Meninjau Ulang Undang-Undang Perpajakan

Kamis, 30 Maret 2023 - 15:01 WIB
Jika kita mengkaji tentang kebijakan pidana pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), secara umum regulasi ini bermasalah. Karena pajak merupakan sumber pendapatan utama negara, seharusnya undang-undang yang mengatur bidang pajak lebih ketat dan memaksa.

Dalam Pasal 13A UU KUP disebutkan bahwa pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan terdapat bukti permulaan ditemukan unsur pidana. Akan tetapi, bagi wajib pajak yang melanggar pertama kali tidak dikenai sanksi pidana, tapi administrasi. Artinya, secara paradigmatik hukum pajak merupakan hukum administratif sehingga segala sesuatu yang menyangkut masalah bidang perpajakan harus diselesaikan melalui jalur administrasi.

Jika merujuk pada ketentuan di atas, Undang-Undang KUP secara substansial lebih mengutamakan sanksi administrasi dan sanksi pidana denda daripada sanksi pidana kurungan atau penjara. Sebab, penggunaan sanksi kurungan dan penjara adalah subsider atau lumrah dikenal ultimum remidium. Dalam istilah lain, undang-undang pajak ini lebih mendahulukan sanksi pidana denda dan upaya nonpenal. Sanksi pidana kurungan dan penjara diberlakukan manakala upaya nonpenal tidak berhasil.

Pengenaan sanksi administrasi dan upaya nonpenal dalam menegakkan hukum pajak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 23 A amendemen keempat yang mengatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Dalam kaitan ini, Andriani menulis bahwa pajak pada hakikatnya adalah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis untuk mendapatkan alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum tanpa adanya jasa timbal balik khusus terhadapnya, (Laode Husen; 29;22).

Karena itulah, Simon Nahak dalam sebuah bukunya mengatakan bahwa perumusan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang pajak dalam UU KUP secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada pelaku yang melanggar pertama kali. Sebab, rumusan sanksi pidana hanya diberlakukan terhadap pelaku untuk mengembalikan kerugian pendapatan penerimaan keuangan negara, bukan pidana kurungan atau penjara.

Mencari Formulasi Ideal

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa problem utama dalam masalah pajak adalah masalah kebijakan pengenaan sanksi pidana. Penggunaan pidana sebagai fungsi ultimum remidium menjadi celah bagi para pengelola pajak dan wajib pajak untuk melakukan kejahatan di bidang pajak. Karena penyelesaian masalah pajak akan mengedepankan sanksi administrasi atau upaya-upaya nonpenal daripada pidana kurungan atau penjara.

Sanksi administrasi dan upaya nonpenal berpotensi dijadikan tameng oleh pelaku tindak pidana kejahatan di bidang pajak untuk lolos dari jerat pidana. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap kebijakan pidana pajak dalam undang-undang perpajakan. Mengevaluasi dan merumuskan ulang terhadap kebijakan pidana di bidang pajak penting dilakukan sebagai langkah preventif terhadap kejahatan di bidang pajak. Di samping sebagai langkah preventif, juga sebagai sarana untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak.

Dalam konteks itulah maka Pemerintah Indonesia perlu meninjau ulang undang-undang perpajakan. Undang-undang yang secara khusus mengatur tindak pidana di bidang pajak merupakan kebutuhan yang mendesak dewasa ini. Undang-undang pidana pajak yang dimaksud adalah undang-undang yang dapat menjangkau semua aspek kejahatan di bidang pajak sebagai sarana untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan sebagai upaya menanggulangi pelanggaran dan berbagai bentuk ketidakpatuhan terhadap kewajiban di bidang pajak. Wallahu A’lam.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More