Mengapa Batas Maksimal Usia Capres Penting Diberlakukan?
loading...
A
A
A
Arjuna Putra Aldino
Ketua Umum DPP GMNI
ALKISAH di sebuah agenda upacara wisuda siswa Angkatan Udara Amerika Serikat di Colorado, sebuah acara yang biasanya berjalan khidmat lantaran menyambut kelulusan sejumlah generasi muda yang berprestasi yang siap menjaga kedaulatan dan kedigdayaan Amerika Serikat sebagai penguasa superpower. Namun tiba-tiba acara tersebut sontak mengundang orang terkejut, terkaget-kaget.
Bermula dari sebuah insiden jatuhnya seorang pria tua yang tersungkur akibat tersandung karung pasir. Dia tersungkur di atas panggung, sebagian audiens sontak berdiri dengan muka terkejut dan sebagian berdiri dengan muka memelas.
Ketika terjatuh, dia menahan tubuhnya dengan tangan, kemudian bangkit dengan bantuan tiga orang. Setelah dibantu berdiri, dia lantas menunjuk sesuatu di belakangnya, tampaknya menunjuk sesuatu yang menyebabkannya tersandung.
Pria tua yang terjatuh itu adalah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Presiden dengan usia tertua dalam sejarah Amerika Serikat. Dia berusia 80 tahun.
Dan insiden Biden terjatuh bukan hanya sekali itu saja. Pada Juni 2022, presiden ke-47 AS itu diketahui jatuh dari sepeda. Lalu pada Mei 2022, dia tersandung dan nyaris jatuh saat menaiki anak tangga Air Force One.
Demikian pula pada Maret 2021, Biden jatuh saat menaiki anak tangga pesawat kepresidenan. Bahkan pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali. Ia tersandung tangga di Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai.
Di beberapa momen dia terlihat mengidap penyakit demensia alias linglung atau pikun. Dalam pidatonya Joe Biden tampak beberapa kali bicara gelagapan di atas podium.
Dia tampak bingung dan linglung dengan apa yang dia pidatokan sendiri. Hingga sebuah lembaga pemikir yang didanai Pentagon, RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian kebijakan global nirlaba memperingatkan bahwa demensia yang diderita Joe Biden dapat menimbulkan “risiko keamanan nasional”.
Peryataan RAND Corporation berangkat dari argumen bahwa Presiden adalah panglima tertinggi dan otoritas yang memegang kekuasaan paling luas dalam suatu negara. Dan apabila seorang Presiden berusia lanjut (lansia) diatas 70 tahun maka besar kemungkinan mengalami disorientasi, penurunan kognitif dan kehilangan ingatan. Hal ini menurut riset RAND Corporation berbahaya bagi keamanan nasional.
Faktor usia kepala negara tak boleh dianggap remeh. Rich Lowry, kolumnis untuk surat kabar New York Post, menjelaskan tidak sepantasnya kepala negara berusia terlalu tua yang rentan memiliki masalah kesehatan yang serius.
Dia mencontohkan senator Partai Republik, Mitch McConnell, yang berusia 81 tahun. McConnell sempat jatuh dan menderita gegar otak beserta keretakan tulang.
Rich Lowry berpendapat faktor usia kepala negara sangat memengaruhi kinerjanya mengambil keputusan yang sensitif maupun memimpin bangsa apalagi jika di masa krisis seperti saat ini dengan tantangan geopolitik global dan ekonomi yang serba penuh ketidakpastian.
Dan faktor usia kepala negara di Amerika Serikat mendapat tanggapan yang serius di masyarakat. Jajak pendapat terbaru yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan mayoritas warga Amerika Serikat tidak setuju negara mereka dipimpin presiden lanjut usia. Tercatat hanya 3% yang menginginkan seseorang berusia 70-an atau lebih untuk menjadi orang nomor satu di Gedung Putih.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research pada bulan Agustus 2023 juga menemukan sekitar 77% warga Amerika Serikat meyakini Presiden Joe Biden, dianggap sudah terlalu tua untuk menjalankan tugas-tugas kepresidenan jika terpilih lagi menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam dalam pemilu tahun depan.
Riset ini juga menemukan sekitar dua pertiga responden menyerukan agar ada batas usia untuk mereka yang ingin menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat dan anggota Kongres.
Alasan sejumlah responden dalam riset Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research tidak menyetujui kepala negara yang berusia lanjut karena politikus yang sudah lanjut usia punya dua sisi.
