Uji Materiil Permenaker, MA: P3MI Wajib Punya Modal Rp5 M dan Deposito Rp1,5 M
Senin, 20 Juli 2020 - 15:47 WIB
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) memastikan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) harus memiliki modal minimal Rp5 miliar dan menyetor deposito paling sedikit Rp1,5 miliar ke bank pemerintah untuk mendapatkan Surat Izin P3MI.
Keharusan ini tertuang dalam putusan nomor: 15 P/HUM/2020 atas uji materiil terhadap Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Perkara ini ditangani dan diputuskan oleh majelis hakim agung MA yang dipimpin Irfan Fachruddin dengan anggota Yodi Martono Wahyunadi dan Yosran. Salinan putusan diunggah di laman Direktori Putusan MA, Jumat, 10 Juli 2020.
Uji materiil diajukan oleh Perhimpunan Organisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) yang diwakili oleh Ketua Umum Asptaki Saiful Mashud dan enam pengurus Asptaki sebagai pemohon, melawan Menaker sebagai termohon. (Baca juga: Mahkamah Agung Kembangkan Aplikasi Informasi Perkara Korupsi)
Secara spesifik, Asptaki menguji Pasal 7 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf h Poin 3 serta BAB III Pasal 13 dan BAB VII Ketentuan Peralihan Pasal 36 Permenaker Nomor 10 Tahun 2019. Secara umum, pasal-pasal tersebut mengatur bahwa untuk mendapatkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI), maka perusahaan atau P3MI harus memenuhi komitmen persyaratan berupa bukti modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp5 miliar, dan menyetor bilyet deposito atas nama perusahaan sebesar Rp1,5 miliar pada bank pemerintah.
Berikutnya, P3MI mengubah dan menyerahkan bilyet deposito Rp1,5 miliar atas nama perusahaan menjadi atas nama Menteri q.q. P3MI kepada Direktur Jenderal bagi perusahaan yang ditetapkan sebagai P3MI pada saat pengambilan P3MI, dan saat pengambilan SIP3MI maka penanggung jawab P3MI wajib menyerahkan sertifikat atau bilyet deposito asli atas nama Menteri q.q. P3MI l sebesar Rp1,5 miliar kepada Direktur Jenderal. (Baca juga: Foto Bareng Pengacara Djoko Tjandra, Ketua MA Wajib Jaga Independensi Hakim PK)
Selain itu, saat Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 mulai berlaku, P3MI wajib menyelesaikan persyaratan yang diatur dalam peraturan menteri ini paling lama 6 bulan sejak peraturan ini diundangkan dan jika kewajiban peyesuaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 36 tidak dipenuhi oleh P3MI, Menteri mencabut SIP3MI.
Dalam permohonan, Asptaki meminta kepada MA memutuskan enam hal. Di antaranya, satu, menyatakan Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman.
Dua, menyatakan Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 tidak sah dan tidak berlaku secara umum. Tiga, menyatakan Pasal 36 Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 tidak dapat berlaku/diterapkan terhadap P3MI/Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang izinnya masih beroperasi/berlaku. Empat, memerintahkan Menaker untuk mencabut Permenaker Nomor 10 Tahun 2019.
Majelis hakim agung yang dipimpin Irfan Fachruddin menyatakan, permohonan keberatan hak uji materiil yang diajukan Asptaki telah disampaikan MA ke Menaker sebagai termohon pada 6 Januari 2020. Tapi, termohon tidak mengajukan jawaban sampai serta tenggang waktu untuk mengajukan jawaban telah terlewati, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Keharusan ini tertuang dalam putusan nomor: 15 P/HUM/2020 atas uji materiil terhadap Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Perkara ini ditangani dan diputuskan oleh majelis hakim agung MA yang dipimpin Irfan Fachruddin dengan anggota Yodi Martono Wahyunadi dan Yosran. Salinan putusan diunggah di laman Direktori Putusan MA, Jumat, 10 Juli 2020.
Uji materiil diajukan oleh Perhimpunan Organisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) yang diwakili oleh Ketua Umum Asptaki Saiful Mashud dan enam pengurus Asptaki sebagai pemohon, melawan Menaker sebagai termohon. (Baca juga: Mahkamah Agung Kembangkan Aplikasi Informasi Perkara Korupsi)
Secara spesifik, Asptaki menguji Pasal 7 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf h Poin 3 serta BAB III Pasal 13 dan BAB VII Ketentuan Peralihan Pasal 36 Permenaker Nomor 10 Tahun 2019. Secara umum, pasal-pasal tersebut mengatur bahwa untuk mendapatkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI), maka perusahaan atau P3MI harus memenuhi komitmen persyaratan berupa bukti modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp5 miliar, dan menyetor bilyet deposito atas nama perusahaan sebesar Rp1,5 miliar pada bank pemerintah.
Berikutnya, P3MI mengubah dan menyerahkan bilyet deposito Rp1,5 miliar atas nama perusahaan menjadi atas nama Menteri q.q. P3MI kepada Direktur Jenderal bagi perusahaan yang ditetapkan sebagai P3MI pada saat pengambilan P3MI, dan saat pengambilan SIP3MI maka penanggung jawab P3MI wajib menyerahkan sertifikat atau bilyet deposito asli atas nama Menteri q.q. P3MI l sebesar Rp1,5 miliar kepada Direktur Jenderal. (Baca juga: Foto Bareng Pengacara Djoko Tjandra, Ketua MA Wajib Jaga Independensi Hakim PK)
Selain itu, saat Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 mulai berlaku, P3MI wajib menyelesaikan persyaratan yang diatur dalam peraturan menteri ini paling lama 6 bulan sejak peraturan ini diundangkan dan jika kewajiban peyesuaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 36 tidak dipenuhi oleh P3MI, Menteri mencabut SIP3MI.
Dalam permohonan, Asptaki meminta kepada MA memutuskan enam hal. Di antaranya, satu, menyatakan Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman.
Dua, menyatakan Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 tidak sah dan tidak berlaku secara umum. Tiga, menyatakan Pasal 36 Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 tidak dapat berlaku/diterapkan terhadap P3MI/Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang izinnya masih beroperasi/berlaku. Empat, memerintahkan Menaker untuk mencabut Permenaker Nomor 10 Tahun 2019.
Majelis hakim agung yang dipimpin Irfan Fachruddin menyatakan, permohonan keberatan hak uji materiil yang diajukan Asptaki telah disampaikan MA ke Menaker sebagai termohon pada 6 Januari 2020. Tapi, termohon tidak mengajukan jawaban sampai serta tenggang waktu untuk mengajukan jawaban telah terlewati, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
tulis komentar anda