Akar Masalah Hukum di Indonesia

Jum'at, 21 Juli 2023 - 13:59 WIB
Sejak 1951 telah berlaku dua sistem hukum di Indonesia yaitu hukum tertulis dari Hindia Belanda dan hukum tidak tertulis/hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat adat. Namun demikian sejak pemberlakuan KUHP, tidak ada lagi penelitian mengenai hukum adat kecuali yang telah dilakukan Van Vollenhouven dengan karyanya, 19 wilayah hukum adat.

Ketidakseimbangan antara perkembangan hukum tertulis-legislasi dan hukum tidak tertulis selama hampir 75 tahun dan pengaruh kuat transplantasi hukim asing menyebabkan para ahli hukum tidak lagi tertarik untuk mengembangkan hukum adat. Bahkan hukum adat dalam kurikulum pendidikan hukum saat ini, mata kuliah hukum adat hanya diberikan dalam satu semester dengan 2 SKS saja.

Sedangkan untuk selebihnya, mata kuliah lain hasil transplantasi hukum asing (barat) diajarkan dalam lima semester. Kehilangan perhatian atas pengembangan hukum adat mengakibatkan pakar dan pendidik hukum juga generasi muda hukum, tidak lagi mengenal baik memahami perkembangan hukum adat termasuk peranannyadalam penyelesaian sengketa di masyarakat adat.

Mereka lebih nyaman menerapkan hukum tertulis (UU) yang berasal dari pemerintah dan DPR saja. Keadaan ini jelas telah menghapuskan secara diam-diam fungsi dan peranan hukum adat sebagai alternatif hukum dalam menghadapi setiap perselisihan ataupun dalam perkara pidana.

Yang terjadi adalah krisis (budaya) hukum adat Indonesia di tengah-tengah persaingan global saat ini. Masalah perselisihan dalam kontrak antarperusahaan dalam hal jual-beli dan sewa menyewa sejatinya dapat diselesaikan melalui alternatif dispute resolution yang memiliki karakter tidak beda dengan karakter hukum adat dalam menyelesaikan sengketa antaranggota masyarakat adat.

Di beberapa wilayah daerah adat tertentu antara lain di Kabupaten Sijunjung (Sumatera Barat), di Ambon dikenal dengan pela gendong sebagai sarana penyelesaian sengketa atau perkara pidana tanpa ada campur tangan pihak kepolisian atau kejaksaan. Bahkan hakim pengadilan negeri telah mengakui dan memberikan persetujuan atas cara penyelesaian secara adat.

Perkembangan baru dan telah terjadi perubahan mendasar dalam sistem hukum pidana nasional (akan) terjadi dengan pemberlakuan KUHP Nasional (UU No 1/2023) yang akan berlaku efektif 2026. KUHP baru (2023) selain menganut asas legalitas juga mengakui fungsi dan peranan hukum yang berkembang di dalam masyarakat, khusus hukum adat. Hakim juga diberi peran menggali dan menemukan nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat disamping sila Pancasila dan nilai pandangan masyarakat internasional.

Di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1), dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.

Merujuk ketentuan aquo, jelas dan pasti fungsi dan peranan hakim dalam UU No 1/2023 sangat menentukan dan bersifat strategis dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara. Selain hal tersebut, harus dipastikan untuk tujuan hukum bukan hanya kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan akan tetapi harus menciptakan kondisi sosial masyarakat menjadi lebih tenteram, adil, dan sejahtera.

Kemajuan lebih jauh yang berbeda dari asas legalitas terdapat pada Pasal 2 UU No 1/2023 yang menyatakan, bahwa (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwaseseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU ini.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More