Pertama, mereka mewakili nilai-nilai, yaitu mereka mewakili nila-nilai dan pemikiran lama (konservatif) yang dalam banyak kasus sudah tak lagi relevan untuk menjawab tantangan dunia yang tengah berubah dan sangat berbeda dengan situasi zaman dimana mereka hidup. Kedua, pandangan mereka sudah tidak akurat lagi. Hal ini berkaitan secara medis usia lanjut banyak mengalami penurunan kognitif.
Dalam sejumlah penelitian neuroscience, penurunan fungsi kognitif pada lansia dapat meliputi berbagai aspek yaitu orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, memori dan juga kecepatan berpikir. Bukan sekadar penurunan kognitif, lanjut usia juga rentan terhadap penyakit kronis.
Menurut survei Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), sebanyak 24,6% penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia memiliki riwayat penyakit kronis. Dari kelompok lansia dengan riwayat tersebut, mayoritasnya atau 37,8% memiliki penyakit hipertensi. Kemudian 22,9% memiliki penyakit diabetes, 11,9% penyakit rematik, dan 11,4% penyakit jantung.
Melihat masalah ini dari segi objektif-ilmiah, baik dari segi medis maupun neuroscience maka batas usia pejabat terkemuka yang memiliki kewenangan yang luas layaknya Presiden bukan semata-mata untuk menjegal secara politik atau membatasi hak warga negara. Melainkan diberlakukan untuk melindungi kebaikan bersama (common good).
Karena soal Presiden bukan soal diri seseorang semata namun soal jutaan nasib warga negara yang di bawah kepemimpinnnya. Maka rakyat harus memperoleh pemimpin se-ideal-idealnya, pemimpin sebaik-baiknya untuk mereka.
Bahaya Gerontokrasi dan Pentingnya Batas Maksimal Usia Capres
Bukan hanya dari segi medis dan neuroscience. Namun dari sisi ilmu politik, batas maksimal usia pejabat tinggi negara layaknya Presiden penting diberlakukan untuk menghindari adanya gerontokrasi yaitu keadaan politik dan pemerintahan di mana yang berkuasa adalah mereka orang-orang yang secara signifikan lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa.
Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang kian didominasi politisi tua dengan perilaku politik patronizing. Penggunaan istilah gerontokrasi secara saintifik mengacu kepada bentuk organisasi politik primitif—yaitu dikuasai orang-orang tua—yang terus berlanjut sampai hari ini di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia.
Gerontokrasi sangat berdampak negatif terutama terhalangnya mobilitas vertikal politik bagi politisi generasi yang lebih muda. Mereka yang berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam dunia politik tidak dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni orang-orang tua pemegang gerontokrasi. Dan ini sangat berbahaya bagi demokrasi kita. Gerontokrasi biasanya banyak terjadi di negara-negara otorianisme.
Majalah The Economist dalam risetnya menyebutkan salah satu penyebab Arab Spring adalah perbedaan umur rata-rata (median age) di antara penduduk dengan penguasa dan politisi. Negara-negara otokrasi Arab dan di mana pun memperlihatkan kesenjangan antargenerasi. Mereka para pemimpin otokrasi tua di dunia Arab tak mampu lagi membaca kebutuhan zaman dan masa depan bangsanya.
Regenerasi politik adalah pembuluh darah demokrasi. Ia mengalirkan nutrisi ke dalam tubuh politik. Karena itu, bila ia tersumbat, maka tubuh politik jatuh sakit.
Demokrasi tidak akan tumbuh sempurna karena menolak regenerasi politik sehingga kemudian terjebak memuja gerontokrasi dan feodalisme politik. Karena itu, politik hari ini memerlukan regenerasi politik. Yaitu kapasitas untuk membaca masa depan dan mengkonsepsikannya sebagai jalan generasi.
Untuk itu, meningkatkan partipasi anak muda dan upaya regenerasi politik tak cukup hanya menghapus ambang batas usia minimal namun juga pemberlakuan ambang batas maksimal agar demokrasi tak dibajak oleh gerontokrasi. Tanpa ada batas maksimal hegemoni mereka yang lebih tua serta kesenjangan antar generasi akan terus terjadi.
Sebuah kemewahan yang dimiliki orang yang lebih tua adalah wisdom (kebijaksanaan), akan lebih baik mereka yang lebih tua bersikap bijaksana dengan memberikan tongkat estafet politik kepada mereka generasi yang lebih muda sebagai anak zamannya.
Ketua Umum DPP GMNI
ALKISAH di sebuah agenda upacara wisuda siswa Angkatan Udara Amerika Serikat di Colorado, sebuah acara yang biasanya berjalan khidmat lantaran menyambut kelulusan sejumlah generasi muda yang berprestasi yang siap menjaga kedaulatan dan kedigdayaan Amerika Serikat sebagai penguasa superpower. Namun tiba-tiba acara tersebut sontak mengundang orang terkejut, terkaget-kaget.
Bermula dari sebuah insiden jatuhnya seorang pria tua yang tersungkur akibat tersandung karung pasir. Dia tersungkur di atas panggung, sebagian audiens sontak berdiri dengan muka terkejut dan sebagian berdiri dengan muka memelas.
Ketika terjatuh, dia menahan tubuhnya dengan tangan, kemudian bangkit dengan bantuan tiga orang. Setelah dibantu berdiri, dia lantas menunjuk sesuatu di belakangnya, tampaknya menunjuk sesuatu yang menyebabkannya tersandung.
Pria tua yang terjatuh itu adalah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Presiden dengan usia tertua dalam sejarah Amerika Serikat. Dia berusia 80 tahun.
Dan insiden Biden terjatuh bukan hanya sekali itu saja. Pada Juni 2022, presiden ke-47 AS itu diketahui jatuh dari sepeda. Lalu pada Mei 2022, dia tersandung dan nyaris jatuh saat menaiki anak tangga Air Force One.
Demikian pula pada Maret 2021, Biden jatuh saat menaiki anak tangga pesawat kepresidenan. Bahkan pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali. Ia tersandung tangga di Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai.
Di beberapa momen dia terlihat mengidap penyakit demensia alias linglung atau pikun. Dalam pidatonya Joe Biden tampak beberapa kali bicara gelagapan di atas podium.
Dia tampak bingung dan linglung dengan apa yang dia pidatokan sendiri. Hingga sebuah lembaga pemikir yang didanai Pentagon, RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian kebijakan global nirlaba memperingatkan bahwa demensia yang diderita Joe Biden dapat menimbulkan “risiko keamanan nasional”.
Peryataan RAND Corporation berangkat dari argumen bahwa Presiden adalah panglima tertinggi dan otoritas yang memegang kekuasaan paling luas dalam suatu negara. Dan apabila seorang Presiden berusia lanjut (lansia) diatas 70 tahun maka besar kemungkinan mengalami disorientasi, penurunan kognitif dan kehilangan ingatan. Hal ini menurut riset RAND Corporation berbahaya bagi keamanan nasional.
Faktor usia kepala negara tak boleh dianggap remeh. Rich Lowry, kolumnis untuk surat kabar New York Post, menjelaskan tidak sepantasnya kepala negara berusia terlalu tua yang rentan memiliki masalah kesehatan yang serius.
Dia mencontohkan senator Partai Republik, Mitch McConnell, yang berusia 81 tahun. McConnell sempat jatuh dan menderita gegar otak beserta keretakan tulang.
Rich Lowry berpendapat faktor usia kepala negara sangat memengaruhi kinerjanya mengambil keputusan yang sensitif maupun memimpin bangsa apalagi jika di masa krisis seperti saat ini dengan tantangan geopolitik global dan ekonomi yang serba penuh ketidakpastian.
Dan faktor usia kepala negara di Amerika Serikat mendapat tanggapan yang serius di masyarakat. Jajak pendapat terbaru yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan mayoritas warga Amerika Serikat tidak setuju negara mereka dipimpin presiden lanjut usia. Tercatat hanya 3% yang menginginkan seseorang berusia 70-an atau lebih untuk menjadi orang nomor satu di Gedung Putih.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research pada bulan Agustus 2023 juga menemukan sekitar 77% warga Amerika Serikat meyakini Presiden Joe Biden, dianggap sudah terlalu tua untuk menjalankan tugas-tugas kepresidenan jika terpilih lagi menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam dalam pemilu tahun depan.
Riset ini juga menemukan sekitar dua pertiga responden menyerukan agar ada batas usia untuk mereka yang ingin menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat dan anggota Kongres.
Alasan sejumlah responden dalam riset Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research tidak menyetujui kepala negara yang berusia lanjut karena politikus yang sudah lanjut usia punya dua sisi.
