Episentrum Krisis Ekonomi
Kamis, 30 April 2020 - 06:41 WIB
Mengacu pada komposisi angkatan kerja berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi jenis usaha terdapat 56% angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, sedangkan dari durasi jam kerja terdapat seperempat angkatan kerja Indonesia kerja paruh waktu atau setengah menganggur. Sedangakan krisis yang simultan ini berpotensi menambah jumlah pengangguran terbuka sebanyak 3,5-8,5 juta orang di sepanjang tahun 2020. Ini artinya tingkat pengangguran berpotensi naik dari kisaran 5,2-5,3% saat ini menjadi 7,7% (moderat) sampai 10,3% (berat).
Sektor yang terdampak langsung krisis 2020 ini meliputi jasa, pariwisata, perhotelan, transportasi, Terjadinya demand shock akibat terhentinya arus turis terlihat di sektor pariwisata, hotel dan transportasi di sentra-sentra turisme Indonesia seperti Bali dan Yogya. Penurunan tajam dalam mobilitas penduduk sebagai konsekuensi dari pembatasan sosial, telah menyebabkan kontraksi di beberapa sektor, misalnya konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, transportasi, dan jasa hiburan. Diperkirakan indikasi bahwa turunya aktivitas di berbagai sektor ekonomi cukup tajam, bervariasi antara 35-55%.
Kebijakan Fiskal
Defisist APBN untuk tahun 2020 ditargetkan melebar dari 1,8% menjadi 5,1% dari PDB. Angka defisit tersebut didasarkan pada asumsi penerimaan mencapai Rp1.761 triliun 21% lebih rendah dibanding target sebelumnya. Asumsi belanja sebesar Rp2.614 triliun atau 3% lebih tinggi dari sebelumnya. Tambahan Anggaran Belanja Pemerintah tahun 2020 meliputi kesehatan penanganan COVID19 dan subsidi BPJS sebesar Rp75 triliun. Jaring Pengaman Sosial Rp110 triliun. Dukungan terhadap industry berupa pajak impor dan lain senilai Rp70 triliun. Pendanaan Program Penyehatan Ekonomi Nasional sebesar Rp150 triliun. Total tambahan Rp405.1 triliun.
Pembiayaan defisit sebesar ini direncankan berasal dari beberapa sumber sisa lebih anggaran tahun-tahun sebelumnya. Endowment fund yang dikeleola Kementerian Keuangan misalnya LPDP, dana yang dikelola Badan Layanan Umum, Penerbitan surat utang berdenominasi IDR dan valas, pinjaman luar negeri dari lembaga bilateral dan multilaterar, serta penerbitan surat utang baru yang diberi label “Pandemi Bond”.
Dalam prakteknya, tidaklah mudah untuk merealisasi target defisit sebesar 5,1%. Kendala akan bersumber pada beberapa factor. Pertama, target penerimaan kemungkinan besar akan meleset. Turun tajamnya level keseimbangan supplay-demand memberikan indikasi bahwa realisasi penerimaan pajak di 2020 akan mirip dengan kondisi di tahun 2018 atau tahun 2019. Lebih mudah membayangkan turunnya prospek penerimaan PPh dan PPN sebagai konsekuensi dari turunya aktivitas ekonomi.
Berbagai macam tax-break serta penurunan tarif pajak badan dari 25% ke 22% akan menggerus penerimaan pajak secara cukup signifikan. Jatuhnya harga minyak juga akan mengurangi penerimaan non pajak. Rata-rata harga Brent di tahun 2020 diperkirakan turun ke angka USD 40 per barel versus rata-rata harga Brent USD 65 per barel di tahun 2019. Sementara rata-rata kurs Rupiah ke Dollar berada di 15.625 di tahun 2020. Yang artinya rata rata depresiasi sebesar 10% dibanding tahun 2019. Turunya harga minyak sebanyak hampir 40% tidak ter-offset oleh naiknya penerimaan rupiah akibat depresiasi IDR.
Indonesia Memasuki Resesi
Episentrum krisis yang tersebar di semua belahan dunia menyebabkan investor obligasi di banyak negara akan lebih mengarahkan amunisi mereka untuk membantu pembiayaan fiskal di negara masing-masing. Bank Indonesia memberikan solusi moneter untuk membantu pembiayaan fiskal yaitu lewat peningkatan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan penurunan rasio GWM dengan proporsi yang sama.
