Hukum dan Kekuasaan Suatu Keniscayaan
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
TOPIK Hukum dan Kekuasaan merupakan sejarah dan kebiasaan dalam praktik ketatanegaraan sejak Kelsen mengemukakan bahwa kuatnya relasi kedua variable tersebut adalah disebabkan Hukum adalah perintah dan produk pemegang kekuasaan tertinggi dengan premisa piramida hukum dan kekuasaan yang tidak dapat dibantah.
Kecuali di negara yang mengutamakan rakyat sebagai sumber kedaulatan; sepanjang hak rakyat berdaulat masih diwakilkan kepada Negara apalagi dengan cuma-Cuma alias gratis maka jangan lagi mengharapkan adanya persamaan di muka hukum dan keadilan yag bakal diraih dengan cara berhukum sedemikian.
Praktik dan kelaziman yang dikenal, "hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas" jika tidak segera dicegah dan di atasi maka nilai dan cahaya hukum semakin redup bahkan mati suri di mana sinar kekuasaan dan kezaliman semakin berjaya.
Banyak contoh keadan tersebut antara lain, kasus Hambalang, Century, Sumber Waras, impor ekspor batu bara, dan Sawit. Selain kasus tersebut korupsi birokrasi sering bawahan dijadikan tumbal perbuatan atasan khusus dalam bidang perbankan. Menghadapi kasus-kasus sedemikian mencolok mata tidak ada satu pun petinggi hukum bereaksi kecuali diam seribu bahasa seolah sudah tahu sama tahu (tst); begitupula hanya beberapa gelintir LSM bersuara sambil merasa waswas khawtir dapur tidak berasap.
Sekali pun mereka semua mengetahui dan memahami betapa penting dan utamanya makna persamaan di muka hukum bagi setiap orang dan perlindungan, jaminan kepastian yang adil sudah terpateri di dalam UUD45. Mereka hanya takut kepada manusia, tidak kepada kekuasaan Tuhan YME yang menciptakan dirinya dan keadilan di muka bumi ini.
Kenyataan kehidupan hukum tersebut tidak berlaku untuk semua kasus melaikan hanya kasus-kasus berbalut politik, saling jegal dan saling “bunuh” sesame kawan berbisnis saja dengan permainan kasus perdata dipidanakan hanya demi “menghabisi” lawan agar tidak lagi bangkit melawan; dalam kasus seperti itu maka tanpa tangan kekuasaan yang lebih tinggi kedudukannya mustahil kasus tersebut terjadi dan berhasil.
Dalam keadaan sedemikian masih juga ada oknum penegak hukum berpangkat tinggi sampai hati “menggadaikan” kekuasaannya demi penyakit hedon yang terlanjur menguasai baik diri maupun isterinya. Peristiwa Pajak akhir-akhir ini membuka "kotak pandora" bahwa selama puluhan tahun lampau, kewajiban bayar pajak oleh setiap warga negara kita merupakan sesuatu yang mulia menjadi berbalik menjadi sesuatu yang disunahkan oleh perilaku "hanky-pangky" fiscus dan wajib pajak dan semakin mengecil pemasukan untuk negara sedangkan mereka mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan tersebut membuat negara sakit dan bahkan menyakiti wajib pajak yang legowo membayar pajak sekalipun terasa berat tetapi dipatuhinya.
Perilaku fiskus yang bersifat a sosial tidak ada bedanya dengan seorang koruptor yang mencuri uang negara; bedanya hanya pada cara dan gaya saja ia bermain.Tiga ratus empat puluh trilyun bahkan satu trilyun-pun bukan uang sedikit atau zero nilai akan tetapi skandal keuangan yang bersifat luar biasa dan berdampak luas terhadap kehidupan perekonomian Indonesia yang bertumbuh tidak lebih dari 5 perse per tahun sejak tahun 2000-an.
Bahkan diketahui nilai sedemikian lebih besar dibandingkan dengan APBN 2023 Indonesia sebesar Rp3.062 Triliun; dana yang signfikan tersebut telah terjadi sejak 2009 s/d 2023 dan sudah dapat dipastikan kini telah menguap entah ke mana dan siapa penerimanya karena transfer dana dengan teknologi canggih bisa terjadi dalam hitungan detik, bukan jam, bukan hari apalagi tahunan.
Melihat kondisi tersebut dipastikan pada ujung akhir cerita 349T tersebut akan menghilang senyap dan tidak berbekas yang tinggal hanya "baunya" saja karena PPATK dan Penegak hukum sulit menemukan siapa penerima Sebagian kecil atau besar dana tersebut bahkan tidak akan berakhir di peradilan karena didakwa tindak pidana pencucian uang.
Menurut Menko Polhukam, dan bahkan Presiden Joko Widodo, UU Perampasan Aset tindak pidana diharapkan dapat menyelesaikan masalah; namun demikian kita masih berharap (juga) benar dan terbukti serta pelaku dihukum setimpal dengan perbuatannya. Dari sisi lain khusus perlindungan hak setiap orang untuk memperoleh hrata kekayaan juga masih rawan dan bahkan rentan dari penyalahgunaan wewenang/kekuasaan karena UU Perampasan Aset Tindak Pidana membolehkan perampasan terhadap 4 (empat) jenis asset yatu, asset yang berasal dari suatu kejahatan, aset yang tidak bertuan, asset terlantar dan asset yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
Keempat pilihan asset tesebut sepenuhnya sangat digantungkan kepada penafsiran dan penilaian penegak hukum untuk memastikan bahwa asset-aset tersebut adalah layak dan sepantasnya dijadikan objek UU Perampasan Aset.
Di dalam Raker Menkeu, Menko Polhukam, dan Kepala PPATK dengan Komisi III DPR RI telah dikemukaka bahwa, nilai dana liar sebesar Rp349. 874.187.502.986 terdiri dari, Rp275.604.162.109.779 terdapat pada Kemenkeu dan Rp74.270.025.393.207 terdapat pada Aparatur Penegak Hukum (APH); kesemuanya diketahui dari 300 (tiga ratus surat ) yang dikirim PPATK selama tahun 2009 s/d 2023.
Diakui pula oleh Menkeu bahwa dana yang berasal di Kemenkeu adan dua penerima dana fantastis antara lain pebisnis dengan nilai Rp189T berasal dari impor-ekspor emas Batangan. Sedangkan dari APH itu sendiri tidak jelas siapa penerima dan pendistribusi dana sebesar Rp74 T lebih.
Merujuk pada data dan pengakuan PPATK dan Menkeu tersebut dapat dipastikan karena telah memakan waktu 14 (empat belas) tahun, dana-dana tersebut terlambat untuk ditelusuri aliran dana menuju dan siapa penerimanya alias tidak berbekas sehingga raker-raker Komisi III dan Kemenkeu, Kemepolhukam dan PPATK, sangat terlambat dan tidak bisa tuntaskan sebagaimana harapan rakyat saat ini.
Sumber masalah kesulitan penelusuran dan penuntasan dana 349T adalah terletak dari kelemahan koordinasi dan sinkronisasi tugas serta wewenang APH dan PPATK serta K/L terkait dan ketidaksiapan institusi tersebut menghadapi gejolak dan peningkatan pencucian uang haram yang terjadi selama 14 (empat belas) tahun yang lampau sehingga patut dicurigai bahwa seluruh sector kehidupan bangsa ini dalam bidang penanaman modal asing, ekspor impor sumber daya alam (batu bara, nikel, bauxite, emas dan tembaga) dan masih banyak lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, pada kesimpulan akhir dapat dikatakan bahwa, ketahanan nasional Indonesia menghadapi organisasi kejahatan khususnya dalam kejahatan pencucian uang sangat lemah dan membahayakan kedaualatan NKRI.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
TOPIK Hukum dan Kekuasaan merupakan sejarah dan kebiasaan dalam praktik ketatanegaraan sejak Kelsen mengemukakan bahwa kuatnya relasi kedua variable tersebut adalah disebabkan Hukum adalah perintah dan produk pemegang kekuasaan tertinggi dengan premisa piramida hukum dan kekuasaan yang tidak dapat dibantah.