Pertama, mereka mewakili nilai-nilai, yaitu mereka mewakili nila-nilai dan pemikiran lama (konservatif) yang dalam banyak kasus sudah tak lagi relevan untuk menjawab tantangan dunia yang tengah berubah dan sangat berbeda dengan situasi zaman dimana mereka hidup. Kedua, pandangan mereka sudah tidak akurat lagi. Hal ini berkaitan secara medis usia lanjut banyak mengalami penurunan kognitif.
Dalam sejumlah penelitian neuroscience, penurunan fungsi kognitif pada lansia dapat meliputi berbagai aspek yaitu orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, memori dan juga kecepatan berpikir. Bukan sekadar penurunan kognitif, lanjut usia juga rentan terhadap penyakit kronis.
Menurut survei Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), sebanyak 24,6% penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia memiliki riwayat penyakit kronis. Dari kelompok lansia dengan riwayat tersebut, mayoritasnya atau 37,8% memiliki penyakit hipertensi. Kemudian 22,9% memiliki penyakit diabetes, 11,9% penyakit rematik, dan 11,4% penyakit jantung.
Melihat masalah ini dari segi objektif-ilmiah, baik dari segi medis maupun neuroscience maka batas usia pejabat terkemuka yang memiliki kewenangan yang luas layaknya Presiden bukan semata-mata untuk menjegal secara politik atau membatasi hak warga negara. Melainkan diberlakukan untuk melindungi kebaikan bersama (common good).
Karena soal Presiden bukan soal diri seseorang semata namun soal jutaan nasib warga negara yang di bawah kepemimpinnnya. Maka rakyat harus memperoleh pemimpin se-ideal-idealnya, pemimpin sebaik-baiknya untuk mereka.
Bahaya Gerontokrasi dan Pentingnya Batas Maksimal Usia Capres
Bukan hanya dari segi medis dan neuroscience. Namun dari sisi ilmu politik, batas maksimal usia pejabat tinggi negara layaknya Presiden penting diberlakukan untuk menghindari adanya gerontokrasi yaitu keadaan politik dan pemerintahan di mana yang berkuasa adalah mereka orang-orang yang secara signifikan lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa.
Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang kian didominasi politisi tua dengan perilaku politik patronizing. Penggunaan istilah gerontokrasi secara saintifik mengacu kepada bentuk organisasi politik primitif—yaitu dikuasai orang-orang tua—yang terus berlanjut sampai hari ini di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia.
Gerontokrasi sangat berdampak negatif terutama terhalangnya mobilitas vertikal politik bagi politisi generasi yang lebih muda. Mereka yang berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam dunia politik tidak dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni orang-orang tua pemegang gerontokrasi. Dan ini sangat berbahaya bagi demokrasi kita. Gerontokrasi biasanya banyak terjadi di negara-negara otorianisme.
Majalah The Economist dalam risetnya menyebutkan salah satu penyebab Arab Spring adalah perbedaan umur rata-rata (median age) di antara penduduk dengan penguasa dan politisi. Negara-negara otokrasi Arab dan di mana pun memperlihatkan kesenjangan antargenerasi. Mereka para pemimpin otokrasi tua di dunia Arab tak mampu lagi membaca kebutuhan zaman dan masa depan bangsanya.
Regenerasi politik adalah pembuluh darah demokrasi. Ia mengalirkan nutrisi ke dalam tubuh politik. Karena itu, bila ia tersumbat, maka tubuh politik jatuh sakit.
Demokrasi tidak akan tumbuh sempurna karena menolak regenerasi politik sehingga kemudian terjebak memuja gerontokrasi dan feodalisme politik. Karena itu, politik hari ini memerlukan regenerasi politik. Yaitu kapasitas untuk membaca masa depan dan mengkonsepsikannya sebagai jalan generasi.
Untuk itu, meningkatkan partipasi anak muda dan upaya regenerasi politik tak cukup hanya menghapus ambang batas usia minimal namun juga pemberlakuan ambang batas maksimal agar demokrasi tak dibajak oleh gerontokrasi. Tanpa ada batas maksimal hegemoni mereka yang lebih tua serta kesenjangan antar generasi akan terus terjadi.
Sebuah kemewahan yang dimiliki orang yang lebih tua adalah wisdom (kebijaksanaan), akan lebih baik mereka yang lebih tua bersikap bijaksana dengan memberikan tongkat estafet politik kepada mereka generasi yang lebih muda sebagai anak zamannya.
(poe)