Meninjau Ulang Undang-Undang Perpajakan

Kamis, 30 Maret 2023 - 15:01 WIB
loading...
Meninjau Ulang Undang-Undang...
Mushafi Miftah (Foto: Ist)
A A A
Mushafi Miftah
Ketua Prodi Hukum dan Direktur Pusat Kajian dan Konsultasi Hukum Universitas Nurul Jadid

SETELAH kasus Gayus Tambunan pada 2010-2011, isu penyelewengan uang pajak kembali mencuat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bahkan, Menkopolhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu menyebut ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp300 triliun lebih di lingkungan Kementerian Keuangan. Pergerakan uang mencurigakan tersebut berada di DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Isu transaksi janggal di Kementerian Keuangan tersebut masih terus bergulir. Rabu (29/3), pembahasan terkait hal itu kembali dilakukan melalui rapat kerja Komisi III DPR dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Rapat tersebut mengagendakan mendengarkan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD.

Baca Juga: koran-sindo.com

Mencuatnya kembali kasus penyelewengan uang pajak berawal dari kasus penganiayaan anak seorang pejabat eselon III di DJP, yaitu Rafael Alun Trisambodo. Dari kasus inilah lalu kemudian terendus harta kekayaan Rafael ke publik dan dianggap tidak wajar untuk ukuran seorang pejabat eselon III di lingkungan DJP, yaitu sebesar Rp56,1 miliar.

Atas dasar temuan itu, akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya di DJP karena melanggar Pasal 31 ayat 1 PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan saat ini harta kekayaan Rafael sedang dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika harta kekayaan Rafael tersebut terbukti berasal dari hasil penyelewengan terhadap uang pajak atau kongkalikong dengan wajib pajak, tentu menjadi alarm negatif terhadap eksistensi perpajakan dan mengancam keuangan negara.

Dalam suatu negara, pajak merupakan kontribusi rakyat yang memiliki fungsi fundamental dalam pembangunan negara dan upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Alhasil, jika pendapatan negara di bidang pajak diselewengkan dan dikongkalikong oleh pengelola pajak dan wajib pajak, sudah pasti akan berpengaruh terhadap akselerasi pendapatan negara dan menghambat pembangunan. Untuk itulah, pemerintah perlu mencari akar masalah dari fenomena penyelewengan uang pajak agar uang rakyat tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Kebijakan Pidana
Jika kita mengkaji tentang kebijakan pidana pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), secara umum regulasi ini bermasalah. Karena pajak merupakan sumber pendapatan utama negara, seharusnya undang-undang yang mengatur bidang pajak lebih ketat dan memaksa.

Dalam Pasal 13A UU KUP disebutkan bahwa pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan terdapat bukti permulaan ditemukan unsur pidana. Akan tetapi, bagi wajib pajak yang melanggar pertama kali tidak dikenai sanksi pidana, tapi administrasi. Artinya, secara paradigmatik hukum pajak merupakan hukum administratif sehingga segala sesuatu yang menyangkut masalah bidang perpajakan harus diselesaikan melalui jalur administrasi.

Jika merujuk pada ketentuan di atas, Undang-Undang KUP secara substansial lebih mengutamakan sanksi administrasi dan sanksi pidana denda daripada sanksi pidana kurungan atau penjara. Sebab, penggunaan sanksi kurungan dan penjara adalah subsider atau lumrah dikenal ultimum remidium. Dalam istilah lain, undang-undang pajak ini lebih mendahulukan sanksi pidana denda dan upaya nonpenal. Sanksi pidana kurungan dan penjara diberlakukan manakala upaya nonpenal tidak berhasil.

Pengenaan sanksi administrasi dan upaya nonpenal dalam menegakkan hukum pajak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 23 A amendemen keempat yang mengatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Dalam kaitan ini, Andriani menulis bahwa pajak pada hakikatnya adalah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis untuk mendapatkan alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum tanpa adanya jasa timbal balik khusus terhadapnya, (Laode Husen; 29;22).

Karena itulah, Simon Nahak dalam sebuah bukunya mengatakan bahwa perumusan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang pajak dalam UU KUP secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada pelaku yang melanggar pertama kali. Sebab, rumusan sanksi pidana hanya diberlakukan terhadap pelaku untuk mengembalikan kerugian pendapatan penerimaan keuangan negara, bukan pidana kurungan atau penjara.

Mencari Formulasi Ideal
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa problem utama dalam masalah pajak adalah masalah kebijakan pengenaan sanksi pidana. Penggunaan pidana sebagai fungsi ultimum remidium menjadi celah bagi para pengelola pajak dan wajib pajak untuk melakukan kejahatan di bidang pajak. Karena penyelesaian masalah pajak akan mengedepankan sanksi administrasi atau upaya-upaya nonpenal daripada pidana kurungan atau penjara.

Sanksi administrasi dan upaya nonpenal berpotensi dijadikan tameng oleh pelaku tindak pidana kejahatan di bidang pajak untuk lolos dari jerat pidana. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap kebijakan pidana pajak dalam undang-undang perpajakan. Mengevaluasi dan merumuskan ulang terhadap kebijakan pidana di bidang pajak penting dilakukan sebagai langkah preventif terhadap kejahatan di bidang pajak. Di samping sebagai langkah preventif, juga sebagai sarana untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak.

Dalam konteks itulah maka Pemerintah Indonesia perlu meninjau ulang undang-undang perpajakan. Undang-undang yang secara khusus mengatur tindak pidana di bidang pajak merupakan kebutuhan yang mendesak dewasa ini. Undang-undang pidana pajak yang dimaksud adalah undang-undang yang dapat menjangkau semua aspek kejahatan di bidang pajak sebagai sarana untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan sebagai upaya menanggulangi pelanggaran dan berbagai bentuk ketidakpatuhan terhadap kewajiban di bidang pajak. Wallahu A’lam.

(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1709 seconds (0.1#10.140)