Uji Publik Komisioner KY, Hakim 'Kopi Sianida' Siap Harmonisasikan KY- MA
Selasa, 21 Juli 2020 - 11:43 WIB
Dengan metode pemeriksan berdasarkan peraturan bersama MA-KY Nomor 2 Tahun 2012, jabatan hakim mendapat kepercayaan dari publik.
"Selain itu, pergaulan KY sehari-hari berada di lingkungan peradilan, dengan memberdayakan tim penghubung yang akuntabel dan profesional, juga memasang jaringan CCTV di seluruh satuan kerja pengadilan yang terkoneksi secara online dengan KY, sehingga dengan mudah mengawasi perilaku hakim dan persidangan," ujar hakim yang pernah bertugas di PN Dili Timor Timor (sekarang negara Timor Leste) itu.
Dia juga berupaya untuk menyelesaikan kebuntuan persoalan MA dan KY yang selama ini kurang harmonis. "Sehingga tercipta visi-misi MA dan KY demi peradilan yang agung," katanya saat telekonferensi.
Dia berpendapat pemeriksaan hakim oleh KY sebaiknya dilakukan tertutup atau tidak dipublikasi, sampai hakim itu terbukti bersalah dan dikenai sanksi. Hal ini, menurutnya, diperlukan demi menjaga kehormatan hakim dan pengadilan itu sendiri.
“Kalau kita lihat di Portugal dan Belanda, itu hakim yang menerima suap misalnya, akan diperiksa dan ditanya, mau mengaku bersalah atau tidak, jika mengaku, akan dipersilakan mengundurkan diri dari jabatan hakim, jika tidak, baru diproses hukum, dan disiarkan ke publik,” tuturnya.
Dalam uji publik itu, para panelis dari kalangan publik, antara lain Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah, M Fuad dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan Siska Trisia, dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengajukan beberapa pertanyaan kepada Binsar.
Salah satu panelis bertanya mengenai perbedaan persepsi penerimaan hakim agung, Binsar berpendapat karena MA lebih mengetahui kebutuhan hakim agung di MA, seharusnya KY memenuhi kebutuhan hakim agung yg dibutuhkan oleh MA. Hal ini sesuai putusan MK Nomor 53/2016 yg meminta agar seleksi calon hakim agung yang dilakukan KY berpedoman kepada kebutuhan MA.
Salah satu peserta dari kelompok pertama, yaitu Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2008-2018, Abdul Haris Semendawai mengaku akan melakukan empat program untuk mewujudkan visi hakim yang profesional.
"Pertama rekrutmen hakim dilakukan untuk memperoleh calon hakim yang memiliki jujur, berintegritas baik, independen dan punya pengetahuan serta kemampuan yang cukup," tutur Abdul Haris.
Program kedua adalah peningkatan kapasitas hakim terkait perkembangan hukum acara maupun hukum materil. "Ketiga, menjaga keluhuran hakim dan penggunaan teknologi di seluruh pengadilan di Indonesia, agar KY mendapat database yang lengkap untuk mengevaluasi hakim," ungkap Abdul Haris.
"Selain itu, pergaulan KY sehari-hari berada di lingkungan peradilan, dengan memberdayakan tim penghubung yang akuntabel dan profesional, juga memasang jaringan CCTV di seluruh satuan kerja pengadilan yang terkoneksi secara online dengan KY, sehingga dengan mudah mengawasi perilaku hakim dan persidangan," ujar hakim yang pernah bertugas di PN Dili Timor Timor (sekarang negara Timor Leste) itu.
Dia juga berupaya untuk menyelesaikan kebuntuan persoalan MA dan KY yang selama ini kurang harmonis. "Sehingga tercipta visi-misi MA dan KY demi peradilan yang agung," katanya saat telekonferensi.
Dia berpendapat pemeriksaan hakim oleh KY sebaiknya dilakukan tertutup atau tidak dipublikasi, sampai hakim itu terbukti bersalah dan dikenai sanksi. Hal ini, menurutnya, diperlukan demi menjaga kehormatan hakim dan pengadilan itu sendiri.
“Kalau kita lihat di Portugal dan Belanda, itu hakim yang menerima suap misalnya, akan diperiksa dan ditanya, mau mengaku bersalah atau tidak, jika mengaku, akan dipersilakan mengundurkan diri dari jabatan hakim, jika tidak, baru diproses hukum, dan disiarkan ke publik,” tuturnya.
Dalam uji publik itu, para panelis dari kalangan publik, antara lain Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah, M Fuad dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan Siska Trisia, dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengajukan beberapa pertanyaan kepada Binsar.
Salah satu panelis bertanya mengenai perbedaan persepsi penerimaan hakim agung, Binsar berpendapat karena MA lebih mengetahui kebutuhan hakim agung di MA, seharusnya KY memenuhi kebutuhan hakim agung yg dibutuhkan oleh MA. Hal ini sesuai putusan MK Nomor 53/2016 yg meminta agar seleksi calon hakim agung yang dilakukan KY berpedoman kepada kebutuhan MA.
Salah satu peserta dari kelompok pertama, yaitu Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2008-2018, Abdul Haris Semendawai mengaku akan melakukan empat program untuk mewujudkan visi hakim yang profesional.
"Pertama rekrutmen hakim dilakukan untuk memperoleh calon hakim yang memiliki jujur, berintegritas baik, independen dan punya pengetahuan serta kemampuan yang cukup," tutur Abdul Haris.
Program kedua adalah peningkatan kapasitas hakim terkait perkembangan hukum acara maupun hukum materil. "Ketiga, menjaga keluhuran hakim dan penggunaan teknologi di seluruh pengadilan di Indonesia, agar KY mendapat database yang lengkap untuk mengevaluasi hakim," ungkap Abdul Haris.
tulis komentar anda