Pancasila: Meneguhkan Nasionalisme Pemuda
Selasa, 23 Mei 2023 - 13:22 WIB
Jalan panjang melawan kolonialisme turut membentuk kesadaran sang proklamator dalam merumuskan suatu dasar negara yang diharapkan dapat menjadi dasar yang statis dan Leitstar dinamis (Yudi Latif, 2012). Dengan trayek pemikiran yang demikian, sesungguhnya dasar negara yang dirumuskan Soekarno adalah dasar negara yang dapat tumbuh relevan di setiap zaman. Faktanya rumusan lima sila Pancasila terbukti mampu menyelamatkan negeri ini dari antagonisme ideologi pada medio 90-an.
Kendati Presiden Soekarno tidak secara eksplisit menyebut Pancasila sebagai ideologi, melainkan Philosofische Grondslag dan Weltanschauung dalam pidato 1 Juni, namun contoh-contoh yang dikemukakan olehnya secara tersirat menunjukkan bahwa pengertian mengenai kata Weltanschauung dekat dengan makna ideologi. Menempatkan Pancasila sebagai ideologi tentu tidak lepas dari perpaduan akan tiga hal yang inheren dalam sebuah ideologi: keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Sehingga sebagai rumusan sintesis, Pancasila seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi, apalagi dipertanyakan kompatibilitasnya dengan agama (Islam). Memang perdebatan hubungan agama dan negara bukan sesuatu yang baru.
Debat ini pernah mengemuka di masa-masa perumusan dasar negara. Namun menghidupkan kembali perdebatan itu, yang sejatinya telah selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai titik temu, justru menunjukkan cara pandang yang kurang proporsional dalam melihat relasi keduanya.
Sebagaimana ditandaskan oleh Nurcholish Madjid (2018: 97), pada dasarnya, negara mempunyai dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama mempunyai dimensi lain dalam aspek spiritual dan individual. Ada keterkaitan erat antara cita-cita moral agama dalam kehidupan publik. Karenanya relasi dua entitas tersebut penting dipahami secara proporsional. Tanpa itu, relasi agama dan negaraakan memunculkan perdebatan yang cenderung menjauh dari substansi.
Aspek-aspek formal agama yang simbolis lebih ditekankan ketimbang substansi/esensi nilai dan ajaran dalam agama. Padahal yang diperlukan adalah substansi nilai, bukannya formal-simbolik. Kehidupan publik yang diwarnai dengan hal-hal yang bersifat simbolik justru kian mempertebal demarkasi atas dasar diferensiasi yang pada gilirannya akan menegasi titik-titik kesamaan. Mengenai persoalan ini, Nurcholish Madjid (2007: 202) lantas mengajukan solusi jalan tengah, dengan menyebut Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian di atas Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara teokrasi, melainkan religius nationstate, yakni negara kebangsaan yang berketuhanan dan negara beragama. Perspektif ini senafas dengan akar kesejarahan perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa yang peka akan realitas kemajemukan di bumi Pertiwi. Untuk itu, hubungan agama dan negara mesti diletakkan dalam konteks yang konstruktif: dasar pijak menuju cita-cita masyarakat adil makmur.
Agama dapat dijadikan sebagai kompas moral setiap insan negara, sedangkan Pancasila menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Manifestasinya di dalam kehidupan publik akan melahirkan sikap kebangsaan yang lapang dan toleran, bukan sebaliknya: perpecahan. Sebagai meetingpoint, bagaimana juga, Pancasila memiliki pengaruh dan relevansi karena tidak semata menjadi dasar negara, melainkan juga Pancasila tampil sebagai pandangan hidup dan pemersatu bangsa.
Merajut kesadaran akan kesamaan nasib sebagai satu bangsa, sebagaimana definisi nasionalisme Bung Karno, lebih penting daripada larut dalam perdebatan yang sejatinya telah selesai dalam sejarah bangsa ini. Nila-nilai nasionalisme, termasuk di dalamnya religiusitas, yang telah ditanamkan Bung Karno dan para pendiri bangsa perlu diangkat serta di-rekontekstualisasi-kan sebagai ikhtiar bersama dalam menyongsong Indonesia yang bermartabat di masa mendatang.
Episentrum Perubahan
Kendati Presiden Soekarno tidak secara eksplisit menyebut Pancasila sebagai ideologi, melainkan Philosofische Grondslag dan Weltanschauung dalam pidato 1 Juni, namun contoh-contoh yang dikemukakan olehnya secara tersirat menunjukkan bahwa pengertian mengenai kata Weltanschauung dekat dengan makna ideologi. Menempatkan Pancasila sebagai ideologi tentu tidak lepas dari perpaduan akan tiga hal yang inheren dalam sebuah ideologi: keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Sehingga sebagai rumusan sintesis, Pancasila seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi, apalagi dipertanyakan kompatibilitasnya dengan agama (Islam). Memang perdebatan hubungan agama dan negara bukan sesuatu yang baru.
Debat ini pernah mengemuka di masa-masa perumusan dasar negara. Namun menghidupkan kembali perdebatan itu, yang sejatinya telah selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai titik temu, justru menunjukkan cara pandang yang kurang proporsional dalam melihat relasi keduanya.
Sebagaimana ditandaskan oleh Nurcholish Madjid (2018: 97), pada dasarnya, negara mempunyai dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama mempunyai dimensi lain dalam aspek spiritual dan individual. Ada keterkaitan erat antara cita-cita moral agama dalam kehidupan publik. Karenanya relasi dua entitas tersebut penting dipahami secara proporsional. Tanpa itu, relasi agama dan negaraakan memunculkan perdebatan yang cenderung menjauh dari substansi.
Aspek-aspek formal agama yang simbolis lebih ditekankan ketimbang substansi/esensi nilai dan ajaran dalam agama. Padahal yang diperlukan adalah substansi nilai, bukannya formal-simbolik. Kehidupan publik yang diwarnai dengan hal-hal yang bersifat simbolik justru kian mempertebal demarkasi atas dasar diferensiasi yang pada gilirannya akan menegasi titik-titik kesamaan. Mengenai persoalan ini, Nurcholish Madjid (2007: 202) lantas mengajukan solusi jalan tengah, dengan menyebut Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian di atas Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara teokrasi, melainkan religius nationstate, yakni negara kebangsaan yang berketuhanan dan negara beragama. Perspektif ini senafas dengan akar kesejarahan perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa yang peka akan realitas kemajemukan di bumi Pertiwi. Untuk itu, hubungan agama dan negara mesti diletakkan dalam konteks yang konstruktif: dasar pijak menuju cita-cita masyarakat adil makmur.
Agama dapat dijadikan sebagai kompas moral setiap insan negara, sedangkan Pancasila menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Manifestasinya di dalam kehidupan publik akan melahirkan sikap kebangsaan yang lapang dan toleran, bukan sebaliknya: perpecahan. Sebagai meetingpoint, bagaimana juga, Pancasila memiliki pengaruh dan relevansi karena tidak semata menjadi dasar negara, melainkan juga Pancasila tampil sebagai pandangan hidup dan pemersatu bangsa.
Merajut kesadaran akan kesamaan nasib sebagai satu bangsa, sebagaimana definisi nasionalisme Bung Karno, lebih penting daripada larut dalam perdebatan yang sejatinya telah selesai dalam sejarah bangsa ini. Nila-nilai nasionalisme, termasuk di dalamnya religiusitas, yang telah ditanamkan Bung Karno dan para pendiri bangsa perlu diangkat serta di-rekontekstualisasi-kan sebagai ikhtiar bersama dalam menyongsong Indonesia yang bermartabat di masa mendatang.
Episentrum Perubahan
tulis komentar anda