RUU Cipta Kerja dan Tindakan Semena-Mena Terhadap Tiga Aktivis Kaltim

Senin, 03 Agustus 2020 - 06:30 WIB
Walhi Klatim pun menyimpulkan penjemputan paksa ini sebagai cara kotor persekongkolan antara pemerintah dan aparat keamanan mulai dari intelejen/reskrim/polisi yang dengan berbagai cara menggunakan manipulasi penyamaran melalui satgas covid-19 guna melemahkan, membuyarkan konsentrasi konsolidasi gerakan sipil dan mahasiswa sekaligus untuk membungkam gerakan pro demokrasi yang sedang menguat saat ini untuk menghadang omnibus law cipta kerja.

Jika RUU disahkan, mereka berpendapat, hanya akan menyesengsarakan rakyat dan melipatgandakan kerusakan lingkungan hidup, membungkam penolakan terhadap uu pertambangan minerba hingga gangguan atas penegakan demokrasi indonesia yang saat ini dijerat oleh oligarki politik.

Karantina paksa terhadap ketiga aktivis tentu bertentangan dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Jubir penanganan covid-19 Achmad Yurianto saat jumpa pers di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (18/7/2020) silam mengatakan orang sifatnya berstatus positif tanpa gejala pun tidak perlu dirawat di rumah sakit.

"Konfirmasi positif tanpa gejala kita tidak akan dirawat di rumah sakit karena memang tidak ada gejala dan tidak ada indikasi untuk dirawat di rumah sakit. Beberapa daerah sudah membuat isolasi secara kelompok dengan pengawasan yang ketat karena dikhawatirkan ini menjadi sumber penularan di tengah-tengah masyarakat. Namun di beberapa daerah ada yang masih memberi kebebasan untuk melaksanakan isolasi secara mandiri," katanya.

Terkait aktivitas advokasi?

Komnas HAM berjanji segera menindaklanjuti kasus ini. Kepada SINDOnews, Komisioner bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, menyatakan ada beberapa persoalan serius dalam kasus ini. Pertama, ada indikasi kuat terdapat pelanggaran protokol kesehatan. Kedua, terdapat indikasi pemaksaan proses walau hasil tes swab, baik yang positif dan negatif tidak diperoleh Walhi dan Pokja 30. Dan ketiga, proses tersebut diindikasikan kuat tanpa tujuan untuk kesehatan.

Sebab itu, Komnas menduga proses yang dilakukan, antara lain, pemilihan random sampling, penjemputan dan hasil swab positif atau negatif yang belum ada, bahkan setelah sampai di rumah sakit, adalah model penjemputan paksa.

Mengacu pada latar belakang Walhi dan pokja 30 sebagai NGO yang selama ini bekerja kritis dan konstruktif dalam Gerakan HAM, khususnya di wilayah Kaltim,”Komnas HAM curiga penjemputan itu terkait aktivitas advokasi yang mereka lakukan,” kata Choirul.

Lebih lanjut ia menyampaikan pihaknya akkan mendalami, memantau dan melakukan penyelidikan. Dan jika ditemukan bukti-bukti adabya penyalahgunaan kewenangan dengan menggunakan instrumen penanganan Covid-19,”Kami akan teruskan kepada mekanisme penegakan hukum dan Gugus Tugas Covid-19 Nasional untuk mengambil tindakan tegas.”
(rza)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More