Nasionalisme Diaspora Indonesia
Jum'at, 28 Juli 2023 - 13:37 WIB
Dari semua itu, sebaran terbesar diaspora Indonesia berada di 10 negara. Malaysia menjadi yang terbanyak yakni 3,5 juta orang. Kemudian disusul Belanda (1,7 juta), Arab Saudi (1 juta), Taiwan (300.000), Singapura (198.444), Hongkong (168.214), Amerika Serikat (142.000), Uni Emirat Arab (111.987), Brunei Darussalam (80.000), dan Suriname (80.000). Data sudah termasuk diaspora keturunan Indonesia, TKI legal dan ilegal (Goodstats.id, 30/1/2023).
Menjadi diaspora merupakan pilihan personal yang dilatari oleh faktor yang kompleks. Dalam sejarah, preferensi menjadi diaspora datang dari persoalan ekonomi, politik, hingga kolonialisme yang tercatat pernah bercokol di negeri ini. Pada tahun 1890, semisal, pemerintah kolonial mendatangkan buruh-buruh dari pulau Jawa ke Suriname. Tak hanya alasan ekonomi yang melatari, melainkan diantaranya ada yang menjadi korban penculikan (Susanti, 2016: 108).
Ketika prahara politik berkobar di medio 1960-an, akibat faktor antagonisme ideologis, banyak orang-orang Indonesia yang tidak bisa kembali ke negara asalnya. Ini lantaran ada kecemasan akan kelangsungan hidup di tengah masifnya gerakan depolitisasi dan deideologisasi komunisme di bawah Orde Baru.
Meskipun dunia telah bertransformasi dengan berakhirnya perang dingin, yang kemudian diglorifikasi Francis Fukuyama sebagai kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme freemarket atas komunisme lewat tesis The End of History and the Last Man, tampaknya ada kecenderungan menguatnya motif ekonomi di balik preferensi menjadi diaspora, di samping motif pendidikan.
Berdasarkan data Dirjen Imigrasi Kemenkumham, tercatat bahwa di setiap tahunnya, tidak kurang 1.000 warga Indonesia memilih untuk pindah status kewarganegaraan. Fenomena ini tentu tidak bisa dilihat sebagai bentuk pudarnya nasionalisme, melainkan pilihan mereka dilatari berbagai rasionalisasi yang bukan berarti tidak cinta Bumi Pertiwi.
Di Singapura saja, beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan secara gradual. Tercatat sejak 2019 (940 orang), 2020 (811 orang), 2021 (1070 orang), 2022 (1091 orang), dan per Januari-Apri 2023 sudah terhitung 329 warga negara Indonesia pindah status kewarganegaraan Singapura. Secara umum mereka ini adalah warga negara yang berusia 25 sampai 35 tahun.
Trend perpindahan status kewarganegaraan mestinya dipandang sebagai bentuk otokritik terhadap tanggung jawab negara dalam menjamin dan memenuhi hak-hak setiap warga negara. Utamanya hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (standart of living and quality of life). Tanpa adanya jaminan akan masa depan warganya, maka fenomena yang demikian akan terus berlanjut.
Artinya munculnya trend perpindahan status kewarganegaraan ini bukan masalah nasionalisme, melainkan persoalan struktural yang menyebabkan munculnya ketidakpastian akan masa depan warga negara. Sehingga pilihan mencari sandaran di tempat lain menjadi konsekuensi, sebagaimana diaspora Indonesia di masa lampau memilih – atau dipaksa – pindah ke Suriname.
Faktanya, warga Indonesia yang telah berpindah kewarganegaraan masih tetap menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia. Hari-hari bersejarah bangsa ini turut dirayakan dalam suasana yang penuh penghayatan. Kredo bahwa nasionalisme sejati harus diwujudkan lewat kehadiran fisik di Indonesia merupakan cara pandang yang sepenuhnya benar.
