Konteks Sosial-Politik Muslim Moderat di Indonesia
Selasa, 21 Maret 2023 - 20:53 WIB
Oleh karena itu, berbagai gerakan Islam radikal dan khususnya Islam transnasional yang disebutkan di atas dapat dianggap sebagai gerakan Islam radikal. Karena telah merambah ke berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, banyak yang beranggapan bahwa gerakan radikal keagamaan ini harus direduksi keberadaannya atau bahkan dihilangkan dalam ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
Karena dalam jangka panjang secara ideologis-politis, keberadaan gerakan radikal keagamaan akan mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dilihat dari ekspresi agama, keberadaan gerakan radikal keagamaan ini akan berbenturan dengan sikap moderat dalam beragama yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ini karena gerakan mereka lebih fundamentalistik dan menunjukkan anti moderasi dalam ekspresi agama mereka.
Adanya liberalisasi politik di era reformasi telah membuka jalan bagi Islam liberal untuk bermunculan di berbagai kelompok organisasi keagamaan di tanah air. Menurut Greg Fealy, era reformasi tidak hanya menawarkan berbagai kebebasan, tetapi juga memberikan tantangan besar bagi Islam progresif.
Cendekiawan dan kelompok liberal harus bersaing di pasar terbuka daripada di dalam Orde Baru yang membatasi dan membatasi diskusi publik tentang Islamisme. Selain itu, Fealy berpendapat Muslim Liberal sangat prihatin dengan penyebaran Islamisme melalui partai politik, media dan kelompok masyarakat sipil.
Beberapa dari kelompok-kelompok ini telah lama bergerak di bawah tanah, dan yang lain berasal dari jaringan longgar, dimobilisasi oleh tokoh-tokoh karismatik. Partai Keadilan (sekarang PKS), Hizbut Tahrir Indonesia dan partai-partai FPI termasuk di antara partai-partai dan kelompok-kelompok yang berjuang di garis Islamisme. Media Islam juga berkembang pesat, di antaranya majalah Sabili yang menjadi majalah dengan penjualan terbanyak pada 2001 dan 2002.
Dalam kondisi seperti ini, Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 lahir di tangan para skolar dan ulama muda Islam yang dipimpin oleh Ulil Abshar Abdalla. Akar intelektual kelompok ini kembali kepada para pemikir pluralis pada 1970-an seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Mukti Ali, untuk mednyebut beberapa nama.
Kelompok yang beranggotakan Ulil bersama Luthfi Assyaukanie dan Budhi Munawar Rahman dan beberapa pemikir lain yang terkait dengan Enklave Utan Kayu di Jakarta ini sangat aktif menyuarakan gagasan Islam Liberal, di mana Islam sesuai dengan pluralisme, negara sekuler, dan ekonomi pasar.
Dalam bacaan mereka, menurut Bourchier dan Jusuf (2022, hlm. 11), "Al-Quran dapat ditafsirkan dengan cara yang akan mendukung norma-norma liberal, termasuk larangan poligami, diakhirinya diskriminasi terhadap perempuan, dan pernikahan antar agama".
Perkembangan dan dominasi pemberitaan JIL yang dipandang mempengaruhi pemikiran Muslim perkotaan telah memantik amarah kelompok Muslim radikal dan konservatif dan menganggap JIL sebagai organisasi sesat dan menyesatkan. Satu fatwa tentang darah Ulil halal oleh Majelis Ulama Indonesia, yang saat itu didominasi oleh beberapa pengurus ultra-konservatif.
Dentang kematian kelompok Islam liberal itu ditandai dengan dikeluarkannya fatwa pada 2005 yang mengutuk "liberalisme, sekularisme, dan pluralisme' sebagai 'melawan ajaran Islam'. Atas dasar ini, FPI menyerang dan mengintimidasi kelompok Islam liberal. Sebagai satu akibat, meskipun mendapatkan perhatian media dan beasiswa untuk beberapa waktu, gerakan JIL ini gagal mendapatkan jumlah pengikut yang signifikan, dan sejak 2015 telah berkurang.
Karena dalam jangka panjang secara ideologis-politis, keberadaan gerakan radikal keagamaan akan mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dilihat dari ekspresi agama, keberadaan gerakan radikal keagamaan ini akan berbenturan dengan sikap moderat dalam beragama yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ini karena gerakan mereka lebih fundamentalistik dan menunjukkan anti moderasi dalam ekspresi agama mereka.
Adanya liberalisasi politik di era reformasi telah membuka jalan bagi Islam liberal untuk bermunculan di berbagai kelompok organisasi keagamaan di tanah air. Menurut Greg Fealy, era reformasi tidak hanya menawarkan berbagai kebebasan, tetapi juga memberikan tantangan besar bagi Islam progresif.
Cendekiawan dan kelompok liberal harus bersaing di pasar terbuka daripada di dalam Orde Baru yang membatasi dan membatasi diskusi publik tentang Islamisme. Selain itu, Fealy berpendapat Muslim Liberal sangat prihatin dengan penyebaran Islamisme melalui partai politik, media dan kelompok masyarakat sipil.
Beberapa dari kelompok-kelompok ini telah lama bergerak di bawah tanah, dan yang lain berasal dari jaringan longgar, dimobilisasi oleh tokoh-tokoh karismatik. Partai Keadilan (sekarang PKS), Hizbut Tahrir Indonesia dan partai-partai FPI termasuk di antara partai-partai dan kelompok-kelompok yang berjuang di garis Islamisme. Media Islam juga berkembang pesat, di antaranya majalah Sabili yang menjadi majalah dengan penjualan terbanyak pada 2001 dan 2002.
Dalam kondisi seperti ini, Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 lahir di tangan para skolar dan ulama muda Islam yang dipimpin oleh Ulil Abshar Abdalla. Akar intelektual kelompok ini kembali kepada para pemikir pluralis pada 1970-an seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Mukti Ali, untuk mednyebut beberapa nama.
Kelompok yang beranggotakan Ulil bersama Luthfi Assyaukanie dan Budhi Munawar Rahman dan beberapa pemikir lain yang terkait dengan Enklave Utan Kayu di Jakarta ini sangat aktif menyuarakan gagasan Islam Liberal, di mana Islam sesuai dengan pluralisme, negara sekuler, dan ekonomi pasar.
Dalam bacaan mereka, menurut Bourchier dan Jusuf (2022, hlm. 11), "Al-Quran dapat ditafsirkan dengan cara yang akan mendukung norma-norma liberal, termasuk larangan poligami, diakhirinya diskriminasi terhadap perempuan, dan pernikahan antar agama".
Perkembangan dan dominasi pemberitaan JIL yang dipandang mempengaruhi pemikiran Muslim perkotaan telah memantik amarah kelompok Muslim radikal dan konservatif dan menganggap JIL sebagai organisasi sesat dan menyesatkan. Satu fatwa tentang darah Ulil halal oleh Majelis Ulama Indonesia, yang saat itu didominasi oleh beberapa pengurus ultra-konservatif.
Dentang kematian kelompok Islam liberal itu ditandai dengan dikeluarkannya fatwa pada 2005 yang mengutuk "liberalisme, sekularisme, dan pluralisme' sebagai 'melawan ajaran Islam'. Atas dasar ini, FPI menyerang dan mengintimidasi kelompok Islam liberal. Sebagai satu akibat, meskipun mendapatkan perhatian media dan beasiswa untuk beberapa waktu, gerakan JIL ini gagal mendapatkan jumlah pengikut yang signifikan, dan sejak 2015 telah berkurang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda