Mengapa Batas Maksimal Usia Capres Penting Diberlakukan?
Rabu, 20 September 2023 - 11:48 WIB
Dalam sejumlah penelitian neuroscience, penurunan fungsi kognitif pada lansia dapat meliputi berbagai aspek yaitu orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, memori dan juga kecepatan berpikir. Bukan sekadar penurunan kognitif, lanjut usia juga rentan terhadap penyakit kronis.
Menurut survei Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), sebanyak 24,6% penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia memiliki riwayat penyakit kronis. Dari kelompok lansia dengan riwayat tersebut, mayoritasnya atau 37,8% memiliki penyakit hipertensi. Kemudian 22,9% memiliki penyakit diabetes, 11,9% penyakit rematik, dan 11,4% penyakit jantung.
Melihat masalah ini dari segi objektif-ilmiah, baik dari segi medis maupun neuroscience maka batas usia pejabat terkemuka yang memiliki kewenangan yang luas layaknya Presiden bukan semata-mata untuk menjegal secara politik atau membatasi hak warga negara. Melainkan diberlakukan untuk melindungi kebaikan bersama (common good).
Karena soal Presiden bukan soal diri seseorang semata namun soal jutaan nasib warga negara yang di bawah kepemimpinnnya. Maka rakyat harus memperoleh pemimpin se-ideal-idealnya, pemimpin sebaik-baiknya untuk mereka.
Bahaya Gerontokrasi dan Pentingnya Batas Maksimal Usia Capres
Bukan hanya dari segi medis dan neuroscience. Namun dari sisi ilmu politik, batas maksimal usia pejabat tinggi negara layaknya Presiden penting diberlakukan untuk menghindari adanya gerontokrasi yaitu keadaan politik dan pemerintahan di mana yang berkuasa adalah mereka orang-orang yang secara signifikan lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa.
Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang kian didominasi politisi tua dengan perilaku politik patronizing. Penggunaan istilah gerontokrasi secara saintifik mengacu kepada bentuk organisasi politik primitif—yaitu dikuasai orang-orang tua—yang terus berlanjut sampai hari ini di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia.
Gerontokrasi sangat berdampak negatif terutama terhalangnya mobilitas vertikal politik bagi politisi generasi yang lebih muda. Mereka yang berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam dunia politik tidak dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni orang-orang tua pemegang gerontokrasi. Dan ini sangat berbahaya bagi demokrasi kita. Gerontokrasi biasanya banyak terjadi di negara-negara otorianisme.
Majalah The Economist dalam risetnya menyebutkan salah satu penyebab Arab Spring adalah perbedaan umur rata-rata (median age) di antara penduduk dengan penguasa dan politisi. Negara-negara otokrasi Arab dan di mana pun memperlihatkan kesenjangan antargenerasi. Mereka para pemimpin otokrasi tua di dunia Arab tak mampu lagi membaca kebutuhan zaman dan masa depan bangsanya.
Regenerasi politik adalah pembuluh darah demokrasi. Ia mengalirkan nutrisi ke dalam tubuh politik. Karena itu, bila ia tersumbat, maka tubuh politik jatuh sakit.
Menurut survei Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), sebanyak 24,6% penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia memiliki riwayat penyakit kronis. Dari kelompok lansia dengan riwayat tersebut, mayoritasnya atau 37,8% memiliki penyakit hipertensi. Kemudian 22,9% memiliki penyakit diabetes, 11,9% penyakit rematik, dan 11,4% penyakit jantung.
Melihat masalah ini dari segi objektif-ilmiah, baik dari segi medis maupun neuroscience maka batas usia pejabat terkemuka yang memiliki kewenangan yang luas layaknya Presiden bukan semata-mata untuk menjegal secara politik atau membatasi hak warga negara. Melainkan diberlakukan untuk melindungi kebaikan bersama (common good).
Karena soal Presiden bukan soal diri seseorang semata namun soal jutaan nasib warga negara yang di bawah kepemimpinnnya. Maka rakyat harus memperoleh pemimpin se-ideal-idealnya, pemimpin sebaik-baiknya untuk mereka.
Bahaya Gerontokrasi dan Pentingnya Batas Maksimal Usia Capres
Bukan hanya dari segi medis dan neuroscience. Namun dari sisi ilmu politik, batas maksimal usia pejabat tinggi negara layaknya Presiden penting diberlakukan untuk menghindari adanya gerontokrasi yaitu keadaan politik dan pemerintahan di mana yang berkuasa adalah mereka orang-orang yang secara signifikan lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa.
Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang kian didominasi politisi tua dengan perilaku politik patronizing. Penggunaan istilah gerontokrasi secara saintifik mengacu kepada bentuk organisasi politik primitif—yaitu dikuasai orang-orang tua—yang terus berlanjut sampai hari ini di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia.
Gerontokrasi sangat berdampak negatif terutama terhalangnya mobilitas vertikal politik bagi politisi generasi yang lebih muda. Mereka yang berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam dunia politik tidak dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni orang-orang tua pemegang gerontokrasi. Dan ini sangat berbahaya bagi demokrasi kita. Gerontokrasi biasanya banyak terjadi di negara-negara otorianisme.
Majalah The Economist dalam risetnya menyebutkan salah satu penyebab Arab Spring adalah perbedaan umur rata-rata (median age) di antara penduduk dengan penguasa dan politisi. Negara-negara otokrasi Arab dan di mana pun memperlihatkan kesenjangan antargenerasi. Mereka para pemimpin otokrasi tua di dunia Arab tak mampu lagi membaca kebutuhan zaman dan masa depan bangsanya.
Regenerasi politik adalah pembuluh darah demokrasi. Ia mengalirkan nutrisi ke dalam tubuh politik. Karena itu, bila ia tersumbat, maka tubuh politik jatuh sakit.
Lihat Juga :
tulis komentar anda