Permohonan Kabur, MK Tolak Gugatan Istri Terdakwa Pembubaran NKRI

Kamis, 23 Juli 2020 - 01:27 WIB
loading...
Permohonan Kabur, MK...
MK menolak gugatan uji materiil Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dimohonkan Nelly Rosa Yulhiana. Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materiil Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dimohonkan Nelly Rosa Yulhiana.

Permohonan yang diajukan Nelly teregistrasi dengan nomor perkara: 33/PUU-XVIII/2020. Kuasa hukum Nelly adalah Tonin Tachta Singarimbun dkk.

Nelly merupakan istri dari terdakwa, dosen merangkap pendiri Negara Rakyat Nusantara (NRN) sekaligus aktivis Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) Yudi Syamhudi Suyuti. (Baca juga: Diduga Makar, Pendiri Negara Rakyat Nusantara Ditangkap)

Yudi masih menjalani persidangan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pada Senin (18/5/2020), Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mendakwa Yudi menyiarkan berita bohong (hoaks) dan/atau kabar tidak pasti yang dengan sengaja atau dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, saat menyampaikan pernyataan di Restoran Joglo Patheya pada 20 Oktober 2015 yang mana pernyataan Yudi dapat disaksikan di YouTube. JPU mendakwa Yudi dengan menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946.

Dalam permohonan Nelly Rosa Yulhiana menyatakan, hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya pasal a quo. Nelly menggunakan kasus konkrit yang dialami suaminya, Yudi Syamhudi Suyuti. Yudi, tutur Nelly, didakwa oleh JPU dengan pasal a quo, ditahan, dan ancaman hukuman pasal a quo yaknk penjara setinggi-tingginya dua dan tiga tahun tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946.

Akibat penahanan JPU terhadap Yudi dan pemberlakuan pasal a quo, Nelly merasa kegiatannya sebagai aktivis sangat terancam dan tidak terlidungi konstitusi. Padahal sebagai rakyat sekaligus aktivis, Nelly seharusnya tidak dibatasi dalam menyampaikan pendapat/hasil kajiannya karya ilmiahnya karena telah dijamin UUD 1945.

Menurut Nelly UUD 1945 telah menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan. Berikutnya Nelly sebagai pemohon menganggap dua pasal yang diujikan itu juga sudah tidak relevan. (Baca juga: Polisi Selidiki Video Viral Negara Rakyat Nusantara ).

Musababnya dua pasal tersebut merupakan pencabutan dan penambahan atas ketentuan dalam Pasal 171 KUHPidana Bab V mengenai ketertiban umum dalam buku II KUHP mengenai kejahatan. Sedangkan Pasal 171 KUHPidana adalah upaya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mempertahankan ketertiban umum dari berita yang dipandang bohong, termasuk juga berita yang dihembuskan oleh pihak yang menginginkan kemerdekaan. Sehingga menurut pemohon, perlu penyesuaian pada peraturan hukum pidana karena keadaan pada tahun 1946 sudah berbeda dengan tahun 2020.

Ketua MK Anwar Usman menyatakan, dari fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang ada maka MK menyimpulkan bahwa Nelly Rosa Yulhiana sebagai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Karenanya permohonan pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Hakim konstitusi Anwar membeberkan, berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang digelar MK pada Kamis (9/7/2020) dengan dihadiri sembilan hakim konstitusi, maka MK memutuskan permohonan Nelly tidak dapat diterima.

"Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," tegas Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno yang terbuka untuk di Gedung MK, Jakarta, Rabu (22/7/2020).

Hakim konstitusi Suhartoyo membeberkan, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, ternyata pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan pemohon sebagai warga negara yang berpotensi akan mengalami kriminalisasi. Mahkamah tidak meyakini bahwa pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya dua pasal tersebut.

"Karena yang dijadikan bukti oleh Pemohon hanya KTP yang menunjukan bahwa Pemohon adalah berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau mengurus rumah tangga (vide bukti P1 KTP Pemohon)," ujar hakim konstitusi Suhartoyo.

Dia melanjutkan, Mahkamah tidak menemukan bukti lain yang menunjukkan bahwa pemohon adalah aktivis yang secara aktif melakukan berbagai kegiatan. Apalagi bukti lain yang diajukan oleh pemohon. Video bukti P2 hingga P110 sama sekali tidak dapat membuktikan aktivitas pemohon sebagai aktivis, sebagaimana yang dijelaskan pemohon dalam persidangan.

Terlebih lagi, tutur hakim konstitusi Suhartoyo, permohonan pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, pemohon juga tidak menguraikan mengenai adanya kausalitas (causal verband) antara kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon dengan inkonstitusionalitas norma.

"Akan tetapi Pemohon dalam permohonannya justru lebih banyak menguraikan argumentasi terkait dengan berita bohong dan aktivis yang sebenarnya hal tersebut merupakan bagian dari kasus konkret yang dialami oleh suami pemohon, yang juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam argumentasi pemohon baik dalam uraian kedudukan hukum ataupun posita," bebernya.

Selain itu, dia mengungkapkan, Mahkamah juga tidak dapat memahami alasan permohonan pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan 'secara bersyarat' dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Karena adanya ketidakjelasan itu, maka Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun pemohon memiliki kedudukan hukum, maka permohonan yang demikian adalah kabur.

"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut," tegas hakim konstitusi Suhartoyo.
(thm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1849 seconds (0.1#10.140)