP jika dia ada di Indonesia? Salah satu kegiatan IP ini adalah membantu mereka yang diperlakukan tidak adil oleh hukum atau mendapat putusan pengadilan yang dianggap keliru.
IP berbeda dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang selama ini kita kenal. Jika LBH lebih banyak membantu atau mendampingi orang tidak mampu dalam menjalani proes peradilan, IP membantu orang sesudah putusan dijatuhkan oleh pengadilan. Langkah IP juga berbeda. Ia tidak sekadar melakukan tindakan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). IP biasanya menempuh berbagai cara, termasyuk tes DNA, lobby, dan membongkar kembali semua dokumen kasus yang diperlukan untuk dikaji ulang.
Maka, orang seperti Jessica Wongso atau siapa saja yang merasa dizalimi atau diputus secara salah oleh peradilan, bisa meminta bantuan kepada IP. Dan umumnya gratis. Para pengadu cukup memenuhi beberapa syarat agar kasusnya bisa ditangani oleh IP. Tentu beberapa syarat yang penting antara adalah pemohonnya masih hidup, bisa memberikan data atau keterangan yang benar. Dalam kasus pembunuhan, misalnya, dia bisa meyakinkan bahwa memang bukan dia pelakunya. Tetapi, jika memang dia pelakunya dan sekadar meminta IP dapat mengurangi hukumannya, rasanya akan sulit diterima.
Kasus-kasus “serupa tapi tak sama” mungkin saja kerap terjadi di Indonesia. Misalnya saja, kita ingat kasus “Sum Kuning” yang membuat geger Indonesia pada September 1970. Seorang gadis remaja diperkosa oleh beberapa pemuda gondrong dan cepak di dalam mobil lalu dibuang di pinggir jalan. Tapi dia malah dipersalahkan dan dituduh membuat berita bohong. Kemudian ada kasus “Sengkon dan Karta” (1974) di Bekasi yang tak kalah hebohnya. Kedua pria tersebut dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap suami istri di Desa Bojongsari, Bekasi. Sengkon dan Karta ditangkap polisi. Keduanya disiksa oleh penyidik. Karena tidak tahan dengan siksaan polisi, mereka menyerah dan menandatangani Berita Aacara Pemeriksaan (BAP). Bewberapa waktu kemudian, di penjara, mjereka malah bertemu dengan perazmpok dan pembunuh aslinya yang mengaku. Keduanya (Sengkon dan Karta) akhirnya dibebaskan.
IP didirikan pada 1992 oleh Peter Neufeld dan Barry Scheck di Sekolah Hukum Cardozo. Misi mereka adalah untuk membebaskan orang yang tak bersalah tapi tetap dipenjara, dan membawa reformasi sistem hukum yang lebih bertanggung jawab. Biasanya organisasi ini melakukannya melalui tes DNA.
Salah satu prestasi lembaga ini adalah dibebaskannya Archie Williams, 59 tahun, setelah 37 tahun ia dipenjara karena kejahatan yang tidak dia lakukan. Ceritanya, ketika seorang wanita kulit putih di Baton Rouge, Louisiana, diperkosa dan ditikam pada tahun 1982, dia berulang kali mengidentifikasi Archie Williams sebagai pemerkosanya. Williams, yang saat itu berusia 22 tahun, sebenarnya sedang tidur di rumah pada saat penyerangan terjadi, dan sidik jarinya tidak ditemukan di tempat kejadian. Tetapi, sebagai anak kulit hitam yang malang, dia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk melawan negara bagian Louisiana. Jadi, Archie dihukum pada tahun 1983 dan dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa hak pembebasan bersyarat.
Pada tahun 1995, 12 tahun menjalani hukuman penjara, Archie Williams menulis surat kepada pendiri Innocence Project, Barry Scheck, untuk meminta ,bantuan hukum. Sejak saat itu hingga 2019, Scheck dan tim pengacara, termasuk Direktur Litigasi Vanessa Potkin—yang ditugaskan menangani kasus ini ketika dia bergabung dengan organisasi tersebut pada tahun 2000—mencoba segala cara untuk membuktikan bahwa Williams tidak bersalah. The Innocence Project New Orleans kemudian bergabung dengan tim hukum dalam kasus ini. Selama 20 tahun negara memblokir akses ke barang bukti yang bisa menunjukkan bahwa Archie Williams tidak bersalah.