Kendati menetap di negeri orang, namun semangat nasionalisme dari para diaspora Indonesia tidak lekang dalam ruang dan waktu. Kesadaran akan nasionalisme selalu dirawat dan dimanifestasi ke dalam, salah satunya hadirnya paguyuban-paguyuban kedaerahan, organisasi pelajar hingga kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan nasionalisme mesti beranjak menuju alam yang lebih kosmopolit.
Menjadi diaspora merupakan pilihan personal yang dilatari oleh faktor yang kompleks. Dalam sejarah, preferensi menjadi diaspora datang dari persoalan ekonomi, politik, hingga kolonialisme yang tercatat pernah bercokol di negeri ini. Pada tahun 1890, semisal, pemerintah kolonial mendatangkan buruh-buruh dari pulau Jawa ke Suriname. Tak hanya alasan ekonomi yang melatari, melainkan diantaranya ada yang menjadi korban penculikan (Susanti, 2016: 108).
Ketika prahara politik berkobar di medio 1960-an, akibat faktor antagonisme ideologis, banyak orang-orang Indonesia yang tidak bisa kembali ke negara asalnya. Ini lantaran ada kecemasan akan kelangsungan hidup di tengah masifnya gerakan depolitisasi dan deideologisasi komunisme di bawah Orde Baru.
Meskipun dunia telah bertransformasi dengan berakhirnya perang dingin, yang kemudian diglorifikasi Francis Fukuyama sebagai kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme freemarket atas komunisme lewat tesis The End of History and the Last Man, tampaknya ada kecenderungan menguatnya motif ekonomi di balik preferensi menjadi diaspora, di samping motif pendidikan.
Berdasarkan data Dirjen Imigrasi Kemenkumham, tercatat bahwa di setiap tahunnya, tidak kurang 1.000 warga Indonesia memilih untuk pindah status kewarganegaraan. Fenomena ini tentu tidak bisa dilihat sebagai bentuk pudarnya nasionalisme, melainkan pilihan mereka dilatari berbagai rasionalisasi yang bukan berarti tidak cinta Bumi Pertiwi.
Di Singapura saja, beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan secara gradual. Tercatat sejak 2019 (940 orang), 2020 (811 orang), 2021 (1070 orang), 2022 (1091 orang), dan per Januari-Apri 2023 sudah terhitung 329 warga negara Indonesia pindah status kewarganegaraan Singapura. Secara umum mereka ini adalah warga negara yang berusia 25 sampai 35 tahun.
Trend perpindahan status kewarganegaraan mestinya dipandang sebagai bentuk otokritik terhadap tanggung jawab negara dalam menjamin dan memenuhi hak-hak setiap warga negara. Utamanya hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (standart of living and quality of life). Tanpa adanya jaminan akan masa depan warganya, maka fenomena yang demikian akan terus berlanjut.
Artinya munculnya trend perpindahan status kewarganegaraan ini bukan masalah nasionalisme, melainkan persoalan struktural yang menyebabkan munculnya ketidakpastian akan masa depan warga negara. Sehingga pilihan mencari sandaran di tempat lain menjadi konsekuensi, sebagaimana diaspora Indonesia di masa lampau memilih – atau dipaksa – pindah ke Suriname.
Faktanya, warga Indonesia yang telah berpindah kewarganegaraan masih tetap menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia. Hari-hari bersejarah bangsa ini turut dirayakan dalam suasana yang penuh penghayatan. Kredo bahwa nasionalisme sejati harus diwujudkan lewat kehadiran fisik di Indonesia merupakan cara pandang yang sepenuhnya benar.
Kendati menetap di negeri orang, namun semangat nasionalisme dari para diaspora Indonesia tidak lekang dalam ruang dan waktu. Kesadaran akan nasionalisme selalu dirawat dan dimanifestasi ke dalam, salah satunya hadirnya paguyuban-paguyuban kedaerahan, organisasi pelajar hingga kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan nasionalisme mesti beranjak menuju alam yang lebih kosmopolit.
Lihat Juga :
tulis komentar anda