Kecuali di negara yang mengutamakan rakyat sebagai sumber kedaulatan; sepanjang hak rakyat berdaulat masih diwakilkan kepada Negara apalagi dengan cuma-Cuma alias gratis maka jangan lagi mengharapkan adanya persamaan di muka hukum dan keadilan yag bakal diraih dengan cara berhukum sedemikian.
Praktik dan kelaziman yang dikenal, "hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas" jika tidak segera dicegah dan di atasi maka nilai dan cahaya hukum semakin redup bahkan mati suri di mana sinar kekuasaan dan kezaliman semakin berjaya.
Banyak contoh keadan tersebut antara lain, kasus Hambalang, Century, Sumber Waras, impor ekspor batu bara, dan Sawit. Selain kasus tersebut korupsi birokrasi sering bawahan dijadikan tumbal perbuatan atasan khusus dalam bidang perbankan. Menghadapi kasus-kasus sedemikian mencolok mata tidak ada satu pun petinggi hukum bereaksi kecuali diam seribu bahasa seolah sudah tahu sama tahu (tst); begitupula hanya beberapa gelintir LSM bersuara sambil merasa waswas khawtir dapur tidak berasap.
Sekali pun mereka semua mengetahui dan memahami betapa penting dan utamanya makna persamaan di muka hukum bagi setiap orang dan perlindungan, jaminan kepastian yang adil sudah terpateri di dalam UUD45. Mereka hanya takut kepada manusia, tidak kepada kekuasaan Tuhan YME yang menciptakan dirinya dan keadilan di muka bumi ini.
Kenyataan kehidupan hukum tersebut tidak berlaku untuk semua kasus melaikan hanya kasus-kasus berbalut politik, saling jegal dan saling “bunuh” sesame kawan berbisnis saja dengan permainan kasus perdata dipidanakan hanya demi “menghabisi” lawan agar tidak lagi bangkit melawan; dalam kasus seperti itu maka tanpa tangan kekuasaan yang lebih tinggi kedudukannya mustahil kasus tersebut terjadi dan berhasil.
Dalam keadaan sedemikian masih juga ada oknum penegak hukum berpangkat tinggi sampai hati “menggadaikan” kekuasaannya demi penyakit hedon yang terlanjur menguasai baik diri maupun isterinya. Peristiwa Pajak akhir-akhir ini membuka "kotak pandora" bahwa selama puluhan tahun lampau, kewajiban bayar pajak oleh setiap warga negara kita merupakan sesuatu yang mulia menjadi berbalik menjadi sesuatu yang disunahkan oleh perilaku "hanky-pangky" fiscus dan wajib pajak dan semakin mengecil pemasukan untuk negara sedangkan mereka mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan tersebut membuat negara sakit dan bahkan menyakiti wajib pajak yang legowo membayar pajak sekalipun terasa berat tetapi dipatuhinya.
Perilaku fiskus yang bersifat a sosial tidak ada bedanya dengan seorang koruptor yang mencuri uang negara; bedanya hanya pada cara dan gaya saja ia bermain.Tiga ratus empat puluh trilyun bahkan satu trilyun-pun bukan uang sedikit atau zero nilai akan tetapi skandal keuangan yang bersifat luar biasa dan berdampak luas terhadap kehidupan perekonomian Indonesia yang bertumbuh tidak lebih dari 5 perse per tahun sejak tahun 2000-an.
