Preseden Justice Collaborator dalam Peradilan Pidana
Rabu, 22 Februari 2023 - 09:59 WIB
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PERADILAN pidana atas perkara pembunuhan Brigadir Yosua oleh Ferdy Sambo telah meletakkan suatu pembaruan pemikiran bahwa seorang terdakwa pembunuhan tidak selalu serta merta harus dijatuhi hukuman maksimal sesuai ancaman di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Putusan Majelis Hakim dalam perkara aquo sepatutnya diberikan apresiasi tinggi di tengah kegamangan aparat penegak hukum menyikapi perkara pidana yang melibatkan seorang pejabat tinggi yang tengah berkuasa. Hampir dipastikan bahwa asas persamaan bagi semua orang di muka hukum tidak berlaku bagi pihak pencari keadilan yang rentan dan lemah.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Pada perkara pembunuhan Yosua-- seorang ajudan dari Ferdy Sambo yang juga seorang jenderal polisi dan atasan langsung korban, telah terjadi suatu keajaiban. Keajaiban dalam perkara aquo pertama, yakni skenario awal yang dibangun oleh Ferdy Sambo dan para ajudan yang sangat rapi dan mustahil gagal, justru terbukti sebaliknya. Seorang ajudan yakni, Richard Eliezer, telah membuka kasus pembunuhan sebenarnya.
Kedua, fungsi dan peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbukti efektif di luar perkiraan masyarakat yang sejak awal sidang selalu pesimistis. Ketiga, hak pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk banding tidak digunakan dalam perkara aquo.
Keempat, putusan majelis hakim terhadap kelima terdakwa bervariasi dari yang maksimal jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa, kecuali terhadap satu terdakwa, yakni Richard Elizer yang melakukan penembakan, karena ditetapkan sebagai justice collaborator, dijatuhi hukuman jauh lebih rendah dari keempat terdakwa lain.
Kelima, diakuinya justice collaborator di dalam putusan pengadilan. Keenam, limpah ruahnya simpati dan empati masyarakat luas terhadap terdakwa justice collaborator atau “pembuka” kasus atau “sahabat pengadilan”, sangat luar biasa.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PERADILAN pidana atas perkara pembunuhan Brigadir Yosua oleh Ferdy Sambo telah meletakkan suatu pembaruan pemikiran bahwa seorang terdakwa pembunuhan tidak selalu serta merta harus dijatuhi hukuman maksimal sesuai ancaman di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Putusan Majelis Hakim dalam perkara aquo sepatutnya diberikan apresiasi tinggi di tengah kegamangan aparat penegak hukum menyikapi perkara pidana yang melibatkan seorang pejabat tinggi yang tengah berkuasa. Hampir dipastikan bahwa asas persamaan bagi semua orang di muka hukum tidak berlaku bagi pihak pencari keadilan yang rentan dan lemah.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Pada perkara pembunuhan Yosua-- seorang ajudan dari Ferdy Sambo yang juga seorang jenderal polisi dan atasan langsung korban, telah terjadi suatu keajaiban. Keajaiban dalam perkara aquo pertama, yakni skenario awal yang dibangun oleh Ferdy Sambo dan para ajudan yang sangat rapi dan mustahil gagal, justru terbukti sebaliknya. Seorang ajudan yakni, Richard Eliezer, telah membuka kasus pembunuhan sebenarnya.
Kedua, fungsi dan peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbukti efektif di luar perkiraan masyarakat yang sejak awal sidang selalu pesimistis. Ketiga, hak pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk banding tidak digunakan dalam perkara aquo.
Keempat, putusan majelis hakim terhadap kelima terdakwa bervariasi dari yang maksimal jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa, kecuali terhadap satu terdakwa, yakni Richard Elizer yang melakukan penembakan, karena ditetapkan sebagai justice collaborator, dijatuhi hukuman jauh lebih rendah dari keempat terdakwa lain.
Kelima, diakuinya justice collaborator di dalam putusan pengadilan. Keenam, limpah ruahnya simpati dan empati masyarakat luas terhadap terdakwa justice collaborator atau “pembuka” kasus atau “sahabat pengadilan”, sangat luar biasa.
tulis komentar anda