Permohonan Kabur, MK Tolak Gugatan Istri Terdakwa Pembubaran NKRI
Kamis, 23 Juli 2020 - 01:27 WIB
"Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," tegas Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno yang terbuka untuk di Gedung MK, Jakarta, Rabu (22/7/2020).
Hakim konstitusi Suhartoyo membeberkan, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, ternyata pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan pemohon sebagai warga negara yang berpotensi akan mengalami kriminalisasi. Mahkamah tidak meyakini bahwa pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya dua pasal tersebut.
"Karena yang dijadikan bukti oleh Pemohon hanya KTP yang menunjukan bahwa Pemohon adalah berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau mengurus rumah tangga (vide bukti P1 KTP Pemohon)," ujar hakim konstitusi Suhartoyo.
Dia melanjutkan, Mahkamah tidak menemukan bukti lain yang menunjukkan bahwa pemohon adalah aktivis yang secara aktif melakukan berbagai kegiatan. Apalagi bukti lain yang diajukan oleh pemohon. Video bukti P2 hingga P110 sama sekali tidak dapat membuktikan aktivitas pemohon sebagai aktivis, sebagaimana yang dijelaskan pemohon dalam persidangan.
Terlebih lagi, tutur hakim konstitusi Suhartoyo, permohonan pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, pemohon juga tidak menguraikan mengenai adanya kausalitas (causal verband) antara kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon dengan inkonstitusionalitas norma.
"Akan tetapi Pemohon dalam permohonannya justru lebih banyak menguraikan argumentasi terkait dengan berita bohong dan aktivis yang sebenarnya hal tersebut merupakan bagian dari kasus konkret yang dialami oleh suami pemohon, yang juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam argumentasi pemohon baik dalam uraian kedudukan hukum ataupun posita," bebernya.
Selain itu, dia mengungkapkan, Mahkamah juga tidak dapat memahami alasan permohonan pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan 'secara bersyarat' dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Karena adanya ketidakjelasan itu, maka Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun pemohon memiliki kedudukan hukum, maka permohonan yang demikian adalah kabur.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut," tegas hakim konstitusi Suhartoyo.
Hakim konstitusi Suhartoyo membeberkan, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, ternyata pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan pemohon sebagai warga negara yang berpotensi akan mengalami kriminalisasi. Mahkamah tidak meyakini bahwa pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya dua pasal tersebut.
"Karena yang dijadikan bukti oleh Pemohon hanya KTP yang menunjukan bahwa Pemohon adalah berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau mengurus rumah tangga (vide bukti P1 KTP Pemohon)," ujar hakim konstitusi Suhartoyo.
Dia melanjutkan, Mahkamah tidak menemukan bukti lain yang menunjukkan bahwa pemohon adalah aktivis yang secara aktif melakukan berbagai kegiatan. Apalagi bukti lain yang diajukan oleh pemohon. Video bukti P2 hingga P110 sama sekali tidak dapat membuktikan aktivitas pemohon sebagai aktivis, sebagaimana yang dijelaskan pemohon dalam persidangan.
Terlebih lagi, tutur hakim konstitusi Suhartoyo, permohonan pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, pemohon juga tidak menguraikan mengenai adanya kausalitas (causal verband) antara kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon dengan inkonstitusionalitas norma.
"Akan tetapi Pemohon dalam permohonannya justru lebih banyak menguraikan argumentasi terkait dengan berita bohong dan aktivis yang sebenarnya hal tersebut merupakan bagian dari kasus konkret yang dialami oleh suami pemohon, yang juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam argumentasi pemohon baik dalam uraian kedudukan hukum ataupun posita," bebernya.
Selain itu, dia mengungkapkan, Mahkamah juga tidak dapat memahami alasan permohonan pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan 'secara bersyarat' dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Karena adanya ketidakjelasan itu, maka Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun pemohon memiliki kedudukan hukum, maka permohonan yang demikian adalah kabur.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut," tegas hakim konstitusi Suhartoyo.
(thm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda