Darurat Dokter dan Kepemimpinan Playing Victim
Sabtu, 25 Februari 2023 - 16:52 WIB
Menkes menyitir data yang dirangkum WHO bahwa apabila sebuah negara berhasil memenuhigolden line, maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.Golden lineyang dikatakan WHO adalah garis emas rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum, dokter spesialis dan subspesialis, yang ideal yaitu 1/1.000 atau 1 dokter per 1.000 penduduk. Mungkin karena belum mencapai rasio itu sehingga Menkes menyebut Indonesia darurat dokter.
Bila Menkes bertekad kuat memenuhigolden lineyang ditetapkan WHO itu tentu baik saja.Namun, Menkes perlu menjelaskan dokter spesialis dan subspesialis apa yang dimaksud? Juga provinsi dan kabupaten/kota apa yang mengalami darurat dokter.
Terus bagaimana dengan fasilitas pelayanan kesehatannya (Fasyankes) seperti rumah sakit, klinik atau puskesmas di daerah tersebut, apakah sudah cukup atau malah darurat juga? Fasyankes ini penting sebab dokter, dokter spesialis dan subspesialis melayani masyarakat di fasyankes. Termasuk dalam hal ini alat kesehatan, bahan habis pakai, dan obat-obatan yang dibutuhkan.
Darurat dokter spesialis dan subspesialis sendiri perlu penjelasan. Mengapa? Sebab dokter spesilais itu banyak jenisnya. Tidak bisa digeneralisir. Berbeda dengan dokter umum yang hanya satu jenis. Begitu pula subspesialis yang merupakan percabangan dan pendalaman dari spesialisasi, sebab jumlahnya lebih banyak lagi.
Kasus penyakit di masing-masing daerah juga perlu dipetakan? Sebab alangkah “kasihannya” seorang dokter spesialis atau dokter subspesialis bila ditempatkan ke suatu daerah, sementara di daerah tersebut tidak ada kasus yang terkait dengan spesialisasi atau subspesialisasinya. Bisa-bisa pengetahuan dan keterampilannya hilang begitu saja karena tidak pernah menangani kasus.
Jangan pula lupa memetakan kondisi geografis daerah di Indonesia. Karena boleh jadi ada wilayah yang teramat luas tapi jumlah penduduknya sedikit. Belum lagi kondisi pemukimannya yang terpencar dengan jarak tempuh antara pemukiman yang sangat jauh.
Setelah semua itu dipetakan, barulah mengambil kesimpulan untuk merencanakan mengadakan dan mendistribusikan dokter, dokter spesialis atau dokter subspesialis ke daerah. Di daerah, dokter tersebut langsung bertemu Pengurus IDI Cabang untuk mengurus surat rekomendasi, selanjutnya ke dinas kesehatan kabupaten/kota mengurus surat izin praktik (SIP).
Kepemimpinan Playing Victim
Sebetulnya istilahplaying victimini masih asing bagi penulis. Karena itu penulis membuka kamus. Dan ternyata artinya adalah berlagak seperti korban. Contohnya: seseorang yang suka menebar energi negatif dengan melemparkan kesalahan kepada orang lain, meski kesalahan tersebut adalah perbuatannya sendiri. Atau orang yang sering berlepas diri dari suatu kegagalan padahal kegagalan tersebut berada dibawah kendali dan tanggung jawabnya.
Setelah membuka kamus dan membaca beberapa contohplaying victimini baru penulis sadar akan makna istilah yang diucapkan dr. Nazar. Rupanya istilah ini nyata dan sering dijumpai dari kehidupan sehar-hari. Namun demikian, penulis belum pernah membaca adanya gaya kepemimpinanplaying victim.Karena itu, andai menjadi salah satu gaya kemimpinan tentu merupakan kategori yang buruk dan tidak bertanggung jawab.
Bila Menkes bertekad kuat memenuhigolden lineyang ditetapkan WHO itu tentu baik saja.Namun, Menkes perlu menjelaskan dokter spesialis dan subspesialis apa yang dimaksud? Juga provinsi dan kabupaten/kota apa yang mengalami darurat dokter.
Terus bagaimana dengan fasilitas pelayanan kesehatannya (Fasyankes) seperti rumah sakit, klinik atau puskesmas di daerah tersebut, apakah sudah cukup atau malah darurat juga? Fasyankes ini penting sebab dokter, dokter spesialis dan subspesialis melayani masyarakat di fasyankes. Termasuk dalam hal ini alat kesehatan, bahan habis pakai, dan obat-obatan yang dibutuhkan.
Darurat dokter spesialis dan subspesialis sendiri perlu penjelasan. Mengapa? Sebab dokter spesilais itu banyak jenisnya. Tidak bisa digeneralisir. Berbeda dengan dokter umum yang hanya satu jenis. Begitu pula subspesialis yang merupakan percabangan dan pendalaman dari spesialisasi, sebab jumlahnya lebih banyak lagi.
Kasus penyakit di masing-masing daerah juga perlu dipetakan? Sebab alangkah “kasihannya” seorang dokter spesialis atau dokter subspesialis bila ditempatkan ke suatu daerah, sementara di daerah tersebut tidak ada kasus yang terkait dengan spesialisasi atau subspesialisasinya. Bisa-bisa pengetahuan dan keterampilannya hilang begitu saja karena tidak pernah menangani kasus.
Jangan pula lupa memetakan kondisi geografis daerah di Indonesia. Karena boleh jadi ada wilayah yang teramat luas tapi jumlah penduduknya sedikit. Belum lagi kondisi pemukimannya yang terpencar dengan jarak tempuh antara pemukiman yang sangat jauh.
Setelah semua itu dipetakan, barulah mengambil kesimpulan untuk merencanakan mengadakan dan mendistribusikan dokter, dokter spesialis atau dokter subspesialis ke daerah. Di daerah, dokter tersebut langsung bertemu Pengurus IDI Cabang untuk mengurus surat rekomendasi, selanjutnya ke dinas kesehatan kabupaten/kota mengurus surat izin praktik (SIP).
Kepemimpinan Playing Victim
Sebetulnya istilahplaying victimini masih asing bagi penulis. Karena itu penulis membuka kamus. Dan ternyata artinya adalah berlagak seperti korban. Contohnya: seseorang yang suka menebar energi negatif dengan melemparkan kesalahan kepada orang lain, meski kesalahan tersebut adalah perbuatannya sendiri. Atau orang yang sering berlepas diri dari suatu kegagalan padahal kegagalan tersebut berada dibawah kendali dan tanggung jawabnya.
Setelah membuka kamus dan membaca beberapa contohplaying victimini baru penulis sadar akan makna istilah yang diucapkan dr. Nazar. Rupanya istilah ini nyata dan sering dijumpai dari kehidupan sehar-hari. Namun demikian, penulis belum pernah membaca adanya gaya kepemimpinanplaying victim.Karena itu, andai menjadi salah satu gaya kemimpinan tentu merupakan kategori yang buruk dan tidak bertanggung jawab.
tulis komentar anda