Akhirnya, pada 21 Maret 2019, Komisaris Kinasiyumki Kimble dari Pengadilan Distrik Louisiana membuat keputusan setelah bukti sidik jari baru, yang mengecualikan Williams, dicocokkan melalui database sidik jari nasional milik Stephen Forbes, seorang pria yang juga telah melakukan serangkaian serangan seksual. Singkatnya, Archie Williams kemudian dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Negara Bagian Louisiana setelah menjalani 36 tahun.
Anda bisa menyaksikan sendiri kisah Archie Williams ini dalam kompetisi American Got Talent. Rupanya, selama di penjara Archie belajar menyanyi dan bermain tinju.
Jika pembentukan LSM seperti The Innocence Project di atas adalah usulan pertama, maka usulam kedua saya adalah di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dibentuk lembaga adhoc – yang bisa saja menjadi permanen— untuk melihat kembali berbagai kasus yang “mencurigakan” untuk dievaluasi dari awal. Tim Independen ini bisa membuka kembali semua berkas dari awal, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah jika ditemukan hal-hal yang dianggap keliru atau tidak adil. Tujuan akhir dari proses ini adalah agar setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan perbuatannya. Keadilan yang subtantif. Jika ada putusan yang keliru atau rekayasa, maka putusan harus dikoreksi, direhabilitasi, atau korban dibebaskan.
Di Amerika Serikat, hal ini dilakukan dengan membentuk Conviction Review Units (CRU) di sebuah negara bagian yang mengevaluasi putusan-putusan di wilayahnya. Di Philadelphia, misalnya, ada CRU yang dapat memeriksa kembali putusan-putusan peradilan yang dianggap salah oleh pencari keadilan. Dengan syarat-syarat tertentu, misalnya, pemohon harus masih hidup dan ada bukti otentik, orang yang merasa menjadi korban bisa melaporkan kepada CRU untuk membuka serta meneliti kembali kasusnya.
Lalau apa bedanya kedua usulan saya itu dengan mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang sudah ada sekarang? Ada beberapa perbedaannya. PK dibatasi waktu atau jumlahnya dan “korban” harus aktif, yang antara lain terpaksa menyewa pengacara dengan biaya mahal. Pemeriksa PK juga bisa jadi orang “itu-itu saja” yang bisa diragukan integritasnya. Sedangkan dua lembaga yang saya swebut di atas, “korban” cukup melapor dengan menyertakan kronologis disertai bukti baru (jika ada), dan selanjutnya kedua lembaga itu yang aktif dan gratis.
Hukum seharusnya memang bukanlah sesuatu yang abstrak. Hukum adalah sesuatu yang Anda dan saya ciptakan dan wujudkan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dan keadilan tidak datang dari langit. Keadilan terjadi ketika orang baik membuat hal itu terjadi. Hukum adalah keputusan. Hanya orang baik yang bisa membuat keputusan yang baik.
Tetapi, dalam hal putusan terhadap Jessica, perlu juga diketahui bahwa putusan itu kabarnya sudah diuji mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai Peninjauan Kembali (PK). Dan konon dalam empat sampai lima kali “pengujian” itu, tidak ada satu pun hakim yang menyatakan dissenting opinion alias pendapat yang berbeda. Semua hakim dalam setiap level meyakini bahwa Jessica adalah pelakunya. Sementara Jessica kabarnya tetap pada pendirian bahwa bukan dia pelakuknya. Itu sebabnya dia tidak mau meminta grasi kepada presiden, yang salah syaratnya adalah bahwa dia harus mengaku bersalah.
Demikian juga dengan kata pengacaranya, beberapa saksi ahli dari pihak Jessica, serta sebagian masyarakat kita. Mereka masih merasa ada yang “janggal” dalam keputusan terrhadap Jessica itu.
Apakah putusan itu benar-benar error in persona (salah orang) atau hanya ada beberapa prosedur yang kurang sempurna saja? Lalu, jika benar-benar bukan Jessica pelakunya, siapa dong? Hantu? Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa berharap bagaimana kasus ini bisa dibuat terang benderang sehingga tidak ada keraguan tengtang siapa sebenarnya pelakunya.
(wur)