RUU Cipta Kerja dan Tindakan Semena-Mena Terhadap Tiga Aktivis Kaltim

Senin, 03 Agustus 2020 - 06:30 WIB
Begitu pula pada saat melakukan penyemprotan desinfektan dan puncaknya ketika melakukan penjemputan secara paksa tidak dilengkapi dengan APD lengkap berdasarkan standar protokol penanganan suspek covid-19.

Tak hanya itu. Seluruh petugas yang beroperasi pada tanggal 29-31 Juli 2020 menolak menunjukkan identitas pribadi, jabatan, serta instansi asal mereka. Mereka juga tidak bersedia didokumentasikan dengan alasan tidak mengenakan APD lengkap.

Sebenarnya sebelum memasuki ruang isolasi di RSUD I.A. Moeis Samarinda pasca penjemputan secara paksa ke ruang isolasi itu, ketiga aktivis meminta ditempatkan di ruang perawatan terpisah dari pasien Covid-19 lainnya dan bersedia membayar biaya perawatan secara mandiri serta menolak biaya perawatan yang berasal dari Pemerintah.

Bersamaan dengan itu mereka juga meminta hasil swab test yang dijanjikan akan diberikan sesampainya di RSUD. I.A.Moeis. Namun pihak rumah sakit menyatakan tidak mengetahui mengenai hasil swab test tersebut.

Apa boleh buat, pihak BPBD serta satpol PP yang melakukan penjemputan berlalu begitu saja sehingga membiarkan tiga orang tersebut terbengkalai luntang-lantung di halaman parkir rumah sakit.

Walhi Kaltim menilai upaya-upaya ini mendekati suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai operasi hitam aparatur keamanan dan intelijen dengan cara menunggangi dan memanfaatkan pemeriksaan kesehatan melalui swab test covid-19 untuk merampas data-data pribadi maupun kelompok secara melanggar hukum terhadap para aktivis pejuang ham dan lingkungan hidup. “Apakah memang ada kerjasama kementerian Kesehatan/Satgas Covid-19 dengan Intelejen/reskrim/polisi untuk melakukan pelecehan terhadap hak-hak warga negara dan rakyat sipil seperti yang terjadi saat ini, pada rabu 29-30 Juli 2020 ?” tulis Walhi Kaltim dalam keterangan persnya.

Walhi Klatim pun menyimpulkan penjemputan paksa ini sebagai cara kotor persekongkolan antara pemerintah dan aparat keamanan mulai dari intelejen/reskrim/polisi yang dengan berbagai cara menggunakan manipulasi penyamaran melalui satgas covid-19 guna melemahkan, membuyarkan konsentrasi konsolidasi gerakan sipil dan mahasiswa sekaligus untuk membungkam gerakan pro demokrasi yang sedang menguat saat ini untuk menghadang omnibus law cipta kerja.

Jika RUU disahkan, mereka berpendapat, hanya akan menyesengsarakan rakyat dan melipatgandakan kerusakan lingkungan hidup, membungkam penolakan terhadap uu pertambangan minerba hingga gangguan atas penegakan demokrasi indonesia yang saat ini dijerat oleh oligarki politik.

Karantina paksa terhadap ketiga aktivis tentu bertentangan dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Jubir penanganan covid-19 Achmad Yurianto saat jumpa pers di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (18/7/2020) silam mengatakan orang sifatnya berstatus positif tanpa gejala pun tidak perlu dirawat di rumah sakit.

"Konfirmasi positif tanpa gejala kita tidak akan dirawat di rumah sakit karena memang tidak ada gejala dan tidak ada indikasi untuk dirawat di rumah sakit. Beberapa daerah sudah membuat isolasi secara kelompok dengan pengawasan yang ketat karena dikhawatirkan ini menjadi sumber penularan di tengah-tengah masyarakat. Namun di beberapa daerah ada yang masih memberi kebebasan untuk melaksanakan isolasi secara mandiri," katanya.

Terkait aktivitas advokasi?

Komnas HAM berjanji segera menindaklanjuti kasus ini. Kepada SINDOnews, Komisioner bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, menyatakan ada beberapa persoalan serius dalam kasus ini. Pertama, ada indikasi kuat terdapat pelanggaran protokol kesehatan. Kedua, terdapat indikasi pemaksaan proses walau hasil tes swab, baik yang positif dan negatif tidak diperoleh Walhi dan Pokja 30. Dan ketiga, proses tersebut diindikasikan kuat tanpa tujuan untuk kesehatan.

Sebab itu, Komnas menduga proses yang dilakukan, antara lain, pemilihan random sampling, penjemputan dan hasil swab positif atau negatif yang belum ada, bahkan setelah sampai di rumah sakit, adalah model penjemputan paksa.

Mengacu pada latar belakang Walhi dan pokja 30 sebagai NGO yang selama ini bekerja kritis dan konstruktif dalam Gerakan HAM, khususnya di wilayah Kaltim,”Komnas HAM curiga penjemputan itu terkait aktivitas advokasi yang mereka lakukan,” kata Choirul.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More