Bahkan diketahui nilai sedemikian lebih besar dibandingkan dengan APBN 2023 Indonesia sebesar Rp3.062 Triliun; dana yang signfikan tersebut telah terjadi sejak 2009 s/d 2023 dan sudah dapat dipastikan kini telah menguap entah ke mana dan siapa penerimanya karena transfer dana dengan teknologi canggih bisa terjadi dalam hitungan detik, bukan jam, bukan hari apalagi tahunan.
Melihat kondisi tersebut dipastikan pada ujung akhir cerita 349T tersebut akan menghilang senyap dan tidak berbekas yang tinggal hanya "baunya" saja karena PPATK dan Penegak hukum sulit menemukan siapa penerima Sebagian kecil atau besar dana tersebut bahkan tidak akan berakhir di peradilan karena didakwa tindak pidana pencucian uang.
Menurut Menko Polhukam, dan bahkan Presiden Joko Widodo, UU Perampasan Aset tindak pidana diharapkan dapat menyelesaikan masalah; namun demikian kita masih berharap (juga) benar dan terbukti serta pelaku dihukum setimpal dengan perbuatannya. Dari sisi lain khusus perlindungan hak setiap orang untuk memperoleh hrata kekayaan juga masih rawan dan bahkan rentan dari penyalahgunaan wewenang/kekuasaan karena UU Perampasan Aset Tindak Pidana membolehkan perampasan terhadap 4 (empat) jenis asset yatu, asset yang berasal dari suatu kejahatan, aset yang tidak bertuan, asset terlantar dan asset yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
Keempat pilihan asset tesebut sepenuhnya sangat digantungkan kepada penafsiran dan penilaian penegak hukum untuk memastikan bahwa asset-aset tersebut adalah layak dan sepantasnya dijadikan objek UU Perampasan Aset.
Di dalam Raker Menkeu, Menko Polhukam, dan Kepala PPATK dengan Komisi III DPR RI telah dikemukaka bahwa, nilai dana liar sebesar Rp349. 874.187.502.986 terdiri dari, Rp275.604.162.109.779 terdapat pada Kemenkeu dan Rp74.270.025.393.207 terdapat pada Aparatur Penegak Hukum (APH); kesemuanya diketahui dari 300 (tiga ratus surat ) yang dikirim PPATK selama tahun 2009 s/d 2023.
Diakui pula oleh Menkeu bahwa dana yang berasal di Kemenkeu adan dua penerima dana fantastis antara lain pebisnis dengan nilai Rp189T berasal dari impor-ekspor emas Batangan. Sedangkan dari APH itu sendiri tidak jelas siapa penerima dan pendistribusi dana sebesar Rp74 T lebih.
Merujuk pada data dan pengakuan PPATK dan Menkeu tersebut dapat dipastikan karena telah memakan waktu 14 (empat belas) tahun, dana-dana tersebut terlambat untuk ditelusuri aliran dana menuju dan siapa penerimanya alias tidak berbekas sehingga raker-raker Komisi III dan Kemenkeu, Kemepolhukam dan PPATK, sangat terlambat dan tidak bisa tuntaskan sebagaimana harapan rakyat saat ini.
Sumber masalah kesulitan penelusuran dan penuntasan dana 349T adalah terletak dari kelemahan koordinasi dan sinkronisasi tugas serta wewenang APH dan PPATK serta K/L terkait dan ketidaksiapan institusi tersebut menghadapi gejolak dan peningkatan pencucian uang haram yang terjadi selama 14 (empat belas) tahun yang lampau sehingga patut dicurigai bahwa seluruh sector kehidupan bangsa ini dalam bidang penanaman modal asing, ekspor impor sumber daya alam (batu bara, nikel, bauxite, emas dan tembaga) dan masih banyak lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, pada kesimpulan akhir dapat dikatakan bahwa, ketahanan nasional Indonesia menghadapi organisasi kejahatan khususnya dalam kejahatan pencucian uang sangat lemah dan membahayakan kedaualatan NKRI.
(maf)