Stafsus Presiden Salah Gunakan Kekuasaan, Pakar Hukum: Itu Tindakan Koruptif
Selasa, 14 April 2020 - 16:20 WIB
JAKARTA - Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengkritik Staf Khusus (Stafsus) Presiden, Andi Taufan Garuda Putra yang menyurati seluruh camat untuk mendukung perusahaannya merupakan bentuk kepentingan pribadi. Ia menilai, surat kontoversial itu bentuk tindakan koruptif dan memiliki sanksi berat.
“Motifnya mencari keuntungan karena menyalahgunakan kekuasaan. Kalau dilakukan di tengah bencana, ancamannya bisa 20 tahun atau hukuman mati karena dianggap memanfaat keadaan mencari keuntungan di tengah penderitaan publik luas,” ujar Feri saat dihubungi SINDOnews, Selasa (14/4/2020).
Feri menjelaskan pengadaan barang dan jasa berskala besar harus melalui open tender, bukan penunjukan langsung. Kalau motifnya mencari keuntungan dengan menyalahgunakan kekuasaan, makanya tindakan itu dapat digolongkan kepada korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana korupsi.
Staf Khusus Presiden, lanjut Feri, bukanlah pihak yang berwenang menentukan pihak yang memberikan layanan jasa. Sebab, tidak mungkin pengadaan barang dan jasa dengan wilayah seluruh desa di Indonesia dengan melakukan penunjukan.
“Nuansa konflik kepentingan begitu tinggi karena staf tersebut adalah pendiri perusahaan yang dimaksud. Konflik kepentingan itu dilarang dilakukan penyelenggara negara dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme (KKN),” singgung dia.
Sebelumnya, Stafsus Presiden Andi Taufan Garuda Putra pada Selasa (14/4/2020) meminta maaf kepada publik atas tindakannya yang menyalahi prosedur. Pernyataan itu terkait surat bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 dengan kop surat Sekretariat Kabinet, yang meminta para camat di wilayah Jawa, Sulawesi dan Sumatera agar mau bekerja sama dengan PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) tertanggal 1 April 2020. Padahal, Andi diketahui masih aktif sebagai CEO Amarta.
“Surat dukungan itu murni berlandaskan kemanusiaan. Pembiayaannya pun diklaim dibebankan sepenuhnya kepada Amartha dan donasi masyarakat. Dukungan itu diberikan tanpa menggunakan APBN,” ujarnya mengklarifikasi.
“Motifnya mencari keuntungan karena menyalahgunakan kekuasaan. Kalau dilakukan di tengah bencana, ancamannya bisa 20 tahun atau hukuman mati karena dianggap memanfaat keadaan mencari keuntungan di tengah penderitaan publik luas,” ujar Feri saat dihubungi SINDOnews, Selasa (14/4/2020).
Feri menjelaskan pengadaan barang dan jasa berskala besar harus melalui open tender, bukan penunjukan langsung. Kalau motifnya mencari keuntungan dengan menyalahgunakan kekuasaan, makanya tindakan itu dapat digolongkan kepada korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana korupsi.
Staf Khusus Presiden, lanjut Feri, bukanlah pihak yang berwenang menentukan pihak yang memberikan layanan jasa. Sebab, tidak mungkin pengadaan barang dan jasa dengan wilayah seluruh desa di Indonesia dengan melakukan penunjukan.
“Nuansa konflik kepentingan begitu tinggi karena staf tersebut adalah pendiri perusahaan yang dimaksud. Konflik kepentingan itu dilarang dilakukan penyelenggara negara dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme (KKN),” singgung dia.
Sebelumnya, Stafsus Presiden Andi Taufan Garuda Putra pada Selasa (14/4/2020) meminta maaf kepada publik atas tindakannya yang menyalahi prosedur. Pernyataan itu terkait surat bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 dengan kop surat Sekretariat Kabinet, yang meminta para camat di wilayah Jawa, Sulawesi dan Sumatera agar mau bekerja sama dengan PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) tertanggal 1 April 2020. Padahal, Andi diketahui masih aktif sebagai CEO Amarta.
“Surat dukungan itu murni berlandaskan kemanusiaan. Pembiayaannya pun diklaim dibebankan sepenuhnya kepada Amartha dan donasi masyarakat. Dukungan itu diberikan tanpa menggunakan APBN,” ujarnya mengklarifikasi.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda