Kembalikan Marwah Gelar Honoris Causa
Sabtu, 08 April 2023 - 23:20 WIB
Gugatan menolak pemberian gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) kian menyeruak dalam beberapa tahun terakhir. Penolakan itu dilatarbelakangi beragam alasan. Namun, polemik ini umumnya dipicukarena gelar akademik yang sangat terhormat itu seolah diobral.
Sinyalemen atau dugaan obral murah itu tidak ada salahnya. Tak hanya internal kampus, belakangan ini publik pun bisa mudah menangkap dugaan itu karena gelar kehormatan banyak diberikan kepada para politisi atau pejabat yang momennya berdekatan dengan tahun politik.
Keriuhan soal setidaknya terpotret dari geger pemberian gelar HC kepada Menteri BUMN Erick Thohir oleh Universitas Brawijaya (UB) Malang, awal Maret lalu. Di Yogyakarta, pada Februari, sebanyak 353 dosen dari 14 fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga membuat surat penolakan keras atas rencana kampus memberikan gelar profesor kehormatan kepada individu nonakademik atau pejabat publik.
Tidak terang siapa yang bakal dianugerahi gelar kehormatan UGM itu. Namun, para dosen menilai rencana tersebut tidak sesuai dengan regulasi di Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Pada 2017 lalu, dosen Unair juga memprotes gelar HC untuk Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Akhir-akhir ini publik memang begitu sering mendengar tentang penolakan pemberian gelar kehormatan akademik dari kampus. Namun, jika dicermati, mayoritas penolakan itu terjadi karena sosok yang diberi gelar atau jabatan akademik adalah mereka yang latar belakangnya politisi atau pejabat publik. Sementara jika objeknya adalah tokoh masyarakat atau agama relatif lebih diterima.
Ini setidaknya tergambar pada pemberian gelar HC oleh UIN Sunan Kalijaga kepada Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Presiden Dewan Kepausan untuk dialog Antaragama Takhta Suci di Vatikan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot,dan Dewan Advisory Board/Dewan Pakar HubLu PP Muhammadiyah Sudibyo Markus, 13 Februari lalu.
Suara penolakan, baik dari internal maupun eksternal kampus, yang kian nyaring itu jangan sampai direspons sebagai sesuatu yang asal miring. Seharusnya, penolakan itu menjadi alarm bahwa pemberian gelar akademik selama ini sangat mungkin tidak baik-baik saja. Seleksi gelar itu kurang ketat, bahkan cenderung ada praktik 'jual- beli' di dalamnya.
Memperketat regulasi adalah di antara solusi yang diharapkan bisa menjembatani dugaan longgarnya proses pemberian gelar. Regulasi ini tak sebatas di level pusat seperti Kemendikbud-Ristek, tetapi juga di tingkat lapangan, yakni internal kampus.
Tahapan yang dilakukan bisa dengan mengkaji ulang atau merevisi regulasi yang dinilai sudah tak 'bergigi' seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (RI) Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa).
Sinyalemen atau dugaan obral murah itu tidak ada salahnya. Tak hanya internal kampus, belakangan ini publik pun bisa mudah menangkap dugaan itu karena gelar kehormatan banyak diberikan kepada para politisi atau pejabat yang momennya berdekatan dengan tahun politik.
Keriuhan soal setidaknya terpotret dari geger pemberian gelar HC kepada Menteri BUMN Erick Thohir oleh Universitas Brawijaya (UB) Malang, awal Maret lalu. Di Yogyakarta, pada Februari, sebanyak 353 dosen dari 14 fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga membuat surat penolakan keras atas rencana kampus memberikan gelar profesor kehormatan kepada individu nonakademik atau pejabat publik.
Tidak terang siapa yang bakal dianugerahi gelar kehormatan UGM itu. Namun, para dosen menilai rencana tersebut tidak sesuai dengan regulasi di Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Pada 2017 lalu, dosen Unair juga memprotes gelar HC untuk Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Akhir-akhir ini publik memang begitu sering mendengar tentang penolakan pemberian gelar kehormatan akademik dari kampus. Namun, jika dicermati, mayoritas penolakan itu terjadi karena sosok yang diberi gelar atau jabatan akademik adalah mereka yang latar belakangnya politisi atau pejabat publik. Sementara jika objeknya adalah tokoh masyarakat atau agama relatif lebih diterima.
Ini setidaknya tergambar pada pemberian gelar HC oleh UIN Sunan Kalijaga kepada Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Presiden Dewan Kepausan untuk dialog Antaragama Takhta Suci di Vatikan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot,dan Dewan Advisory Board/Dewan Pakar HubLu PP Muhammadiyah Sudibyo Markus, 13 Februari lalu.
Suara penolakan, baik dari internal maupun eksternal kampus, yang kian nyaring itu jangan sampai direspons sebagai sesuatu yang asal miring. Seharusnya, penolakan itu menjadi alarm bahwa pemberian gelar akademik selama ini sangat mungkin tidak baik-baik saja. Seleksi gelar itu kurang ketat, bahkan cenderung ada praktik 'jual- beli' di dalamnya.
Memperketat regulasi adalah di antara solusi yang diharapkan bisa menjembatani dugaan longgarnya proses pemberian gelar. Regulasi ini tak sebatas di level pusat seperti Kemendikbud-Ristek, tetapi juga di tingkat lapangan, yakni internal kampus.
Tahapan yang dilakukan bisa dengan mengkaji ulang atau merevisi regulasi yang dinilai sudah tak 'bergigi' seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (RI) Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa).
tulis komentar anda