Solusi moneter ini akan mendorong perbankan untuk mengalokasikan IDR 100 triliun untuk menyerap penerbitan obligasi pemerintah di pasar primer. Akibatnya, kebutuhan penerbitan kotor (gross insurance) obligasi pemerintah sebesar lebih kurang Rp. 900 triliun diharapkan mampu dijembatani lewat operasi perbankan. Dengan pertimbangan realisasi defisit APBN berada di kisaran 4,5% dari PDB alias lebih rendah 0,57% dibanding target.
Sektor yang terdampak langsung krisis 2020 ini meliputi jasa, pariwisata, perhotelan, transportasi, Terjadinya demand shock akibat terhentinya arus turis terlihat di sektor pariwisata, hotel dan transportasi di sentra-sentra turisme Indonesia seperti Bali dan Yogya. Penurunan tajam dalam mobilitas penduduk sebagai konsekuensi dari pembatasan sosial, telah menyebabkan kontraksi di beberapa sektor, misalnya konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, transportasi, dan jasa hiburan. Diperkirakan indikasi bahwa turunya aktivitas di berbagai sektor ekonomi cukup tajam, bervariasi antara 35-55%.
Kebijakan Fiskal
Defisist APBN untuk tahun 2020 ditargetkan melebar dari 1,8% menjadi 5,1% dari PDB. Angka defisit tersebut didasarkan pada asumsi penerimaan mencapai Rp1.761 triliun 21% lebih rendah dibanding target sebelumnya. Asumsi belanja sebesar Rp2.614 triliun atau 3% lebih tinggi dari sebelumnya. Tambahan Anggaran Belanja Pemerintah tahun 2020 meliputi kesehatan penanganan COVID19 dan subsidi BPJS sebesar Rp75 triliun. Jaring Pengaman Sosial Rp110 triliun. Dukungan terhadap industry berupa pajak impor dan lain senilai Rp70 triliun. Pendanaan Program Penyehatan Ekonomi Nasional sebesar Rp150 triliun. Total tambahan Rp405.1 triliun.
Pembiayaan defisit sebesar ini direncankan berasal dari beberapa sumber sisa lebih anggaran tahun-tahun sebelumnya. Endowment fund yang dikeleola Kementerian Keuangan misalnya LPDP, dana yang dikelola Badan Layanan Umum, Penerbitan surat utang berdenominasi IDR dan valas, pinjaman luar negeri dari lembaga bilateral dan multilaterar, serta penerbitan surat utang baru yang diberi label “Pandemi Bond”.
Dalam prakteknya, tidaklah mudah untuk merealisasi target defisit sebesar 5,1%. Kendala akan bersumber pada beberapa factor. Pertama, target penerimaan kemungkinan besar akan meleset. Turun tajamnya level keseimbangan supplay-demand memberikan indikasi bahwa realisasi penerimaan pajak di 2020 akan mirip dengan kondisi di tahun 2018 atau tahun 2019. Lebih mudah membayangkan turunnya prospek penerimaan PPh dan PPN sebagai konsekuensi dari turunya aktivitas ekonomi.
Berbagai macam tax-break serta penurunan tarif pajak badan dari 25% ke 22% akan menggerus penerimaan pajak secara cukup signifikan. Jatuhnya harga minyak juga akan mengurangi penerimaan non pajak. Rata-rata harga Brent di tahun 2020 diperkirakan turun ke angka USD 40 per barel versus rata-rata harga Brent USD 65 per barel di tahun 2019. Sementara rata-rata kurs Rupiah ke Dollar berada di 15.625 di tahun 2020. Yang artinya rata rata depresiasi sebesar 10% dibanding tahun 2019. Turunya harga minyak sebanyak hampir 40% tidak ter-offset oleh naiknya penerimaan rupiah akibat depresiasi IDR.
Indonesia Memasuki Resesi
Episentrum krisis yang tersebar di semua belahan dunia menyebabkan investor obligasi di banyak negara akan lebih mengarahkan amunisi mereka untuk membantu pembiayaan fiskal di negara masing-masing. Bank Indonesia memberikan solusi moneter untuk membantu pembiayaan fiskal yaitu lewat peningkatan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan penurunan rasio GWM dengan proporsi yang sama.
Solusi moneter ini akan mendorong perbankan untuk mengalokasikan IDR 100 triliun untuk menyerap penerbitan obligasi pemerintah di pasar primer. Akibatnya, kebutuhan penerbitan kotor (gross insurance) obligasi pemerintah sebesar lebih kurang Rp. 900 triliun diharapkan mampu dijembatani lewat operasi perbankan. Dengan pertimbangan realisasi defisit APBN berada di kisaran 4,5% dari PDB alias lebih rendah 0,57% dibanding target.
Lihat Juga :
tulis komentar anda