Hukum dan Kekuasaan Suatu Keniscayaan

Senin, 24 April 2023 - 08:41 WIB
Perilaku fiskus yang bersifat a sosial tidak ada bedanya dengan seorang koruptor yang mencuri uang negara; bedanya hanya pada cara dan gaya saja ia bermain.Tiga ratus empat puluh trilyun bahkan satu trilyun-pun bukan uang sedikit atau zero nilai akan tetapi skandal keuangan yang bersifat luar biasa dan berdampak luas terhadap kehidupan perekonomian Indonesia yang bertumbuh tidak lebih dari 5 perse per tahun sejak tahun 2000-an.

Bahkan diketahui nilai sedemikian lebih besar dibandingkan dengan APBN 2023 Indonesia sebesar Rp3.062 Triliun; dana yang signfikan tersebut telah terjadi sejak 2009 s/d 2023 dan sudah dapat dipastikan kini telah menguap entah ke mana dan siapa penerimanya karena transfer dana dengan teknologi canggih bisa terjadi dalam hitungan detik, bukan jam, bukan hari apalagi tahunan.

Melihat kondisi tersebut dipastikan pada ujung akhir cerita 349T tersebut akan menghilang senyap dan tidak berbekas yang tinggal hanya "baunya" saja karena PPATK dan Penegak hukum sulit menemukan siapa penerima Sebagian kecil atau besar dana tersebut bahkan tidak akan berakhir di peradilan karena didakwa tindak pidana pencucian uang.

Menurut Menko Polhukam, dan bahkan Presiden Joko Widodo, UU Perampasan Aset tindak pidana diharapkan dapat menyelesaikan masalah; namun demikian kita masih berharap (juga) benar dan terbukti serta pelaku dihukum setimpal dengan perbuatannya. Dari sisi lain khusus perlindungan hak setiap orang untuk memperoleh hrata kekayaan juga masih rawan dan bahkan rentan dari penyalahgunaan wewenang/kekuasaan karena UU Perampasan Aset Tindak Pidana membolehkan perampasan terhadap 4 (empat) jenis asset yatu, asset yang berasal dari suatu kejahatan, aset yang tidak bertuan, asset terlantar dan asset yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

Keempat pilihan asset tesebut sepenuhnya sangat digantungkan kepada penafsiran dan penilaian penegak hukum untuk memastikan bahwa asset-aset tersebut adalah layak dan sepantasnya dijadikan objek UU Perampasan Aset.

Di dalam Raker Menkeu, Menko Polhukam, dan Kepala PPATK dengan Komisi III DPR RI telah dikemukaka bahwa, nilai dana liar sebesar Rp349. 874.187.502.986 terdiri dari, Rp275.604.162.109.779 terdapat pada Kemenkeu dan Rp74.270.025.393.207 terdapat pada Aparatur Penegak Hukum (APH); kesemuanya diketahui dari 300 (tiga ratus surat ) yang dikirim PPATK selama tahun 2009 s/d 2023.

Diakui pula oleh Menkeu bahwa dana yang berasal di Kemenkeu adan dua penerima dana fantastis antara lain pebisnis dengan nilai Rp189T berasal dari impor-ekspor emas Batangan. Sedangkan dari APH itu sendiri tidak jelas siapa penerima dan pendistribusi dana sebesar Rp74 T lebih.

Merujuk pada data dan pengakuan PPATK dan Menkeu tersebut dapat dipastikan karena telah memakan waktu 14 (empat belas) tahun, dana-dana tersebut terlambat untuk ditelusuri aliran dana menuju dan siapa penerimanya alias tidak berbekas sehingga raker-raker Komisi III dan Kemenkeu, Kemepolhukam dan PPATK, sangat terlambat dan tidak bisa tuntaskan sebagaimana harapan rakyat saat ini.

Sumber masalah kesulitan penelusuran dan penuntasan dana 349T adalah terletak dari kelemahan koordinasi dan sinkronisasi tugas serta wewenang APH dan PPATK serta K/L terkait dan ketidaksiapan institusi tersebut menghadapi gejolak dan peningkatan pencucian uang haram yang terjadi selama 14 (empat belas) tahun yang lampau sehingga patut dicurigai bahwa seluruh sector kehidupan bangsa ini dalam bidang penanaman modal asing, ekspor impor sumber daya alam (batu bara, nikel, bauxite, emas dan tembaga) dan masih banyak lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, pada kesimpulan akhir dapat dikatakan bahwa, ketahanan nasional Indonesia menghadapi organisasi kejahatan khususnya dalam kejahatan pencucian uang sangat lemah dan membahayakan kedaualatan NKRI.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More